Melayani Hasrat Mertua Dan Ipar

Melayani Hasrat Mertua Dan Ipar

Bugis cek

5.0
Komentar
12.6K
Penayangan
63
Bab

Galang duduk di ruang tamu dengan wajah tegang, matanya menatap lurus ke depan meski pikirannya berputar tak menentu. Ia baru saja mendengar kabar bahwa ibu dan adik iparnya akan tinggal bersama mereka di rumah yang sempit ini. Rasa tidak setuju menguasai hatinya; bayangan keributan dan ketidaknyamanan terus menghantui pikirannya. Namun, saat Gaby duduk di hadapannya, suara lembutnya membawa kehangatan yang berbeda. "Mas, kau tahu sendiri apa yang terjadi di desa. Ibu kita kehilangan rumahnya, dan adik juga kebetulan ingin lanjut kuliah. Mereka butuh tempat berteduh, setidaknya untuk sementara," katanya dengan mata berkaca-kaca. Galang menghela napas panjang, tubuhnya sedikit merunduk seolah menanggung beban berat. Kekhawatiran tentang bagaimana hidup bersama mereka akan berjalan, tentang ruang yang terbatas dan konflik yang mungkin muncul, tetap menghantui. Tapi tatapan penuh harap dari Gaby membuatnya luluh. "Aku mengerti, Gaby. Aku hanya ingin semuanya berjalan baik, tanpa ada yang terluka atau merasa tertekan," ucap Galang akhirnya, suaranya berat namun tegas. Gaby tersenyum tipis, meraih tangan Galang dan menggenggamnya erat. Di balik kekhawatiran itu, ada tekad bersama untuk menghadapi ujian ini. Galang tahu, ini bukan hanya soal tempat tinggal, tapi juga tentang keluarga yang harus tetap utuh di tengah badai.

Bab 1 MHMI

Matahari pagi menyinari wajah Galang yang penuh semangat meski masih tampak sedikit kebingungan. Berusia 19 tahun, ia mengenakan seragam bengkel sederhana yang sedikit kebesaran, tanda bahwa dia masih baru dalam dunia ini. Meski tanpa keahlian otomotif sama sekali, Galang tak gentar.

Dengan langkah tergesa-gesa, ia menuju bengkel kecil di samping rumahnya, bangunan yang baru ia buka seminggu lalu sebagai bentuk tantangan sekaligus perjalanan belajar. Matanya yang tajam menyiratkan tekad kuat, sementara gerak tubuhnya yang canggung mengungkapkan ketidaktahuan yang ingin segera ia hilangkan.

Baginya, bengkel ini bukan sekadar tempat mencari penghasilan, melainkan panggung untuk menaklukkan ketakutan dan mengasah kemampuan baru yang selama ini hanya ada dalam angan.

Belum sempat Galang membuka seluruh jendela bengkel, sebuah suara mesin motor terdengar mendekat. Raut wajahnya berubah saat ia mengintip dari balik jendela dan melihat sosok yang tak asing baginya. Dengan langkah ragu, ia membuka pintu bengkel sedikit dan mengintip ke luar.

"Eh, Ibu," gumamnya dalam hati, suaranya penuh keberatan. Itu adalah mertuanya, yang datang mengendarai motor bersama Amel, adik iparnya.

Namun pada akhirnya Galang memutuskan untuk menyambutnya. Raut wajahnya yang semula tegang berubah menjadi senyum simpul.

"Eh, Ibu... eh, Amel," sapa Galang dengan suara bergetar, tangan kirinya canggung menggaruk belakang kepala, sementara tangan kanannya berjuang membuka pintu bengkel yang agak berat.

Amira, mertuanya, melangkah masuk dengan mata tajam yang menyisir setiap sudut bengkel kecil itu-seakan mencari rahasia di balik keputusan besar menantunya.

"Hmmm, kamu buka bengkel sekarang, ya?" ucap Amira, nada suaranya menyatu antara penasaran dan tak terduga.

