"Aku mencintaimu sedalam samudera meski aku tak tahu bagaimana cara mengukur dalamnya." [Zivanna Yahya] "Cukup mencintaiku di atas permukaannya saja jika kau tak ingin terluka lebih dalam." [Rio Wibisono] "Dosa yang paling terindah untukku adalah saat mencintai milik orang lain dan aku ingin memiliki seutuhnya." [Gregory Abel]
Seharusnya pernikahan ini adalah pernikahan pertama dan terakhir untukku agar tiada lagi pernikahan kedua, ketiga, dan seterusnya. Tapi ternyata, di luar sana aku menemukan samudera yang luas dan tenang, meski orang bilang samudra itu dalam dan ganas. Apakah aku salah jika menantang diriku dengan melakukan dosa terindah dalam hidupku setelah sekian lama merasakan kebohongan demi kebohongan dalam bentuk ikatan cinta suci?
(-Zivanna Yahya-)
"Sayang, di mana pakaianku?"
"Sayang, di mana sepatuku?"
"Sayang, di mana kopiku?"
"Sayang, di mana kunci mobilku?"
"Sayang ... Sayang ... Sayang ... Sayang."
Hidup Zivanna Yahya serasa di taman kanak-kanak! Memiliki suami yang selalu bertanya tentang barang-barang miliknya hampir tiap hari membuat Zivanna hampir gila!
Rio Wibisono, laki-laki berusia 35 tahun yang bekerja sebagai dosen sejarah pada universitas ternama di Jakarta dan beberapa kali menjadi dosen tamu di luar Jakarta, tampan, hidung mancung, kulit kuning, potongan rambut selalu mengikuti tren masa kini, tak heran jika Rio menjadi buah bibir dan primadona tempatnya mengajar. Tak hanya itu, berulang kali mahasiswinya bahkan terang-terangan menyatakan perasaan mereka padanya, meski tahu ia telah beristri yang tentunya jauh lebih cantik dan pintar.
"Sudah kusiapkan di tempatnya masing-masing, Mas. Heran deh, masih aja tanya di mana ... di mana ... kaya lagunya Ayu Ting-Ting aja!" Zivanna Yahya, putri pertama keluarga Hernandi Joshua Yahya, arsitek muda yang menjanjikan sekaligus penikmat benda-benda seni lukis. Dia amat terobsesi dengan sesuatu yang berbau kewanitaan, hingga mendapat julukan Miss Feminis saat masih kuliah.
"Ya, kan itu tugasmu, Sayang. Apa iya kamu seharian mau duduk gambar aja, yang ada nanti ambeien plus sembelit, lho." Canda Rio sambil menjulurkan lidahnya pada Zivanna yang sedang menggambar untuk proyek barunya.
"Namanya kang gambar, Mas ya harus duduk. Kalo kang parkir, kerjanya berdiri dan teriak-teriak," balasnya santai.
"Hmmm, mulai. Iya ... iya, deh. Emang susah kalau udah bicara sama ras terkuat di bumi," celetuknya.
Zivanna yang sepintas mendengar ucapan Rio menghentikan laju pensilnya dan mengarahkan tatapan selidik. "Ngomong apa barusan?"
"Eh, e-enggak-enggak. Nggak ada kok, Sayang. Aku siap-siap dulu, ya." Rio lari tunggang langgang karena tahu jika Ziva, begitu sang suami menyapa istri cantik dan manjanya sudah marah, apapun akan melayang.
***
Mousedeer : Kamu di mana? Kok jam segini belum datang? Aku udah di tempat biasa. Cepetan donk! Lama, ih! Kaya pejabat aja!
Mousedeer : Jangan-jangan kamu masih tidur, ya? Atau kelonan sama istri kamu yang manjanya setengah mati itu!
Mousedeer : Rioooooo!!!! Di mana kamu!?
Berulang kali bunyi pesan masuk di ponsel Rio mengusik gendang telinganya. Buru-buru dia melihat siapa yang mengiriminya pesan bak debt collector.
"Diani?" ujarnya pelan celingak-celinguk kalau-kalau Ziva dengar.
Me : Iya, bentar lagi, sabar sedikit lagi, ya.
"Aku harus buru-buru nih, kalau nggak bisa kena jatah omelan preman cantik."
Rio segera menghampiri ruang kerja Zivanna yang tak jauh dari kamar inti mereka. Memberi kecupan kejutan dari belakang, Rio dengan senyum lebar berpamitan pada sang istri untuk mengajar.
"Jemput aku ya, Mas," pinta Ziva.
"Kuusahakan ya, Sayang kalau nggak ada rapat atau ngisi kelas dadakan, soalnya ada dosen yang lagi cuti hamil."
Ziva mengangguk. Rio dengan segera melangkah menjauh dari ruang kerja sang istri dan saat masuk ke mobilnya, sang suami menghubungi seseorang dengan nada bicara yang mesra.
"Aku akan sampai 20 menit lagi, tunggu ya."
***
Sepasang sepatu dengan heels sekitar 7 cm berdiri di depan ruang dosen sambil mondar-mandir. Berkali-kali wanita rambut sepinggang itu melihat jam tangan di tangan kirinya.
"Lama banget, sih! Nggak tahu orang capek nunggu apa!"
Tak lama terdengar suara nyaring sepatu pantofel menggema di gendang telinganya. Keadaan kampus pagi ini memang masih sepi, hanya di beberapa fakultas yang telah ramai oleh mahasiswa.
