Seorang pria yang sering bepergian untuk bekerja mulai menjalin hubungan dengan wanita yang ia temui di perjalanan. Ketika istrinya mulai curiga, ia harus berhadapan dengan kebohongan yang telah ia ciptakan selama ini.
Di balik cahaya neon yang berkilau di kota baru, Arief merasakan detak jantungnya meningkat. Perjalanan bisnis kali ini bukan hanya tentang angka dan laporan, tetapi juga tentang mencari sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Ia merasa terjebak dalam rutinitas sehari-hari-pekerjaan yang menuntut dan keluarga yang menunggu di rumah. Dengan satu panggilan telepon, semua rutinitasnya berubah ketika dia tiba di hotel mewah tempat konferensi berlangsung.
Ketika malam tiba, Arief memutuskan untuk menjelajahi kota. Dia berjalan di sepanjang jalan yang ramai, di mana aroma makanan kaki lima bercampur dengan tawa pengunjung. Tiba-tiba, sosok wanita dengan gaun merah melintas di depannya, menarik perhatian Arief. Wanita itu memiliki pesona yang tak bisa diabaikan, dan ketika mata mereka bertemu, ada percikan yang membuatnya terpaku.
"Apakah Anda baru di sini?" tanyanya dengan suara lembut yang memikat.
"Ya, saya Arief," jawabnya, sedikit tersenyum.
Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai Clara, seorang seniman yang sedang menjalani proyek di kota tersebut. Mereka berbincang-bincang tentang seni, hidup, dan impian. Tanpa disadari, malam berlalu begitu cepat, dan mereka akhirnya memutuskan untuk melanjutkan obrolan di sebuah kafe kecil yang sepi.
Kedekatan mereka semakin dalam seiring waktu berlalu. Clara membawa Arief ke tempat-tempat tersembunyi di kota, menunjukkan sisi-sisi yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Keduanya berbagi cerita, tawa, dan, seiring berjalannya waktu, kerinduan yang tak terduga tumbuh di antara mereka. Setiap momen yang dihabiskan bersama semakin memabukkan, seakan mereka terjebak dalam dunia mereka sendiri.
Namun, di tengah kebahagiaan itu, Arief merasakan sebuah perasaan bersalah. Dia ingat istrinya, Lila, dan anak mereka yang menunggunya di rumah. Dia mencintai mereka, tetapi dalam diri Arief, ada sesuatu yang kosong-sebuah kerinduan akan cinta dan perhatian yang mulai memudar seiring berjalannya waktu. Romansa ini bagai api yang menyala-nyala, menghangatkan hatinya tetapi juga membakar semua yang ada di sekitarnya.
Malam terakhir di kota itu, Arief dan Clara berada di puncak gedung pencakar langit, menatap kerlap-kerlip lampu kota. Tanpa sadar, mereka saling mendekat, dan dalam sekejap, bibir mereka bersentuhan. Keduanya terjebak dalam momen itu-sebuah pertemuan yang membawa kebahagiaan sekaligus penderitaan.
Ketika pagi menjelang dan Arief harus kembali ke rumah, hatinya berat. Ia merasa terbelah antara cinta yang tulus untuk keluarganya dan cinta yang baru ditemukan untuk Clara. Di pesawat, pikirannya melayang ke momen-momen indah bersama Clara, tetapi saat menatap foto keluarga di ponselnya, rasa bersalah itu kembali menghantui.
Sesampainya di rumah, Lila menyambutnya dengan senyuman hangat dan pelukan erat. Namun, Arief merasa seperti seorang penipu. Dia berusaha untuk kembali ke rutinitas hidupnya, tetapi bayangan Clara terus menghantui pikirannya. Setiap kali Lila berbicara tentang rencana masa depan mereka, Arief merasa hatinya tertarik ke dua arah yang berbeda-satu untuk masa depan yang sudah dibangun bersama keluarga, dan satu lagi untuk kebebasan dan gairah yang ditawarkan oleh Clara.
Hari-hari berlalu, tetapi perasaan itu tidak kunjung padam. Arief mulai menjauh dari Lila dan anak mereka, tidak bisa lagi merasakan kebahagiaan yang dulu ada. Dia terjebak dalam kebohongan, dan semakin lama, beban itu semakin berat. Ia mulai berjuang untuk melawan kerinduan akan Clara, tetapi bayang-bayang wanita itu selalu ada, menggoda dan memanggilnya.
Dalam sebuah percakapan di telepon yang penuh emosi, Clara memintanya untuk datang kembali. "Kapan kita bisa bertemu lagi, Arief?" suaranya bergetar, penuh harap.
Arief merasakan tarikan kuat di hatinya, tetapi saat itu juga, suara Lila yang lembut terdengar di pikirannya. Dia tahu bahwa ia harus membuat keputusan-memilih antara kehidupan yang stabil dengan keluarganya atau melanjutkan petualangan yang tidak pasti dengan Clara.
Seiring berjalannya waktu, Arief berusaha mengalihkan pikirannya dari Clara dan fokus pada keluarganya. Dia melibatkan diri dalam berbagai kegiatan bersama Lila dan anak-anak mereka, berusaha menciptakan kenangan indah yang bisa menghapus bayangan hubungan terlarang yang terus menghantuinya. Namun, setiap tawa yang mereka bagi terasa hampa, seolah ada sebuah kekosongan yang tidak bisa diisi.
Pada suatu malam, saat Arief duduk di ruang tamu sambil membaca buku, ponselnya bergetar. Hatinya berdebar saat melihat nama Clara muncul di layar. Dalam sekejap, semua usaha untuk melupakan wanita itu sirna. Dia menjawab panggilan itu, dan suara Clara seakan melawan semua logika yang ada dalam dirinya.
