icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Kembar Manis: Memuaskan Diri dalam Cinta Ayah

Kembar Manis: Memuaskan Diri dalam Cinta Ayah

TESS WHITE

4.8
Komentar
4.2M
Penayangan
645
Bab

Wajah Ningsih kusut. Dia telah mengambil keputusan yang mengubah hidup dengan mengandung bayi untuk pria tak dikenal, untuk memenuhi biaya operasi ibunya, tidak menyadari apa yang akan terjadi di masa depan untuknya. Lima tahun telah berlalu dan dia telah menjadi dokter anak terkenal. Saat dia melangkah keluar dari bandara dengan tujuan dan impian besar, takdir menyambutnya dalam wujud seorang anak laki-laki – yang ayahnya tidak lain adalah pria aneh, Charles, yang telah membantu Ningsih menyelamatkan ibunya. Bahkan sebelum Ningsih bisa menelan kebenaran, dia bingung dengan kedatangan tak terduga seorang pria dengan bayi perempuan, yang mengaku sebagai putrinya. Apa yang akan Ningsih lakukan? Apakah ada lebih banyak rahasia dari masa lalunya yang menunggu untuk membawanya dalam perjalanan yang kacau balau?

Bab 1 Dua Puluh Milyar Rupiah Untuk Seorang Bayi Laki-Laki

"Nona, Nyonya telah mengatakan bahwa Anda akan mendapatkan imbalan sebesar dua puluh milyar rupiah jika Anda bisa melahirkan seorang bayi laki-laki, dan tujuh milyar jika Anda melahirkan seorang bayi perempuan." Kata Wanita tua itu dengan nada yang lembut.

"Baiklah." Ningsih Ambarita menganggukkan kepala, sebagai tanda persetujuan atas pernyataan wanita tua itu.

Saat ini, dirinya tidak mempunyai pilihan lain selain menerimanya Ia sangat membutuhkan uang untuk dapat melunasi tagihan rumah sakit ibunya, sedangkan terhadap biaya operasi ibunya yang sangat mahal, Ayahnya, Karam Ambarita, tidak memberinya sedikit pun bantuan, pria itu tidak peduli sama sekali.

Ningsih sangat emosi, tetapi dia juga tidak bersedia untuk menyerah, sehingga ia memutuskan untuk tidak akan lagi memohon bantuannya. Merasa terdesak oleh keadaan, Ningsih hanya bisa meminta bantuan kepada pacarnya, Christian Yap, akan tetapi ia malah mendapati bahwa kekasihnya itu telah berselingkuh dengan saudara tirinya, Fanny Ambarita.

Ketika seseorang sedang dalam kesialan, Itu akan menggiring seseorang untuk mengambil sebuah keputusan yang drastis, ibaratkan minum air dingin juga bisa mencekik gigi

Dengan semua kejadian itu, Ningsih hanya dapat mencibir, sepatah kata pun tidak terucap, membanting pintu dan melangkah pergi menjauh dari pria itu.

Petir menyambar dan langit bergemuruh seakan mengerti akan penderitaan yang saat ini dirasakannya. Tidak lama kemudian, disertai dengan rintik hujan yang deras, baju tipis yang saat ini dikenakannya pun mulai basah oleh air hujan.

Ketika orang lain di sekitarnya berlari untuk mencari tempat berteduh, hanya dirinya tetap berjalan di bawah hujan, seakan sebuah jiwa yang berkelana, tanpa memiliki tujuan.

"Nona!" Seseorang memanggilnya.

Ningsih berbalik, dan ia melihat seorang wanita tua yang tidak di kenal.

Ia mengangkat tangan untuk menyeka hujan dari wajahnya dan menghampiri wanita itu "Nyonya, ada apa?"

"Nona, Aku hanya ingin menanyakan, berapa umurmu?" Wanita tua itu kemudian meraih tangannya dan berjalan ke sebuah beranda kafe teh susu.

Ia mengamati Ningsih dengan teliti, di matanya muncul sebuah cahaya yang penuh kegembiraan

"Umur saya sembilan belas tahun," ucap Ningsih dengan jujur.

"Begitu!" Wanita itu berhenti sejenak. "Nona, aku tadi melihatmu berjalan sendirian di tengah hujan yang sangat lebat, dan aku merasa bahwa sepertinya kamu sedang menghadapi banyak masalah. Apakah kamu baik-baik saja?"

Ningsih akhirnya tidak bisa menahan tangisannya ketika wanita tua itu bertanya kepadanya. Beberapa saat kemudian, Ningsih menangis dengan tersedu-sedu.