Galang menarik napas dalam, berusaha menguatkan diri. "Iya, Bu. Aku putuskan berhenti kerja. Bagi saya, punya usaha sendiri lebih tenang dan menjanjikan," jawabnya dengan suara setengah yakin, setengah berharap penerimaan itu tulus.

Tiba-tiba Amel, adik iparnya yang masih remaja, melangkah masuk dengan langkah ringan, senyum manisnya memecah suasana tegang.

"Hy, Kak Galang," sapa Amel penuh keceriaan.

Galang membalas dengan anggukan dan senyum yang lebih lebar-sebuah upaya menyembunyikan kerisauan yang bergelayut dalam dada.

Di balik senyum itu, ada tanya dan takut yang belum bisa ia ucapkan. Akankah keluarga benar-benar bisa menerima perubahan hidupnya yang begitu drastis?

"Ayo, dek, kita ke sebelah aja. Di sini kotor," katanya seraya melirik ke adik iparnya, Amel, dan ibu mertuanya yang kemudian mengangguk pasrah.

Mereka bersama-sama melangkah ke rumah di samping. Sesampainya di ruang tamu rumah sebelah, Galang mempersilakan kedua tamunya.

"Duduk dulu Bu, Dek Amel. Sepertinya Geby lagi mandi," ujarnya sambil tersenyum kecut. Ia beranjak menuju kamarnya, langkahnya tergesa-gesa.

Pintu kamar terbuka, dan pemandangan di dalam membuatnya tercekat. Geby hanya mengenakan pakaian dalam. Jantung Galang berdebar kencang, nafasnya menjadi tak beraturan.

"Sayang, boleh gas gak?" suara Galang bergetar, terbungkus harapan yang hampir putus asa.

Senyum yang terlukis di wajahnya berusaha keras menutupi kegelisahan yang bergemuruh di dadanya. "Gas, gas, malam aja deh," balas Geby santai, seolah menggenggam ketegangan itu dan meremasnya habis tanpa sisa.

Galang mengangguk pelan, tapi matanya sudah menaruh tanda tanya yang dalam.

"Oh ya, Ibu dan Amel udah datang, Mas?"

"Udah," jawab Galang, nada suaranya kini sarat kekecewaan, seperti api kecil yang meredup perlahan.

Ia menjatuhkan diri di tepi kasur, pandangan kosong melayang ke kejauhan. Di benaknya, sosok Amel berputar-putar-dulu polos, culun, dengan kulit gelap penuh jerawat dan rambut kusut yang membuatnya tak terlihat istimewa.

Namun kini, gadis itu berubah drastis menjadi sosok yang memikat hati.

"Amel... Kok bisa jadi secantik ini? Dulu?... dekil, item, jerawatan, culun, malah kureng, panoan... Aahh, apa yang terjadi? Kenapa aku tak pernah melihatnya sebelumnya?" bisiknya dalam hati, penuh campuran antara heran dan sesak.

Gelisah yang menyesak dada itu memaksanya bangkit, melangkah mendekat ke Geby tanpa suara.

Dengan sentuhan lembut tapi penuh makna, ia memeluk dari belakang, sebuah kejutan kecil yang menandakan harapan. "Beneran dikasih nanti malam?" tanyanya, suaranya nyaris bergetar, menggantung di antara ragu dan kerinduan.

Gaby hanya tersenyum, sambil mengusap lembut wajah Galang. "Iya, kalau aku nggak kecapean," ucapnya penuh pengertian.

Galang mengangguk, memahami. "Ya udah, aku mau lanjut buka bengkel ya, Ibu dan Amel ada di luar," ujarnya ringan sambil mengecup pipi Gaby sebagai perpisahan, kemudian pelan-pelan melepas pelukan hangat mereka.

Langkah Galang terbawa ke luar, menyusuri pintu belakang yang langsung menuju ke bengkel di samping rumah.

