Catherine dan Figo saudara sepupu dari Mama dan Mommy. Siapa sangka kalau Papa dan Daddy sudah menjodohkan mereka bahkan sejak masih SMP. Bukan hanya secara lisan, ternyata mereka sudah sama-sama membuat surat wasiat perjodohan sebelum mereka meninggal dunia. Padahal, tanpa sepengetahuan Mommy, Figo sudah menikah dengan Hakaci dan sekarang tengah mengandung Buah Cinta Mereka. Sedangkan Catherine, walaupun belum menikah tapi sudah bertunangan dengan Prima. Pertunangan yang dirahasiakan karena ingin memberikan surprise di hari ulang tahun Mama beberapa bulan lagi. Bagaimana kisah perjuangan Catherine dan Figo dalam menolak perjodohan mereka? Bagaimana juga dengan Hakaci dan Prima? Yuk, simak sampai tamat?
Tidak seperti biasanya, Mama sudah menunggu di gazebo sewaktu aku pulang dari kampus. Meskipun aneh tapi tetap saja merasa tersanjung dan langsung berjalan mendekat, setelah memarkir mobil persis di samping garasi. Sengaja tidak memasukkannya ke garasi karena sebentar lagi mau pergi lagi, ke toko buku. Ini, pulang sebentar untuk mengambil buku memo yang tertinggal di kamar. Aku mencatat semua buku yang mau kubeli di sana. By the way kapan lagi kan, Mama yang super duper sibuk dua puluh empat jam itu menyambut kepulanganku seperti ini?
"Hai Sayang!" Mama menyapaku dengan kelembutan dan kehangatan yang berjuta-juta kali lipat dari biasanya, "Sudah dari tadi lho, Mama nungguin kamu! Kok, lama banget tadi ke kampusnya?"
Sebenarnya aku deg-degan juga mendengar pertanyaan Mama yang seperti itu tapi jujur, takut untuk membuat kesimpulan. Maksudku, di kamar aku punya schedule board yang cukup besar, sebesar papan tulis di kampus dan kami memakunya dengan tembok di samping pintu kamar bagian dalam. Artinya, setiap kali Mama masuk ke kamar, pasti dia bisa melihat schedule board itu dengan jelas. Well, aku juga menulisnya dengan tulisan yang tidak bisa dikatakan kecil, kok. Sekitar tiga puluh lah kalau misalnya diketik di 'document'. Masa, Mama tidak tahu? Ummm, atau malah belum masuk ke kamarku sama sekali, hari ini?
CATHERINE'S MONDAY
Pagi: Kampus
Siang: Toko buku
Sore: Rumah Ranti
Malam: Di rumah sampai pagi
Nah, sudah jelas dan detail kan, aku menulis jadwal hari ini? Wuaaahhhh, jangan-jangan benar, Mama belum marambah kamarku sama sekali? Ckckckck, benar-benar SBM. Super Busy Mama.
"Maaf Ma, tadi aku ke toko buku dulu. Ini pun bukunya belum terbeli, catatan judul sama penulisnya ketinggalan di kamar." kataku menjelaskan sambil menyalami Mama yang tersenyum penuh pengertian, "Ada apa, Ma?"
Melihat raut wajah Mama yang berbinar-binar seperti itu, rasanya penasaran juga. Jadi, walaupun harus segera kembali ke toko buku, aku menyempatkan diri untuk bertanya. Prinsipku, penasaran adalah penyakit yang paling ganas dalam jiwa manusia. Minimal, menimbulkan penyakit hati yang bernama kepo dan itu bisa berakibat fatal. Salah satunya insomnia, sungguh. Kalau tidak percaya, buktikan saja sendiri. Hehe. Oke, jadi mengingat betapa bahayanya sesuatu yang bernama penasaran itu, takkan kubiarkan diri ini mengalaminya dalam jangka waktu lebih dari sepuluh menit.
"Ada apa, yaaa?" tanya Mama menggoda sambil menggoyang-goyangkan kepalanya yang terlihat lucu, "Pingin tahu aja atau pingin tahu bangeeet, tuuuh?"
Mama tertawa cekikikan setelah itu, membuat rasa penasaran dalam diriku kian membesar dan mengeras. Bukan apa-apa. Masalahnya, semenjak Papa meninggal tiga setengah tahun yang lalu, baru kali ini aku melihat Mama sebahagia ini. Sumpah, aku sampai berpikir, jangan-jangan Mama jatuh cinta lagi? Ingin menikah lagi? Ya, yaaahhh, meskipun tidak rela kalau hal itu terjadi, sih. Who knows?