"Ibuku mengalami sebuah kecelakaan mobil sepuluh tahun lalu. Saat ini, beliau dalam keadaan koma, dan beberapa organ tubuhnya mengalami kegagalan, harus segera membutuhkan operasi, sedangkan saya tidak punya uang... Saya..." Ningsih tidak mampu melanjutkan kata-katanya, ia hanya dapat menangis. Ia merasa dirinya seakan tidak memiliki harapan lagi untuk dapat menyelamatkan ibunya.

"Itu hanya masalah uang. Nona, jangan bersedih, kamu tak perlu khawatir seperti itu." Kata wanita itu sambil menepuk punggung Ningsih, berusaha menenangkannya. "Aku memiliki sebuah cara supaya kamu bisa menghasilkan uang, hanya saja, tidak tahu apakah kamu bersedia?" Wanita tua itu dengan ragu berkata.

Asalkan saya bisa menghasilkan uang itu sudah bagus, asalkan ada uang......

Ningsih meraih tangan wanita tua itu dengan penuh semangat, "Nyonya, selama saya bisa menghasilkan uang, apapun bisa saya lakukan."

Wanita itu hanya tersenyum mendengar tanggapan penuh semangat dari Ningsih. "Cara mendapatkannya sangatlah sederhana. Kamu akan mendapatkan uang yang kamu butuhkan, jika kamu melahirkan seorang anak dari tuan mudaku." Wanita itu menatap Ningsih. Nona, apakah kamu bersedia?"

Ningsih tertegun sejenak, dan mengigit bibirnya dan menganggukkan kepala.

Ia sangat jelas tahu bahwa apa artinya memiliki anak di usianya yang masih sembilan belas tahun. Jika orang mengetahui tentang hal itu, reputasinya jelas akan hancur. Namun, ia masih sangat jelas dengan situasinya saat ini, jika ia tidak setuju, maka ia akan kehilangan ibunya.

Harus memilih antara keselamatan ibunya dan reputasi dirinya, Ningsih lebih memilih kehilangan reputasinya.

Mendapatkan persetujuannya, wanita itu kemudian membawa Ningsih ke sebuah rumah mewah.

"Nona, mandilah terlebih dahulu, sebentar lagi tuan muda segera datang. Wanita tua itu menyerahkan sebuah gaun tidur sutra kepada Ningsih. "Tuan akan segera tiba."

Ningsih bergegas menenangkan pikirannya "Baiklah, Nyonya."

Wanita tua itu menepuk pundak Ningsih dengan ringan dan tersenyum. "Kamu tidak perlu khawatir. Tuan muda adalah seorang pria yang baik. Dia akan memperlakukanmu dengan baik malam ini."

"Baiklah. terima kasih." Meskipun Ningsih telah setuju, namun hatinya tetap merasa dirinya sangat gugup dan jantungnya berdetak

"Ingatlah untuk mematikan lampu kamar setelah kamu selesai mandi," perintah wanita itu kepada Ningsih, kemudian wanita tua itu pergi keluar.

"baik." Ningsih masuklah ke kamar mandi dan mandi dengan cepat.

setelah memakai baju tidur, Ia dengan gemetar berjalan keluar, dengan patuh berbaring di tempat tidur, dan memadamkan lampu.

-

Bagaimana menggambarkan suasana hati Ningsih saat ini?

Ia merasa dirinya seolah-olah seekor hewan ternak yang telah dijual, dan sedang menunggu untuk disembelih. Ia bahkan bisa mendengar jantungnya berdetak dengan cepat dan tidak beraturan.

Waktu terasa seolah berhenti. Tidak terasa beberapa jam telah berlalu, akhirnya pintu kamar itu dibuka oleh seseorang dari luar.

Ningsih dengan spontan memejamkan matanya, berbaring meregang dan tidak berani bergerak.

Meskipun begitu, Ningsih tetap dapat merasakan bahwa seseorang dengan sosok yang tinggi sedang menghampiri ranjang yang saat ini ditempatinya.

"Apakah kamu merasa gugup?" Suara serak pria itu, terdengar sangat indah.

"Iya, sedikit," jawab Ningsih dengan suara yang bergetar. Tanpa sadar tangannya mencengkeram seprai yang ada di sampingnya.

"Jangan khawatir," bisik pria itu, Suara pria itu datar, seolah-olah ia sedang mengurus pekerjaan tertentu.

Iya juga, bagi mereka, malam ini hanya sebuah pekerjaan yang harus diselesaikan.

"Baik Tuan." Ningsih menarik napas dalam-dalam dan perlahan membuka matanya.

Saat ini, Tiba-tiba kilatan cahaya petir melintas lewat jendela dan menerangi kamar. Ningsih dengan samar-samar melihat mata sipit dan cerah yang dimiliki pria itu.

Pria itu juga menatap Ningsih.