Di sisi lain, Gaby melangkah keluar dari kamar, matanya bertemu dengan ibu dan adiknya. Air mata yang selama ini ia tahan, pecah begitu saja. Dengan langkah goyah ia mendekat, meluapkan segala rasa yang bercampur baur dalam pelukan ibunya. "Bu, maafkan Gaby ya, nggak bisa bantu banyak," bisiknya di tengah isak tangisnya, penuh penyesalan.

Dengan lelah, Amira menarik napas dalam-dalam sebelum mengungkapkan kata-katanya, "Sayang, hanya mendapatkan tempat di rumah ini, Ibu dan adikmu sudah sangat bersyukur. Di kampung, Ibu sering dicap sebagai janda gatal, dan itulah sebabnya Ibu menjual rumah kita, agar biaya kuliah adikmu tercukupi." Amira mengusap pundak Gaby lembut saat bicara, suaranya terdengar penuh kelelahan.

Amel, yang mendengarkan sisi-sisi percakapan itu, tak bisa menyembunyikan rasa harunya. Matanya berkaca-kaca. Ketika melihat Ibu dan kakaknya berpelukan, Amel segera menyusul memeluk keduanya, menyatu dalam satu pelukan hangat yang menyimpan ribuan emosi.

"Demi Ibu, Amel berjanji tidak akan mengecewakan. Akan menjadi anak yang membanggakan," janji Amel dengan suara bergetar.

Gaby melepas pelukan perlahan, menatap Amel dengan pandangan penuh harap.

"Ya, kamu harus benar-benar serius kuliah, ya," katanya, kedua tangannya menggenggam wajah adiknya dengan lembut.

Dalam nada yang berusaha keras terdengar tegas, Gaby menambahkan, "Ingat, di kota ini banyak pergaulan yang bisa menyesatkan, pilihlah yang benar, jangan sampai kamu salah langkah."

Setelah keriuhan mereda, Gaby memandu adik dan ibunya ke kamar tamu. Di ambang pintu, dia menoleh, "Bu, aku siap-siap dulu ya, mau berangkat kerja." Suaranya lembut namun tergesa-gesa.

Amira hanya mengangguk sambil duduk di pinggiran kasur, matanya lelah tapi tersenyum. "Iya, hati-hati ya, Nak."

Dia kemudian merebahkan diri, memejamkan mata sejenak.

Gaby menatap mereka berdua sebelum menambahkan, "Dek, kalau mau mandi, pakai kamar mandi di kamarku aja. Yang di belakang lagi direnovasi." Tanpa menunggu jawaban, dia bergegas ke kamarnya, memulai rutinitas paginya dengan pikiran yang bercampur aduk.

Sementara Amel memilih keluar dari kamar sambil merapatkan sweater yang ia kenakan. Langkahnya perlahan membawanya menjelajahi setiap sudut rumah. Sesampainya di teras, dia memilih untuk duduk, membiarkan sejuknya pagi memeluk tubuhnya. Matanya segera teralih ke arah bengkel di mana Galang, tampak tengah asyik dengan motor pelanggan.

Sesekali ia merenggangkan lehernya, mencoba memahami apa yang sedang dikerjakan. Ia bisa melihat kesalahan yang dilakukan Galang. Tak tahan melihatnya, Amel berdecak dan berteriak ke arah bengkel.

"Kak, itu ban tubeless loh, kenapa harus repot-repot lepas ?" teriaknya kebingungan.

Seorang pelanggan menimpali, "Iya, Mbak. Saya sudah bilang juga, tapi dia bilang begini lebih aman, mengurangi risiko gagal."

Galang menoleh ke arah mereka dengan ekspresi serius, menunjukkan pengetahuannya sebagai mekanik. "Dek, kamu ini nggak ngerti soal motor. Biarkan yang profesional yang kerjakan," jawabnya sambil kembali fokus pada ban yang sedang ditanganinya.

Dengan tekad yang tidak akan mengalah, Amel membuka sebuah aplikasi dan mulai mencari tutorial cara menambal ban tubless. Setelah menemukannya, ia menyerahkan ponselnya kepada Galang.