"Ya, pingin tahu banget lah, Ma!" jujur, aku menjawab, "Ada apa sih, Ma?"
Saat ini Mama tersenyum simpul, menyelam hingga ke dasar bola mataku yang perlahan-lahan menjadi berair dan hangat, membuat seluruh tubuh ini merinding ngeri. Entah mengapa, rasa-rasanya kecurigaanku tadi mendekati kebenaran kalaupun tidak bisa dikatakan benar, Mama jatuh cinta lagi. Jadi, dia menjajaki perasaan dan penerimaanku terhadap pria pilihan hatinya. Ah, belum-belum aku sudah ill feel. By the way punya papa tiri itu seperti apa, sih? Semenakutkan berita-berita yang sering kubaca di media sosial atau tidak? Semenyakitkan itu kah?
"Catherine Alexandra!" panggil Mama dengan nada kesal sambil mengguncang-guncangkan pundakku, "Kok, malah bengong, sih?"
Geragapan, aku menyorot penuh mata Mama dengan mata yang semakin menghangat, "Eh enggg ummm maaf, Ma?"
Sekian detik kemudian, aku berusaha untuk menghalau kecurigaan dan ill feel yang tadi sempat mengikis ketenangan hati. Lebih baik mendengarkan dulu apa yang akan Mama sampaikan. Menyimak dengan sebaik-baiknya, apapun itu.
"Iya udah, udah dimaafin. Tapi kamu janji ya sama Mama, jangan suka bengong lagi ya, Sayang?" Mama menyahut tulus, "Kalau kamu suka bengong gini kan, Mama jadi khawatir, Catherine?"
Refleks, aku menggeleng-gelengkan kepala, meyakinkan Mama, "Nggak kok, Ma. Aku nggak suka bengong lagi. Mungkin tadi itu karena belum jadi ke toko buku!"
Baik Mama maupun aku sama-sama tersenyum setelah itu, senyum lebar yang berujung pada tawa kecil. Kami memang begini kalau sedang berdua. Saling menghadiahi senyum atau tertawa kecil bersama-sama. Kalau tidak, bercanda atau berbincang-bincang dari hati ke hati. Sebenarnya ini kebiasaan baru, sih. Terutama setelah aku mulai kuliah, tiga tahun yang lalu. Menurutku, bukan hanya karena itu saja sih tapi juga karena Papa meninggal dunia. Well, mungkin Mama bangga karena aku diterima kuliah di Fakultas Kedokteran Umum universitas negeri yang terkenal di Yogyakarta. Tapi meninggalnya Papa juga faktor yang cukup besar untuk Mama memberikan perhatian lebih padaku. Buktinya, setelah itu Mama menambah waktu untuk Family Time. Bukan hanya weekend tapi juga di sela-sela waktunya bekerja sebagai ahli gizi di rumah sakit-rumah sakit besar di seluruh pelosok Negeri.
"Catherine?" panggil Mama dengan nada serius setelah tertawa kami terhenti secara alami dan tanpa menunggu aku menyahut dia melanjutkan, "Kamu sudah besar sekarang, sudah saatnya kamu tahu ...!"
Dug!
Begitulah bunyi detak jantungku setelah mendengar kata-kata pembuka Mama. Sudah besar, sudah saatnya aku tahu? Hei, what is that? Huaaa, benar kan, kecurigaanku tadi? Mama pasti mau menikah lagi kan, yang berarti akan ada seseorang yang bernama papa tiri dalam hidupku? Ya ampuuun! Kenapa harus sekarang, sih? Di saat aku sedang serius dan fokus menyusun TAS. Tugas Akhir Skripsi. Kenapa tidak besok saja, setelah aku lulus dan menikah dengan Prima. Jadi kan, sudah ada seseorang yang menjaga dan melindungiku? Eh! Tapi kan, Mama belum tahu soal hubunganku dengan Prima?
"Kamu kenapa, Sayang?" alih-alih melanjutkan penjelasannya, Mama justru bertanya padaku, "Kamu nggak apa-apa kan, Catherine? Ayo cerita sama Mama, ada apa, Sayang? Ada masalah apa, hemmm?"
Kali ini aku merasa Mama benar-benar perhatian jadi aku memberanikan diri untuk mengungkapkan isi hati dengan jujur, sejujur-jujurnya. Perlahan-lahan namun pasti aku menyusun kata-kata agar tidak menyinggung atau malah menyakiti hati Mama. Bagaimana pun kan, Mama itu harta kekayaan yang paling berharga dalam hidupku. Di bawah telapak kakinya, Allah ciptakan Surga.
"Mama?"
"Iya, Sayang?"
"Aku nggak keberatan kalau enggg Mama enggg misalnya Ma---"
"Walah, kamu kenapa sih Sayang, kok malah ang eng ang eng. Bicaralah yang jelas, yang tenang. Mama nggak apa-apa, kok."
Sejenak, aku memindai kejujuran kata-kata Mama, "Mama jangan nikah dulu ya, kalau aku belum lulus kuliah?"
Bukannya menanggapi, Mama malah tertawa terpingkal-pingkal, terjungkal-jungkal. Jujur, aku jadi kikuk dan bingung tapi mendadak kehabisan kata-kata. Speechless.
"Catherine, Catherine!" kata Mama sambil menyeka air matanya yang merembes, "Lha yang mau nikah itu siapa? Hahahaha. Cinta Mama cukup untuk Papa seorang, Sayang. Cinta sehidup semati, dunia akhirat. Hahahaha ... Catherine, ada-ada saja?"
Rikuh sekaligus malu, aku bertanya, "Jadi, ada apa, Ma?"
Mama tersenyum simpul, manis sekali. Senyum yang mempertegas gambaran kebahagiaan yang terpancar penuh di wajahnya, "Catherine, dengerin baik-baik, ya?"
Dalam kebingungan sekaligus ketakutan yang mendera, aku mengangguk lalu tanpa menunggu detik-detik berganti, Mama mengatakan, "Sebenarnya, Papa dan Daddy sudah menjodohkan kamu sama Figo!"
Haaa, whaaat?
Bab 1 What, Figo
24/12/2021
Bab 2 Tidak Recomended
24/12/2021
Bab 3 Catherine's Note
24/12/2021
Bab 4 Cincin Kawin
25/12/2021
Bab 5 Bicara Cinta
31/12/2021
Bab 6 Menggapai Prima Kembali
31/12/2021
Bab 7 Istri Figo
31/12/2021
Bab 8 She is Hakaciyua
31/12/2021
Bab 9 Mencari Terang dalam Gelap
31/12/2021
Bab 10 Masih Kelabu
31/12/2021
Bab 11 Revolusi Baru
01/01/2022
Bab 12 Versi Figo
01/01/2022
Bab 13 Kesampingkan Ego
01/01/2022
Bab 14 Pernyataan Prima
01/01/2022
Bab 15 Kenyataan Paling Pahit
01/01/2022
Bab 16 Block Figo
02/01/2022
Bab 17 Ranti
02/01/2022
Bab 18 Gagal Paham
02/01/2022
Bab 19 Jangan Berbohong Lagi
02/01/2022
Bab 20 Menemui Cinta
02/01/2022
Bab 21 Heart to Heart
05/01/2022
Bab 22 Dengan Berat Hati
05/01/2022
Bab 23 Pengakuan Figo
05/01/2022
Bab 24 Flash Otak dan Heart Attack
05/01/2022
Bab 25 Selalu Ada Cahaya
05/01/2022
Bab 26 Nasi Sudah Menjadi Bubur
05/01/2022
Bab 27 Menantu Minim Empati
06/01/2022
Bab 28 Konsentrasi ke Skripsi
06/01/2022
Bab 29 Calon Dokter Kandungan
06/01/2022
Bab 30 Kejutan Dari Ranti
06/01/2022
Bab 31 Hukuman dan Tuntutan Mama
06/01/2022
Bab 32 Pertemuan Prima dan Mama
09/01/2022
Bab 33 The Love Ring
09/01/2022
Bab 34 Komitmen Cinta
09/01/2022
Bab 35 Restu Suci Mama
09/01/2022
Bab 36 A Wonderful Surprise
09/01/2022
Bab 37 Mbak Manten
09/01/2022
Bab 38 Lamaran Yang Menghipnotis Jiwa
09/01/2022
Bab 39 Keluarga Baru
09/01/2022
Bab 40 Selalu Ada Kejutan
09/01/2022
Buku lain oleh Humairah Samudera
Selebihnya