Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Insafnya Seorang Gigolo

Insafnya Seorang Gigolo

Bugis cek

5.0
Komentar
78
Penayangan
5
Bab

Kepuasan pelanggan nomor satu.

Bab 1 Apa yang terjadi denganmu

Jam menunjukkan pukul 10.00 pagi, biasanya penghuni kos berkumpul di ruang tamu, namun kini tidak ada satupun di antara mereka. Rasa penasaran menyeruak dalam diri, dan akhirnya aku segera menelpon Mbak Lala.

"Tut...tut..."

"Hallo, Mbak?"

"Hallo, Dek. Ada apa?" jawab Mba Lala.

"Lagi di mana, Mbak?" tanyaku.

"Aku di kos, kenapa?" jawabnya.

Aku terdiam sejenak, mencoba merangkai kata demi kata. Mengapa Mbak Lala berbohong kepadaku?

Mungkinkah dia belum tahu bahwa aku kembali lebih cepat dari rencana? Aku mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan pembicaraan.

"Tapi, kenapa tidak ada penghuni lain di sini, Mbak?"

"A...pa... Kamu sudah pulang? Bukannya masih ada tiga hari lagi sebelum kontrakmu selesai?" Suaranya berubah, lebih berat dan tampak gelisah.

"Itu tidak penting, yang lebih penting kenapa Mbak bohong?" tanyaku.

"Mbak segera ke sana! Nanti Mbak jelaskan." Jawabnya.

Seribu tanya menggelayut di kepala. Ada apa sebenarnya? Hatiku terasa berdebar, menanti penjelasan yang akan mengurai benang kusut yang terjadi di sini. Aku takut akan kebenaran yang sedang bersembunyi di balik kesunyian pagi ini.

Tanpa menjawabnya, aku segera mematikan teleponku. Sepertinya aku ketinggalan peristiwa penting. Sambil menunggu kedatangannya, aku kembali keluar untuk menemani Kak Anti dan Valen, sahabatku yang masih duduk di taman sambil memperhatikan sekeliling kompleks ini.

"Bro, tangan lu beneran terkilir?" tanyaku dengan nada prihatin.

"Iya nih, bukan pertama kali sih. Biasanya kalau lagi di kampung nenek, sekali ditiup langsung lurus aja," jelas Valen sambil meringis kesakitan.

Sebenarnya, aku masih merasakan sakit di sekujur tubuhku. Namun, aku berusaha tegar agar Kak Anti tidak terlalu khawatir.

"Kita ke rumah sakit sekarang," kataku, berubah pikiran.

"Masih bisa nyetir, kan?" tanyaku lagi.

"Bisa saja. Kalau begitu, kita berangkat sekarang juga. Takutnya nanti susah baliknya," jawab Valen.

Sebelum berangkat, aku sempat mengirimkan pesan singkat ke Mbak Lala, namun tak ada balasan darinya. Lima belas menit kemudian, akhirnya kami sampai di rumah sakit umum di kota ini. Karena Valen termasuk pasien darurat, begitu tiba di depan pintu rumah sakit, aku langsung berlari ke petugas kesehatan.

Tak berapa lama, Valen sudah ditangani oleh tim medis. Aku sebenarnya enggan mendapatkan perawatan di rumah sakit ini, namun Kak Anti memintaku untuk segera diobati di sini saja. Sekitar satu jam kemudian, aku keluar dengan beberapa perban yang hampir memenuhi wajahku. Sementara itu, Kak Anti masih tetap duduk sambil asyik mengutak-atik ponselnya.

"Sok sibuk, padahal nggak punya pacar," celetukku ketika berdiri di sampingnya.

"Sirik aja deh jadi orang," sahutnya dengan wajah tengil.

Tiba-tiba, dalam lamunan, aku melihat bayangan Muti dan si duo kembar di kejauhan. Rasa penasaran menyergap, lantas aku menarik lengan Kakakku untuk mengikutiku. "Mau kemana?" tanyanya.

"Ikuti saja dulu," jawabku sambil menariknya perlahan.

Awalnya, mereka seakan tidak mengenalku, jadi aku sedikit iseng bermain peran dengan mereka.

"Pagi, Tante. Bolehkah saya bertanya?" ucapku dengan tampang polos.

Meskipun ekspresi wajahku terlihat biasa saja, namun dalam hati, aku berusaha menahan tawa karena melihat wajah Muti yang langsung geram saat aku memanggilnya

"Tante".

"Apaan?" balas Muti ketus.

Saat ini, tanganku masih menggenggam lengan Anti, entah dia nyaman atau tidak, tetapi dia tidak berusaha melepaskannya.

"1 jam berapa ya, Tante?" tanyaku singkat, mencoba memancing reaksi mereka.

Mereka tampak bingung, mengkerutkan dahinya, namun aku tak tahu apa yang mereka pikirkan. Biasanya, mereka sudah terbiasa dengan pertanyaan seperti itu.

"Cukiii, apa penampilan aku terlihat seperti wanita sewaan?" ujar Muti kesal.

"Santai saja, Mbak," protes kak Anti tiba-tiba.

"Apa? Kamu mau belain cowokmu itu, ya? Ajarin dia tata krama dong, ini rumah sakit, bukan tempat umum," timpal Muti dengan langkah mendekat, nyaris menyentuh wajah kami.

Suasana semakin tegang, percikan emosi dan perselisihan mulai meletup-letup, seolah tak ada jalan damai dalam pertengkaran ini.

Aku yang mulai melihat suasana semakin tidak mendukung, jadi aku mengakhiri keisenganku.

"Tante Muti, Mbak Pingka, dan Pingki," celetukku.

Sejenak Muti keheranan menatapku, "Kamu siapa? Kenapa kamu mengenalku?" tanyanya heran.

"Apakah Tante kenal Alex?" tanyaku dengan harapan mereka langsung bisa menebakku.

" Alex, jadi kamu Alex ? Aku ngambek sama kamu! Masa di usia muda dan cantik ini, kamu panggil aku Tante?!" keluhnya sambil memasang wajah manjanya, yang membuatku tertawa.

"Hehehe, maaf, maaf. Jadi, kalian enggak kangen sama aku?" tanyaku sambil berlagak pede.

"Enggak!" jawab mereka bertiga kompak, namun tak lama kemudian mereka berebutan untuk memelukku. Tiba-tiba Anti terlihat bingung dan tersingkir sejenak.

Anti ialah kakak kandungku, dan memiliki nama lengkap Risdayanti. Sebenarnya kebanyakan orang-orang memanggilnya Risda, namun aku lebih memilih memanggilnya Anti.

"Kalau mau peluk, antri dong. Enggak enak nih dilihatin orang," protesku hanya sekadar mengejek.

Mereka pun melepaskan pelukannya dan Kak Anti langsung mengalihkan perhatiannya kepadaku.

"Lex, itu siapa? Pacar baru kamu?" tanya Pingki sambil melirik Kak Anti.

"Itu dia...," ucapku yang terpotong.

"Saya Risdayanti, Mbak. Teman kecil Alex waktu di kampung," jawab kak Anti cepat sambil tersenyum ramah.

Namun, entah mengapa dia tak mampu mengungkapkan secara terus terang bahwa dia adalah kakak kandungku. Padahal aku tak memiliki masalah bila mereka mengetahui kenyataan itu. Tapi, demi mengikuti suasana pembicaraan kami, aku ikuti saja alurnya.

"Oh, iya! Perkenalkan, aku Mutiara, dia Pingki dan Pingka," jawab Muti sambil memperkenalkan si kembar sekaligus.

"Lex, kamu nggak ketemu Mbak Lala? Tadi dia ke kosan nyusul kamu, loh," tanya Pingka.

"Sebenarnya, tadi, aku berniat menunggunya. Namun, ada temanku yang sedang dalam keadaan darurat. Aku harus segera membawanya kerumah sakit," jawabku.

"Habis berkelahi lagi pastinya kalian! Lihat saja mukanya sudah seperti mumi," celetuk Muti menebak.

"Hehe, hanya melakukan perlawanan saja kok," jawabku santai.

Tiba-tiba teringat sesuatu, aku bertanya, "Oh ya, lupa! Kalian ke sini jengukin siapa sih?"

Tepat saat itu, terdengar langkah kaki di belakangku. Dengan spontan, aku berbalik dan ternyata Mbak Lala dengan langkah tergopoh-gopoh mendekatiku.

"Ni anak nggak sabaran am...," ucapannya terpotong ketika ia sudah berada di depanku. Wajahnya berubah seketika, begitu melihatku.

"Kamu kenapa, Dek? Habis berantem lagi?" tanyanya penuh kekhawatiran.

"Husstt, itu nggak penting, Mbak. Yang pengin aku tanyain sekarang, kalian semua kesini jengukin siapa, sih?" tanyaku dengan nada menekan.

"Rina, Dek. Rina udah ditemukan. Tapi keadaannya masih koma sampai saat ini," ujar Mbak Lala, kemudian langsung duduk di kursi besi yang disiapkan untuk setiap penjenguk.

Degggghhhh...

Sesaat, detak jantungku seakan berhenti seketika mendengar ucapan Mbak Lala. Entah mengapa, saat mendengar kata 'koma', tubuhku langsung lemah tak berdaya. Aku tak mampu menahan kesedihan yang melanda, perlahan air mataku tercipta dan mulai menetes di sela-sela mataku.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Bugis cek

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku