"Kamu ingin membakar air yang tenang?" tanya wanita itu tak percaya. Laki-laki itu hanya diam tak berkutik, tubuhnya terbujur kaku. Mati. "Sayang, sepertinya kamu lupa. Air dan api akan semakin membesar jika kamu satukan kami. Jika sudah membara, jangan salahkan aku yang akan membakar dirimu hingga engkau hangus tak terbentuk...."
Satu tahun yang lalu, aku kehilangan suami dan kakak perempuan iparku secara bersamaan. Mobil yang di kendarai suami dan kakak iparku yang perempuan menabrak mobil di depannya, sebab saat itu terjadi kecelakaan beruntun. Aku masih tak percaya dan merasa ini semua hanya lah mimpi buruk saja, tapi ternyata aku salah. Suamiku telah meninggalkanku untuk selamanya, padahal saat itu aku tengah mengandung anaknya yang berusia tiga bulan.
Bahkan lebih mirisnya lagi, usia pernikahan kami baru berjalan satu setengah tahun. Di saat pasangan lain tengah bersuka cita karena telah di hadiahi buah cinta dari hubungan pernikahan, tapi Ardi malah meninggalkan anaknya dan aku tanpa anakku bisa melihat wajahnya sekalipun.
Semua kenanganku dan Ardi di rumah ini sangat terasa kental sekali bagiku. Rumah yang di berikan oleh Saudara tertua Ardi sebagai hadiah pernikahan kami. Sebab Ardi dan saudaranya sudah tak memiliki orang tua lagi, jadilah Abang Rion: saudara tertua Ardi seperti orang yang lebih di tuakan di sini. Ardi dan abangnya adalah dua bersaudara pengusaha yang sukses di perusahaan properti peninggalan orang tua mereka.
Ardi adalah seorang CEO dari perusahaan orang tua mereka yang bergelut di bidang properti, sedangkan abang Rion sebagai direktur utama di perusahaan.
Aku pun sebenarnya sudah tahu, bahwasanya Ardi dan abang Rion adalah saudara tiri. Ardi adalah anak angkat dari keluarga Aditama.
Rasa kehilangan nyatanya tidak hanya diriku saja yang merasakannya, tetapi Abang Rion pun juga demikian. Ia kehilangan istri dan adiknya sekaligus.
Sejak kejadian kecelakaan tersebut, Bang Rion memintaku dan anakku yang baru berusia kandungan tiga bulan untuk pindah menetap ke rumahnya. Agar nanti aku tidak kerepotan apalagi waktu itu aku tengah hamil muda.
Mengingat saat di rumah lama aku dan Ardi tinggali, kami tidak pernah memakai tenaga asisten rumah tangga, jadi Bang Rion khawatir tak ada yang menjagaku. Sedangkan di rumah Bang Rion ada banyak pembantu yang akan menolongku.
Aku hanya bisa mengiyakan saja permintaan Bang Rion, sebab tak ada alasan lagi untukku menolaknya. Karena aku pun juga tak memiliki tujuan, kedua orang tuaku juga sudah tiada. Jika pulang kampung, nantinya malah hanya akan menyusahakan Paman dan Bibikku saja, maka dari itu akhirnya aku memutuskan untuk menerima tawaran dari Bang Rion.
Terhitung sudah satu tahun aku tinggal bersama Bang Rion dalam satu atap layaknya hubungan Abang dan Adik. Hingga suatu hari kami lepas kendali sebab menuruti hasrat yang sudah lama tak terpenuhi, sejak kami di tinggali pasangan masing-masing.
Entah siapa yang memulai, bibir kami mulai saling mengecap, melumat dan mengingatkan sesuatu yang lebih, yang seharusnya hal itu tidak kami lakukan....
***
Aku mengerjapkan mataku ketika terdengar bunyi dering handphoneku di nakas. Tanganku mencoba untuk meraihnya, kenapa Bang Rion menelponku di pagi-pagi buta seperti ini. Sedangkan bunyi kokok ayam saja rasanya belum menyahut.
Tak mau terlalu pusing memikirkan kemungkinan-kemungkinan, akhirnya aku menggeser tombol hijau di layar handphone-ku. Hingga akhirnya aku bisa mendengarkan suara Bang Rion yang seketika saja bisa membuat jantungku berdetak cepat tak karuan. Aku hanya bisa terdiam tanpa bisa mengucap sepatah kata pun saat Bang Rion menjelaskan maksud alasan kenapa ia menghubungiku dini hari begini.
Bahkan beberapa kali aku menampar pipiku sendiri, berharap kalau apa yang kudengar ini semua hanya lah mimpi buruk buatku. Iya, hanyalah sebuah mimpi buruk, entah siapa yang coba kubohongi. Padahal rasa tamparan di pipiku sendiri terasa sakit dan nyata. Bang Rion mengatakan akan menjemputku, lalu setelah itu baru lah panggilannya berakhir.
Hingga Bang Rion masuk ke dalam rumahku, aku hanya berdiam diri dan masih terduduk lemas di pinggir ranjang. Masih mencoba mencerna apa yang di katakan Bang Rion tadi.
Bang Rion memanggil namaku dan masih setia mengetuk pintu kamarku, tapi tak kuasa untukku menjawabnya hingga pintu kamar itu pun terbuka. Laki-laki itu mendekatiku.
"Ganti baju dulu, lalu kita pergi bersama!" ucap Bang Rion dengan suara yang tak seperti biasanya.
"Abang bercandakan?!?!?! Bilang ke Ella kalau ini semua hanya prank!!! Ini semua hanya main-main!!!" ucapku masih dengan suara yang bergetar.
Bang Rion hanya diam tak menjawab, lalu kurasakan laki-laki di depanku ini merengkuh ku erat. Hingga akhirnya air mata yang sejak tadi kutahan, tak lagi bisa aku untuk membendungnya. Aku terisak dengan dadaku yang berdenyut sakit.
"Change your clothes, Abang tunggu di luar." kata Bang Rion lalu keluar dari kamarku.
Aku berusaha berdiri dan berjalan ke arah walk in closet. Dengan tubuh lemas, aku keluar dari kamar dan Bang Rion menuntunku untuk turun ke lantai satu dan langsung bergeser menuju rumah sakit.
***
Setibanya di sana ada polisi yang mengarahkan kami ke sebuah ruangan. Aku langsung membuka tak bisa berkutik saat Bang Rion membuka kain itu menampilkan wajah Ardi, suamiku.
Aku mulai terisak dan menangis. Menangisi pria yang beberapa jam yang lalu masih mengabariku di perjalanan bersama kakak iparnya dan juga berkata rindu padaku, kini malah terbaring terbujur kaku di hadapanku. Di sampingnya ada jasad kakak perempuan iparku yang juga terbaring di sana.
Awalnya tadi Ardi ingin menjemput Kak Renata di Sukabumi, dan lima jam yang lalu Ardi menelponku bahwa ia sudah berada di perjalanan untuk pulang.
"Bahkan kamu tidak membiarkan anakmu untuk bertemu dengan Daddynya....." ucapku di tengah-tengah isak tangisku sambil mengelus perutku yang mulai terlihat agak membuncit di usia kandungan tiga bulanku.
Dan kini bayiku harus kehilangan sosok Daddynya bahkan ketika dia belum dapat untuk sekejap saja melihat wajah Ardi.
Tangisku semakin tak terbendung saat Bang Rion memberiku pelukan untuk menenangkanku dan mengeluarkanku dari ruangan jenazah tersebut. Bang Rion mendudukkanku di bangku panjang tempat menunggu sebelum dua orang berseragam itu mendekati kami.
Bang Rion dan dua orang polisi itu sedikit menjauh dari tempat dudukku seperti tengah membicarakan sesuatu. Aku hanya bisa merenung memikirkan apa yang terjadi, hati kecilku masih berharap jika aku hanya bermimpi. Mimpi yang tak pernah ingin aku mimpikan. Tak berselang lama setelah itu, Bang Rion kembali ke arahku dan dua polisi tadi pergi menjauh dari kami.
"Polisi masih menyelidiki penyebab dari kecelakaannya. Sebaiknya kamu berisitirahat di rumah, biar sopir Abang yang mengantar kamu pulang. Abang mesti mengurus beberapa keperluan di sini." Ucap Bang Rion padaku. Namun aku langsung bergeleng cepat. Aku masih ingin di sini. Toh, di rumah pun juga tidak ada siapa-siapa. Aku hanya akan akan memikirkan hal-hal yang tidak ingin aku lakukan.
"Ella masih ingin di sini." Balasku singkat, kudengar Bang Rion menghela nafas kasarnya.
"Kamu sedang mengandung Stella. Pikirkan juga tentang anakmu!!" tukas Bang Rion membuatku sejenak mengingat bayiku. Namun tubuhku mulai terasa lemas, sangat lemas. Bibirku terasa kelu untuk menjawab perkataan Bang Rion tadi. Lalu perlahan tapi pasti, penglihatanku mulai menggelap. Samar-samar aku merasakan Bang Rion menggapai tubuhku melayang sepertinya di gendong oleh Bang Rion, setelah itu aku tak tau apa lagi......
***
Tubuhku menggeliat pelan, perlahan kubuka mataku. Aku kini berada di kamar Ardi. Bukan di kamar rumah lama kami, tapi di rumah orang tua Bang Rion yang hingga kini masih di tempati oleh Bang Rion.
Ingatan terakhirku yaitu aku sedang di rumah sakit lalu pingsan. Pasti Bang Rion yang membawaku ke sini, kucoba untuk turun dari ranjang dan berniat menuju ke kamar mandi, bersamaan dengan itu pintu kamar terbuka. Terlihat Bang Rion sudah rapi dengan kemeja dan celana bahan berwarna hitamnya.
"Abang bawakan pakaianmu. Pakailah lalu kita langsung ke pemakaman," kata pria yang kupanggil Abang tersebut, yang kini umurnya sudah 35 tahun itu, berjarak 12 tahun aku lebih muda darinya.