Kehidupan Raissa berubah drastis setelah kehilangan pekerjaannya dan terancam kehilangan panti jompo tempat dia dan ibunya tinggal. Panti tersebut akan digusur oleh seorang taipan muda, Arkhan Alvaro, pemilik lahan yang dikenal kejam dan tak berperasaan. Raissa, seorang gadis mandiri dengan tekad kuat, memutuskan untuk menghadapi Arkhan langsung, memohon agar dia membatalkan penggusuran. Namun, permohonannya terus ditolak oleh pria dingin itu. Hingga suatu hari, Arkhan mengajukan syarat yang tak pernah Raissa bayangkan. Dengan senyuman licik dan tatapan tajam, dia berkata, "Jika kau ingin aku menyelamatkan panti itu, aku ingin kau menjadi milikku. Sepenuhnya." Raissa terperangkap dalam dilema besar, antara menyerahkan dirinya atau menyaksikan orang-orang yang ia cintai kehilangan tempat tinggal. Hubungan mereka yang dimulai dengan paksaan perlahan berubah menjadi perang emosi-kebencian, cinta, dan pengorbanan yang menguras air mata.
Raissa duduk di sofa ruang tamu yang tampak seperti singgasana raja, di lantai 38 sebuah gedung pencakar langit yang menjulang di pusat kota. Tangannya yang dingin menggenggam map cokelat lusuh berisi dokumen panti jompo-satu-satunya senjata yang dia miliki untuk melawan kekuasaan pria yang sebentar lagi akan ditemuinya. Jantungnya berdetak kencang, bukan karena kagum pada kemewahan di sekitarnya, tetapi karena rasa takut yang mencengkeram setiap serat keberaniannya.
Dia menoleh ke jendela besar di ruangan itu. Dari sana, seluruh kota terlihat seperti miniatur yang tak berarti. Rasanya seolah dia hanyalah titik kecil di dunia Arkhan Alvaro, taipan muda yang terkenal dingin dan tanpa belas kasihan. Pria itu memiliki segalanya-uang, kekuasaan, dan kemampuan untuk menghancurkan hidup seseorang hanya dengan sekali tandatangan.
Pintu ruangan terbuka dengan bunyi halus. Raissa langsung menoleh. Pria itu masuk, mengenakan setelan jas hitam sempurna yang membingkai tubuh tegapnya. Wajah Arkhan tampak seperti pahatan dewa Yunani, dengan rahang tegas dan mata hitam yang memancarkan keangkuhan.
"Jadi, kau yang ingin bertemu denganku?" suara Arkhan rendah, tapi tajam seperti belati.
Raissa berdiri dengan lutut gemetar. Dia mencoba terlihat tegar, tetapi tangannya yang gemetar mengkhianatinya. "Ya, Tuan Arkhan. Nama saya Raissa Damaris. Saya ke sini untuk membicarakan panti jompo di Jalan Cendana."
Arkhan berjalan ke kursinya tanpa menghiraukan Raissa yang berdiri seperti patung di tengah ruangan. Dia duduk dengan santai, menyandarkan tubuhnya ke kursi kulit mahal. "Oh, jadi kau datang untuk itu. Lalu, apa yang ingin kau katakan?"
Raissa menarik napas dalam-dalam. "Saya memohon, Tuan. Mohon jangan gusur panti itu. Tempat itu adalah rumah bagi banyak orang tua yang sudah tak memiliki apa-apa lagi. Jika panti itu hilang, mereka tidak akan punya tempat untuk pergi."
Arkhan mengangkat alisnya, seolah heran dengan permohonan itu. "Dan mengapa aku harus peduli? Kau tahu berapa banyak tempat yang telah kugusur selama ini? Aku tidak pernah menerima keluhan seperti ini."
"Tuan, ini bukan hanya soal lahan. Ini soal hidup orang-orang yang tak mampu melindungi diri mereka sendiri. Saya akan melakukan apa pun agar Anda mau mempertimbangkan ulang keputusan itu," Raissa berkata, suaranya bergetar.
Mendengar kata-kata itu, sebuah senyum kecil muncul di sudut bibir Arkhan. Namun, senyum itu bukan senyum hangat; itu adalah senyum seorang pemburu yang menemukan mangsanya.
"Apa pun, katamu?" Arkhan menyandarkan tubuhnya lebih dalam ke kursi, tatapannya kini penuh minat.
Raissa merasa ada yang salah dengan senyum itu, tetapi dia sudah terlalu terdesak untuk mundur. "Ya, Tuan. Apa pun."
Arkhan berdiri, langkahnya perlahan mendekati Raissa. Saat pria itu berdiri hanya beberapa inci darinya, Raissa bisa merasakan aura dingin yang membuat bulu kuduknya meremang.
"Kau mau menyerahkan apa pun? Bagaimana jika aku menginginkan... dirimu?" Arkhan berbicara pelan, tetapi setiap kata seperti bom yang meledak di kepala Raissa.
Raissa terdiam. Matanya membelalak, bibirnya terbuka tetapi tak ada suara yang keluar. "Apa maksud Anda?"
