Dalam Pelukan Sang Miliarder
apartemen sempitnya, tetapi pikirannya terus melayang pada percakapan yang terjadi di ruangan megah it
asai benaknya. Sorot mata tajam Arkhan, senyum sinisnya, dan cara dia berbicara seolah-olah dia memegang ken
alan menuju dapur kecilnya. Dengan tangan gemetar, dia menuangkan segelas air dan men
ini?" Raissa bergumam pelan, suara ser
ar. Raissa meraih ponsel itu dan meli
ulit. Namun, kali ini Raissa ragu untuk menjawab. Dia tahu bahwa Reza tidak akan tinggal diam jika menge
Reza terdengar tegas ketika Rai
Reza," jawab
. Aku datang ke panti, tapi mereka bilang
etapi dia tahu Reza terlalu cerdas untuk dibohongi. "Aku
kenapa kau bertindak sejauh itu? Pria itu bukan orang
tidak bisa membiarkan panti itu digusur. Kau tahu itu r
n apa yang dia katakan? Apa dia
han tangis yang kembali mengancam kelua
ya Reza cepat, suara
capkannya. "Aku tidak bisa memberit
sak, suaranya naik satu oktaf. "Katakan
," kata Raissa tegas. Dia tidak ingin menyere
eza marah. Namun, dia tidak peduli. Saat ini, hanya ada dua pilihan di hadapa
urung-burung kecil yang hinggap di cabang pohon, mencoba mencari kedamaian dalam pemandangan
cau," sebuah sua
diri di depannya. Itu adalah Bu Nila, pengelola panti jomp
a Raissa, menc
di bahu Raissa. "Aku dengar kau menemui pemil
ngatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tetapi melihat m
sil, Bu," jawab
dak menunjukkan kemarahan. "Raissa, kau sudah
tegas, meskipun di dalam hatinya, dia t
pi ingatlah, apa pun keputusan yang kau buat, kau harus tetap me
tahu Bu Nila benar, tetapi bagaimana mungkin dia menjaga dirin
eputusan. Dia kembali ke gedung Ark
n jendela besar, memandang kota yang gemerlap di bawahnya. Tanpa
at-erat, mencoba mengumpulkan k
l di wajahnya. "Bagus. Aku tahu kau
at," kata Raissa cep
ak terhibur. "Oh? Kau pikir kau
atkan panti itu. Tidak ada kebohongan, tidak ada permbeberapa inci. "Aku tidak pernah melanggar janjiku, Raissa. Tapi k
, tetapi dia tidak m
ngan suara lembut yang penuh ancaman, "