"Arief, aku merindukanmu. Kita perlu bertemu lagi," suara Clara terkesan penuh harapan, tetapi juga menahan rasa sakit.
Arief menghela napas panjang. "Clara, aku tidak bisa. Ini semua terlalu rumit. Aku sudah kembali ke hidupku, ke keluargaku."
"Apakah kamu bahagia?" tanya Clara tanpa ragu.
Pertanyaan itu mengguncang hatinya. Apakah dia benar-benar bahagia? Kenyataan yang dihadapi setiap hari membuatnya merasa terperangkap, tetapi dia tidak bisa mengakui itu. Dia mencintai Lila, tetapi cintanya kepada Clara memberi sensasi yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
"Aku... aku tidak tahu," jawabnya jujur. "Tapi aku berusaha."
"Dengar, Arief. Kita tidak perlu mengakhiri semuanya seperti ini. Kita bisa menemukan cara untuk tetap bersama, meskipun terpisah oleh jarak," Clara mengusulkan, suara lembutnya mengalir seperti melodi yang memikat.
Perdebatan batin dalam diri Arief semakin kuat. Dia tahu bahwa melanjutkan hubungan ini hanya akan menambah beban emosional, tetapi di sisi lain, dia merindukan kehadiran Clara. Wanita itu telah memasuki jiwanya, meninggalkan bekas yang sulit dihapus.
Dengan hati yang berat, Arief akhirnya setuju untuk bertemu Clara sekali lagi. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kafe yang jauh dari pandangan publik, di mana tidak ada yang mengenali mereka. Saat hari yang ditunggu tiba, Arief merasakan kecemasan dan ketegangan saat melangkah menuju kafe tersebut.
Saat Arief melihat Clara duduk di sudut, dia tertegun. Wanita itu terlihat menawan dengan gaun sederhana, tetapi aura misteriusnya tetap memikat. Mereka saling tersenyum, tetapi senyum itu dipenuhi dengan kerinduan dan kesedihan.
"Terima kasih telah datang," Clara berkata, matanya bersinar dengan harapan.
"Mungkin ini adalah kesalahan," Arief mengawali, tetapi Clara memotongnya.
"Tidak, ini bukan kesalahan. Ini adalah kesempatan untuk kita. Kita bisa menemukan kebahagiaan meski dalam kegelapan," Clara menjawab penuh keyakinan.
Mereka mulai berbincang, dan setiap kata yang diucapkan membawa mereka kembali ke momen-momen indah yang pernah mereka alami bersama. Arief merasa terjebak dalam jaring emosi yang semakin dalam, tidak tahu bagaimana cara keluar.
Ketika malam semakin larut, mereka berdua terjebak dalam suasana romantis. Clara mengajak Arief untuk berjalan-jalan di sepanjang tepi sungai. Di sana, di bawah sinar bulan, mereka berbagi canda tawa dan cerita. Clara menatap Arief dengan intens, dan tanpa sadar, Arief meraih tangannya.
"Saya tidak bisa terus seperti ini," kata Arief, suaranya bergetar.
"Tapi mengapa kita tidak bisa? Kita merasakan cinta ini, Arief. Kenapa kita harus memendamnya?" Clara menjawab dengan semangat.
"Karena aku punya keluarga. Lila dan anak-anak tidak pantas mendapatkan semua ini," Arief berkata dengan berat hati, tetapi hatinya terbelah.
Clara mendekat, matanya berkilau dengan air mata. "Tapi apa yang kau inginkan? Apa yang kau rasakan ketika kau bersamaku? Apakah itu tidak berarti?"
Arief merasakan denyut jantungnya semakin cepat. Setiap detik yang berlalu membuatnya semakin bingung. Dia ingin merasakan kebebasan, tetapi ia juga tahu bahwa semua ini akan merusak hidupnya.
Saat keduanya berada di titik paling dekat, Clara berbisik, "Aku tahu kita bisa melawan semua ini bersama."
Di saat itu, Arief merasa dunia di sekelilingnya berhenti. Dia melihat ke dalam mata Clara dan melihat harapan, cinta, dan kebebasan yang telah lama ia rindukan. Namun, saat dia menarik Clara ke dalam pelukannya, suara Lila yang lembut dan penuh cinta muncul di pikirannya.
"Mengapa aku harus memilih?" pikirnya. "Mengapa aku harus merusak hidupku sendiri dan orang-orang yang mencintaiku?"
Akhirnya, Arief menarik diri dari pelukan Clara. "Aku tidak bisa. Maaf, Clara. Aku harus pergi."
Dengan hati yang berat, ia meninggalkan Clara di tepi sungai itu. Setiap langkah yang diambilnya terasa berat, tetapi dia tahu itu adalah keputusan yang benar. Saat kembali ke rumah, Arief merasakan kebangkitan emosi yang tak terduga. Dia bertekad untuk memperbaiki hubungannya dengan Lila, meskipun dia tahu bahwa bayangan Clara akan selalu ada di dalam hidupnya.
Saat Arief membuka pintu rumahnya, dia melihat Lila sedang menunggu dengan senyuman hangat. Dia tahu bahwa dia harus berjuang untuk mendapatkan kepercayaan dan cinta istrinya kembali. Namun, perjalanan untuk menyingkirkan semua bayangan dosa cintanya baru saja dimulai.
Bersambung...
Buku lain oleh Ufuk Timur
Selebihnya