Arkhan menyeringai. "Aku tidak ingin uangmu-jelas kau tidak punya itu. Aku tidak ingin janji kosong. Tapi kau... kau bisa menawarkan dirimu. Jadilah milikku, sepenuhnya, dan aku akan mempertimbangkan untuk menyelamatkan panti itu."
Kata-kata itu menusuk jantung Raissa. Dia merasa seperti ditelanjangi di hadapan pria itu, bukan secara fisik, tetapi secara emosional. Tawaran itu bukan hanya penghinaan, tetapi juga jebakan.
"Tuan Arkhan, ini tidak masuk akal. Saya... saya hanya meminta Anda untuk menunjukkan sedikit belas kasihan," katanya dengan suara yang hampir pecah.
"Belas kasihan?" Arkhan terkekeh, nadanya dingin dan tanpa emosi. "Kau salah tempat, Raissa. Aku tidak bekerja berdasarkan belas kasihan. Dunia ini adalah tempat di mana yang lemah akan dihancurkan. Jika kau ingin sesuatu dariku, kau harus memberikan sesuatu yang setara."
Raissa merasa air mata menggenang di matanya, tetapi dia menolaknya jatuh. Dia tidak ingin terlihat lebih lemah dari yang sudah dia rasakan. "Tuan Arkhan, Anda tidak bisa memaksa saya seperti ini."
Arkhan menyentuh dagunya dengan tangan yang kuat, memaksa Raissa menatapnya. "Aku tidak memaksamu. Aku hanya memberimu pilihan. Kau yang memutuskan."
Raissa merasakan darahnya mendidih. "Pilihan? Ini bukan pilihan! Ini adalah penyiksaan!"
Arkhan mengangkat bahu acuh tak acuh. "Sebutan apa pun yang kau suka. Tapi aku adalah pria yang selalu mendapatkan apa yang kuinginkan. Kau punya waktu 48 jam untuk memberiku jawaban."
Raissa tidak tahu bagaimana dia bisa berjalan keluar dari ruangan itu tanpa jatuh pingsan. Perasaannya campur aduk-marah, terluka, dan putus asa. Setiap langkahnya terasa berat, seolah-olah dia membawa beban seluruh dunia di pundaknya.
Dia menatap kota yang gemerlap di luar gedung itu, tetapi tidak merasa kagum. Di dalam dirinya, perang besar sedang terjadi. Harga dirinya berkata untuk menolak tawaran Arkhan dan melawan sampai akhir, tetapi tanggung jawabnya terhadap panti dan para lansia yang tinggal di sana membuatnya tak bisa mengambil keputusan itu dengan mudah.
Di dalam mobil yang membawanya pulang, air mata yang dia tahan akhirnya jatuh. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan, membiarkan dirinya menangis dalam keheningan malam.
"Haruskah aku mengorbankan diriku demi mereka?" bisiknya pelan, tetapi tidak ada jawaban. Hanya suara hatinya yang terus bertarung, menimbulkan luka yang semakin dalam.
Bab 1 Tawar Menawar yang Mematahkan Hati
10/12/2024
Bab 2 Dilema dan Pengkhianatan Hati
10/12/2024
Bab 3 Raissa merasa seperti baru saja menginjak garis batas
10/12/2024
Bab 4 Dalam Bayang-Bayang Luka
10/12/2024
Bab 5 Luka yang Tersimpan dalam Diam
10/12/2024
Bab 6 Rantai yang Tak Terlihat
10/12/2024
Bab 7 Pernikahan yang Terlontar dari Sebuah Dusta
10/12/2024
Bab 8 Janji yang Mengalir di Ujung Air Mata
10/12/2024
Bab 9 Ketika Hati Berkata Berbeda
10/12/2024
Bab 10 Ujian yang Menguji Segalanya
10/12/2024
Bab 11 Di Ujung Jalan yang Tak Pasti
10/12/2024
Bab 12 Di Balik Bayang-bayang Harapan
10/12/2024
Bab 13 Pertarungan yang Tidak Terdengar
10/12/2024
Bab 14 Kebenaran yang Terungkap
10/12/2024
Bab 15 Jalan yang Tak Kembali
10/12/2024
Bab 16 Ketika Dunia Berubah
10/12/2024
Bab 17 Gelombang Perubahan
10/12/2024
Bab 18 Perang yang Tak Terelakkan
10/12/2024
Bab 19 Pertarungan di Ambang Kehancuran
10/12/2024
Bab 20 Api yang Tak Pernah Padam
10/12/2024
Bab 21 Sebelum Fajar
10/12/2024
Bab 22 Pilihan di Ujung Pisau
10/12/2024
Bab 23 Runtuhnya Tembok Dingin
10/12/2024
Bab 24 Di Ambang Harapan dan Keputusasaan
10/12/2024
Bab 25 Kebenaran yang Tersembunyi
10/12/2024
Bab 26 Raissa tidak bisa tidur malam itu
10/12/2024
Bab 27 Rahasia yang Terungkap
10/12/2024
Bab 28 Pengungkapan yang Mengguncang
10/12/2024
Bab 29 Suara sirene semakin mendekat
10/12/2024
Bab 30 Jalan Menuju Pengampunan
10/12/2024
Bab 31 Menatap Ke Depan
10/12/2024
Buku lain oleh Fitra Dewi Gusanti
Selebihnya