"Coba lihat ini, cara yang bener, lebih simpel dan cepat," tuturnya dengan nada lembut.

Galang yang semula malu, kini merasakan rasa malu semakin mendalam dalam hatinya. Ia mendekat dan mencoba fokus menyimak video tersebut, berharap bisa mengerti setiap langkahnya.

Dengan perlahan, ia mulai mengikuti instruksi dari video tersebut dan setelah beberapa saat, ia berhasil.

"Sudah pak," ucap Galang, terengah-engah karena kelelahan.

Sang pelanggan, yang sudah kesal, merespons, "Kalau nggak bisa otomotif nggak usah buka bengkel."

Galang mencoba tetap tenang, "Maaf pak, tapi saya jamin, kalau lain kali bapak datang kesini dengan keluhan yang sama, perbaikan akan lebih cepat."

Tanpa berbicara lebih lanjut, pelanggan itu pun berlalu dengan wajah yang masih menunjukkan kekecewaan..

"Kak, maaf. "Tanpa diduga, Amel menyentuh wajah Galang, mengejutkannya hingga tangannya spontan memegang tangan Amel yang lembut. Mereka saling menatap, detik itu terasa berlangsung lama, membuat jantung Galang berdegup kencang.

Amel tersenyum nakal, "Ada oli kak, hehehe." Ucapnya ringan.

Galang, yang merasa hatinya berdebar, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya, "Makasih dek, sebenarnya ini tidak perlu, namanya juga montir," balasnya mencoba terdengar santai.

"Heheh, minimal tau tambal ban tubles dulu dong," sahut Amel dengan senyum menggoda sebelum ia berbalik untuk pergi.

Galang masih terpaku, matanya mengikuti sosok Amel yang menjauh. "Sadar lang," gumamnya dalam hati, menyadari betapa dia terpesona.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Bugis cek

Selebihnya

Buku serupa

Gairah Liar Ayah Mertua

Gairah Liar Ayah Mertua

Gemoy
5.0

Aku melihat di selangkangan ayah mertuaku ada yang mulai bergerak dan mengeras. Ayahku sedang mengenakan sarung saat itu. Maka sangat mudah sekali untuk terlihat jelas. Sepertinya ayahku sedang ngaceng. Entah kenapa tiba-tiba aku jadi deg-degan. Aku juga bingung apa yang harus aku lakukan. Untuk menenangkan perasaanku, maka aku mengambil air yang ada di meja. Kulihat ayah tiba-tiba langsung menaruh piringnya. Dia sadar kalo aku tahu apa yang terjadi di selangkangannya. Secara mengejutkan, sesuatu yang tak pernah aku bayangkan terjadi. Ayah langsung bangkit dan memilih duduk di pinggiran kasur. Tangannya juga tiba-tiba meraih tanganku dan membawa ke selangkangannya. Aku benar-benar tidak percaya ayah senekat dan seberani ini. Dia memberi isyarat padaku untuk menggenggam sesuatu yang ada di selangkangannya. Mungkin karena kaget atau aku juga menyimpan hasrat seksual pada ayah, tidak ada penolakan dariku terhadap kelakuan ayahku itu. Aku hanya diam saja sambil menuruti kemauan ayah. Kini aku bisa merasakan bagaimana sesungguhnya ukuran tongkol ayah. Ternyata ukurannya memang seperti yang aku bayangkan. Jauh berbeda dengan milik suamiku. tongkol ayah benar-benar berukuran besar. Baru kali ini aku memegang tongkol sebesar itu. Mungkin ukurannya seperti orang-orang bule. Mungkin karena tak ada penolakan dariku, ayah semakin memberanikan diri. Ia menyingkap sarungnya dan menyuruhku masuk ke dalam sarung itu. Astaga. Ayah semakin berani saja. Kini aku menyentuh langsung tongkol yang sering ada di fantasiku itu. Ukurannya benar-benar membuatku makin bergairah. Aku hanya melihat ke arah ayah dengan pandangan bertanya-tanya: kenapa ayah melakukan ini padaku?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku