Cinta yang Tersulut Kembali
Kasih Sayang Terselubung: Istri Sang CEO Adalah Aku
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Terpesona oleh Istri Seribu Wajahku
Gairah Citra dan Kenikmatan
Hamil dengan Mantan Bosku
Hati Tak Terucap: Istri yang Bisu dan Terabaikan
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Suamiku Nakal dan Liar
Bab 1 Balas Dendam Terindah
"Gadis malang, apa menurutmu dia akan sadar?" Pertanyaan yang wajar yang diajukan melihat kondisi Arawinda Ardiningrum yang selama enam bulan terbaring di ranjang pesakitan rumah sakit ini.
Arawinda telah mati enam bulan yang lalu, itu secara harfiah karena dia sama sekali tidak menujukkan pergerakan apa pun. Gadis manis berambut ikal sepunggung itu masih bernafas meski dengan bantuan selang oksigen. Jantungnya juga masih berdetak normal sesuai yang tampak di layar monitor di atasnya. Hanya saja, ia sama sekali tidak menunjukkan kemajuan yang berarti atau tanda-tanda bahwa ia akan sadar.
"Entahlah, " jawab suster berkacamata atas pertanyaan rekan kerjanya tadi. "Kau sudah mencatat semuanya?"
"Ya, tentu, seperti hari-hari kemarin, semuanya normal."
"Kau tahu, kurasa jika jadi gadis ini, aku tak ingin bangun."
"Apa maksudmu?"
"Yah, kau kan tahu ... " menjeda ucapannya, ia menatap wajah Arawinda, "Tak ada keluarga yang menungguinya."
"Setidaknya ada seorang pria yang menjadi pengunjung tetapnya, bukan?"
"Ya, pria itu, yang selalu membawa mawar putih untuknya," ungkap suster itu sambil memandang mawar putih di atas nakas.
"Seharusnya, kita tidak membahas itu di sini."
"Oh, aku tahu, menurutmu ... "
"Ya, tentu saja dia masih bisa mendengar kita," sergahnya cepat.
"Entahlah, aku tak seperti dirimu yang suka mengajak pasien koma di sini berbicara tentang cuaca, tentang bintang film yang sedang tenar atau tentang kisah-kisah romantis dalam novel yang kau baca."
"Itu bagian pekerjaanku."
"Meskipun begitu, aku lebih suka mengobrol dengan orang yang membalas kata-kataku," ucapnya seraya keluar ruangan, diiringi tatapan jengah rekan kerjanya.
Ruangan bercat putih itu kembali sepi, hanya terdengar suara mesin monitor yang dihubungkan kabel-kabel ke dada Arawinda.
Hari berlalu, keadaan dalam ruangan itu masih sama.