Karena terkejut, Ningsih buru-buru mengalihkan pandangannya dan menoleh ke samping.

Pria itu kemudian membungkuk ke arah Ningsih, dengan jari-jarinya membuka piyamanya, kemudian berbicara dengan suara serak yang di sertai dengan senyuman, "Ingat, tidak peduli apakah kamu melihatku dengan jelas atau tidak, kamu harus segera melupakanku, sebagaimana aku tidak menganggap keberadaanmu." Pria itu mengatakannya sambil tersenyum.

"Baik Tuan," Ningsih dengan patuh menjawabnya.

Iya, seperti tidak ada keberadaan, kejadian yang terjadi pada malam ini. Setelah Ningsih melahirkan seorang bayi, maka ia harus melupakan semua memori yang ada, dan pergi meninggalkan itu semua.

Hujan di luar semakin deras.

Sepuluh bulan telah berlalu. Di rumah sakit.

Di dalam ruang operasi sebuah rumah sakit, suara tangisan bayi terdengar memenuhi ruangan.

"Bayinya seorang laki laki, Nyonya Angelina!" Wanita tua itu berlari keluar dari ruang operasi dengan menggendong seorang bayi dalam pelukannya.

"Sebuah kabar yang baik... Kabar baik!" Wanita yang disebut "Nyonya", melipatkan tangannya, dengan tulus berdoa. "Kita akan mendapatkan saham bagian kita dari ayah tuan muda!" Ia berbisik. "Putraku akan menjadi pewaris dari Grup TS. Terima kasih Tuhan! Untung saja bayinya laki-laki!"

"Nyonya. Wanita tua itu berusaha melanjutkan kalimatnya, namun ia bingung bagaimana harus mengatakannya, seakan ada sesuatu yang menyangkut di tenggorokannya. "Dokter menyebutkan bahwa bayinya juga ada yang perempuan."

"Perempuan?" Nyonya tersebut terkejut dan tercengang. "Saat ini, keluarga kami hanya membutuhkan seorang bayi laki laki. Serahkan saja bayi perempuan itu kepadanya."

"Baik, Nyonya " Jawab wanita tua itu.

Kedua orang tersebut akhirnya meninggalkan rumah sakit itu dengan membawa seorang bayi laki-laki.

"Tidak baik, Ningsih mengalami pendarahan! Ia membutuhkan transfusi darah. Cepat pergi ambilkan kantung darah untuknya."

"Baik, direktur."

Sementara itu, terjadi kepanikan di ruang operasi, para dokter dan perawat selalu keluar masuk, keadaan semakin menegangkan.

Fanny Ambarita yang baru saja datang untuk melakukan aborsi tiba tiba berhenti terdiam. "Perawat, siapa katamu?" Ia bertanya kepada salah seorang perawat, alisnya terangkat karena rasa penasaran

"Ningsih Ambarita, apa kamu mengenalnya?" Jawab perawat yang kemudian balik bertanya.

"Tidak, saya tidak mengenalnya." Sebuah rasa kekejaman melintas melalui mata Fanny.

Dokter dan perawat sangat sibuk, sehingga tidak ada seorang pun yang menyadari bahwa bayi perempuan Ningsih telah diambil dan dibawa pergi oleh Fanny.

Lima tahun kemudian.

Di Bandara Internasional BJ.

Ningsih yang saat itu mengenakan setelan yang formal dengan anggun berjalan keluar dari bandara.

Sudah lima tahun, Ningsih di selamatkan oleh dokter saat ia melahirkan bayi. Saat itu, begitu tersadar dari operasinya, ia menerima telepon dari sanatorium, mereka mengabarkan bahwa ibunya mulai sadar. Mendengar kabar itu, Ningsih pun bergegas pergi ke sanatorium dengan tubuhnya yang masih lemah, tanpa sempat memberi tahu dokter sebelumnya.

Meskipun ibunya telah sadar, namun saat itu ibunya masih belum dapat berbicara dan masih membutuhkan orang untuk menjaganya. Ningsih menemani ibunya di rumah sakit selama sebulan, kemudian mencari perawat untuk menjaga ibunya, setelah itu Ningsih pun membawa sisa uang itu dan pergi ke luar negeri untuk melanjutkan studinya di Bidang Kedokteran Anak.

Seolah-olah tujuannya belajar di luar negeri hanya untuk meningkatkan keahliannya di bidang yang sangat diminatinya itu, tetapi sebenarnya tujuannya adalah untuk melupakan segala kesulitan yang telah dilaluinya.

Bagi Ningsih, masa lalu yang telah dijalaninya itu penuh dengan penderitaan, dan juga termasuk rahasia dirinya sendiri.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku