Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Namanya Amina, Amina Shafira. Gadis dua puluh dua tahun yang berkuliah di salah satu Universitas terkemuka di ibukota Skotlandia.
Banyak orang mengenalnya dan mereka memiliki kesan yang cukup baik tentang sosok gadis berotak encer tersebut. Teman seangkatan dan beberapa senior terkadang kerap mengundangnya untuk makan di meja yang sama, atau sekadar menawarkan tumpangan pulang usai mata kuliah berakhir.
Si pemilik wajah oriental khas Asia, merupakan satu dari sekian banyak pelajar beruntung yang berhasil menjejakkan kaki di tanah Eropa ini berbekalkan beasiswa.
Selama dua tahun menetap di sana, kehidupannya tergolong aman, cukup nyaman dan berjalan biasa-biasa saja. Selain menunjang status sebagai seorang mahasiswa, Amina juga menghabiskan sebagian waktunya dengan bekerja paruh waktu di kedai kecil penjual bunga, menjadi seorang asisten di sana demi menopang kebutuhan yang kadang-kadang tak berkecukupan, tak mungkin juga ia menggantungkan seluruh kebutuhan sehari-hari dan hal remeh lainnya pada dana beasiswa, sementara ia hidup dalam kawasan serba mahal seperti ini. Dalam lingkungan di mana uang adalah satu-satunya alat yang dapat berbicara tentang segala-galanya.
Amina tinggal sendiri, di sebuah flat kecil dengan harga yang terbilang murah untuk mahasiswa sepertinya. Hunian yang terletak di lantai dua, terdiri dari satu kamar tidur berukuran kecil, kamar mandi, dan dapur yang terhubung dengan ruang tamu. Hal baik lainnya yang terjadi dalam hidupnya adalah, kedai bunga tempat ia bekerja terletak tepat di bawah lantai flatnya.
Kemudian, Tuhan tak berhenti di sana memberikannya keberuntungan, karena bos tempat ia bekerja sekaligus pemilik flat yang ia sewa tersebut adalah seorang wanita tua yang baik hati, bahkan tak segan menganggap Amina sebagai cucunya sendiri. Membuat gadis itu semakin sering berdoa dan bersyukur kepada Tuhan, atas nasib baik yang mengikutinya selama ini.
"Morning, Sweetheart!" sapa nyonya Agatha, begitu melihat Amina turun tangga dan menyangka anak itu sudah siap berangkat ke kampus. Rutinitas pagi seperti biasa, nyonya Agatha yang pagi-pagi sekali tiba dengan diantar oleh supirnya untuk membuka gerai lebih awal, sebelum diambil alih oleh Amina sepulangnya dari kuliah. Senyum wanita itu mengembang lebih lebar dari biasanya.
"Good morning, Ma'am" sahut Amina, tersenyum sekilas pada wanita cantik pemilik tempat tinggal sekaligus tempat kerjanya ini. Berjalan menghampiri begitu nyonya Agatha memintanya mendekat sembari membenahi ransel yang tersampir di bahu kiri.
"Tadi pagi aku membuat banyak, dan ini aku menyimpannya khusus untukmu. Ambillah," ujar beliau, mengeluarkan sesuatu dari dalam totebage dan diberikannya pada Amina. Sebuah kotak bekal transparan, sehingga ia dapat dengan jelas melihat isi di dalamnya berupa tiga potong french toast dengan topping nutella, beberapa butir blueberry dan strawberry.
Amina tak bisa menyembunyikan kerjab matanya yang berbinar-binar bahagia, tak lupa mengucapkan terima kasih berkali-kali. Karena memang bukan sekali dua kali ia menerima bekal serupa dari nyonya Agatha, tetap saja membuatnya merasa tak habis pikir dan bertanya-tanya, entah kebaikan macam apa yang pernah ia lakukan sehingga Tuhan membalasnya seperti sedemikian rupa.
"Thank you, Ma'am, i am truly very grateful. This must be really delicious." Sekali lagi Amina berterima kasih dengan pelafalan bahasa inggrisnya yang fasih, memuji dengan sepenuh hati, karena rasa dan kelezatan dari hasil masakan tangan tua berkeriput itu memang tak perlu diragukan lagi.
"Kalau begitu jangan sampai ada yang tersisa, eat a lot, habiskan semuanya, oke?" ucap nyonya Agatha, diusapnya sejenak pucuk kepala gadis mungil itu yang tertutup beanie. Amina mengangguk-angguk tanda mengerti.
"Tentu saja," katanya, kemudian pamit pergi demi mengejar bus untuk keberangkatannya hari ini.
Sepuluh menit berlalu, bus yang ia naiki berhenti di pemberhentian. Artinya, Amina harus berjalan kaki sebentar lagi untuk sampai ke fakultasnya, karena pintu gerbang kampus masih berjarak 15 meter dari tempatnya berdiri sekarang.
Ia sempat menghirup napas dalam-dalam sebelum memutuskan untuk menyeberang jalan, menikmati aroma pagi yang sesekali terselip harum roti bakar yang berasal dari kedai-kedai terdekat, bias mentari yang terasa cukup hangat pada musim semi pun ikut serta menyorot ke arahnya, membuat suasana hatinya berkali lipat menjadi lebih baik.
Sampai suara klakson yang terdengar beruntun bersamaan dengan decit rem yang memekakkan telinga seketika membuat ia terperanjat, refleksnya mendadak macet kala ia berpaling dan mendapati sebuah mobil berhenti tepat 12 kaki di sampingnya. Sontak menjadikan tungkainya melemas seperti jeli, tak lagi sanggup menopang berat badannya sendiri, jatuh lunglai, terjerembap dengan mata melotot horor dan raut wajah yang dipenuhi teror.
Amina dapat merasakan tremor yang sedang menyerangnya saat ini, tangan dan kakinya bergemetar hebat di luar kendali. Suara lalu-lalang di sekitarnya pun terabaikan begitu saja, masih shock pasca hampir ditabrak dan hampir mati.
'Tuhan, Tuhan, Tuhan!' racaunya dalam hati.
Amina masih linglung, bahkan saat beberapa mahasiswa yang menyaksikan kejadian tesebut mulai berdatangan dan berkerumun di sana untuk memastikan keadaannya. Ia belum bisa merespon pertanyaan mereka, dan Amina tak mampu sekadar berpikir soal mengapa tak ada seorang pun yang berniat memapahnya berdiri, pindah dari tengah-tengah jalan aspal ini.
Hingga seorang gadis datang menghampirinya, menyeruak di antara kerumunan, menatap langsung ke dalam bola matanya dengan rahang halus yang megetat geram dan sorot wajah menahan murka. Amina hampir yakin, bahwa gadis ini lah yang hampir saja menabraknya. Diam-diam ia menelan ludah susah payah, kerongkongannya terasa semakin menyempit, tercekat, ketika gadis itu mulai menyalak.
"Sialan! Apa kau buta? Menyeberang jalan begitu saja tanpa melihat-lihat kanan kiri?!"