"Hai, Sayang. Maaf, ya. Jalanan macet banget. Ini aja aku udah ngebut," suara pria tak lain dan tak bukan adalah Rio bersenandung mesra menyapa perempuan jelita yang sedari tadi menunggunya. Dialah Diani, perempuan berusia 29 tahun, dosen di mana Rio mengajar sekaligus wanita idaman lain suami Zivanna Yahya.
"Maaf, ya, Sayang." kecup mesra Rio di kening Diani.
"Eh, hati-hati donk, Sayang. Gimana kalau ada yang lihat nanti? Kamu kan tahu kalau kampus kita ini banyak CCTV-nya!" Diani buru-buru mendorong kasar tubuh Rio yang memeluknya.
"Pagi!!!"
Suara nyaring tak kalah menggema mengejutkan keduanya.
"Arnold!" ucap Rio dan Diani berbarengan.
"Dih, kenapa kalian liatin aku kaya gitu? Heran ya belum pernah lihat dosen ganteng paripurna kaya aku," narsisnya.
Rio dan Diani saling lempar pandangan, mereka berharap Arnold tak melihat saat keduanya tengah berpelukan tadi.
"Tumben kamu dateng pagi-pagi buta? Mimpi didatengin siapa semalam?" ledek Rio tertawa renyah.
"Mimpi didatengin bidadari." Ucapnya sambil melirik Diani. Rio yang melihat gerakan mata Arnold terbakar cemburu dan menggaet lengan dosen narsis itu menjauh dari Diani.
"E...e, apa-apaan ini! Kok aku main ditarik aja kaya ayam yang mau dipotong!" protes Arnold.
"Kerjaanmu banyak! Ada laporan dari beberapa mahasiswamu yang bilang kalau kamu nggak adil kasih mereka nilai dan laporan tugas yang kamu kasih ke mereka juga belum diberi nilai!" Rio menunjukkan ekspresi sedikit nyolot ke Arnold.
"Oh, hehe...iya, aku lupa. Nanti eh maksudku hari ini kukerjakan," ucap Arnold.
"Bagus deh! Jadi dosen tuh yang profesional, kita kan udah disumpah, sama kaya dokter. Jadi, kerahkan ilmu kita untuk mereka," sambung Rio duduk di kursi tempat kerjanya.
"Hmmm, mulai lagi khotbahnya. Iya...iya, Pak Rio Wibisono menantu Pak Hernadi Joshua Yahya yang terhormat," ledek balik Arnold.
Seketika, ruang dosen yang tadinya sepi menjadi ramai walau hanya diisi dua orang. Namun, di saat Rio dan Arnold tengah bercanda mengenai keluarga istrinya, Diani melipat kedua tangannya berdiri di ambang pintu menyandarkan tubuhnya sambil melihat dengan ekspresi tak mernyenangkan.
Mousedeer :Teruskan! Teruskan percakapan kalian dan pamerkan kebahagiaanmu menikahi perempuan itu!
Rio yang mendengar ponselnya berdering, segera membuka pesan yang baru saja masuk dan melihat ke arah pintu utama ruangan dosen. Diani masuk dan duduk kasar di tempat kerjanya.
"Eh, Diani kenapa? Kok mukanya jutek banget?" tanya Arnold penasaran.
"Entahlah, bentar ya." Rio hendak berdiri namun ditahan oleh Arnold. "Eh, mau ke mana?" tanya Arnold menghentikan Rio.
"Katanya kamu mau tahu Diani kenapa, ya kutanya ini," jelas Rio.
"Nggak...nggak! Nggak usah. Biar aku yang nanya sendiri!" Arnold bangun dari kursinya dan menghampiri meja Diani. Sementara Rio melihat dengan penuh cemburu. Dan di saat bersamaan, Ziva menghubungi sang suami dan Rio sengaja mengencangkan volumenya.
"Halo, Sayang. Kenapa? Kamu kangen ya sama aku?"
Diani dan Rio langsung menoleh ke meja Rio.
[Jangan lupa nanti Mas jemput aku, ya di tempat kerja. Soalnya mobilku masuk bengkel]
"Iya, Sayang. Jangan khawatir. Apa sih yang nggak buat istriku tercinta..."
"Cieeeee..." ucap Arnold terdengar oleh Ziva.
[Siapa itu?]
"Siapa lagi, ya si Arnold, dosen narsis."
Diani makin tersulut emosi dan mendorong tubuh Arnold. "Minggir!" ucapnya ketus.
"Eh, Diani! Mau ke mana?" Arnold segera mengikuti Diani, Rio merasa ada kepuasan karena ternyata Diani sangat terbakar api cemburu tapi di sisi lain ia khawatir jika Arnold akan menjadi duri dalam hubungan mereka.
[Halo...halo, Mas. Masih di sana kan kamu?]
"Oh, iya..iya, Mas dengerin kok. Nanti mau dijemput jam berapa?"
[Nanti aku kabari, ya]
Rio terus memperhatikan Arnold dan Diani meski siluet mereka mulai menghilang.
[Mas!] teriak Ziva.
"Oh, iya..iya, Sayang. Yaudah ya, Mas mau ngajar dulu. Nggak enak sama yang lain, udah pada dateng." Rio langsung menyudahi percakapan mereka sebelum Ziva mengucapkan kalimat penyemangat seperti biasanya.
"Arnoldddd!!" geramnya namun Rio hanya bisa menahan kekesalannya.
***
Ziva yang saat ini masih ada di rumah merasa ada yang aneh dengan sikap suaminya. Tiba-tiba mematikan sebelum ia menyemangati hari-harinya, membuat Ziva sedikit bersedih. "Apa aku terllu keras ya sama Mas Rio selama ini?" pikir Ziva.
Tak lama, saat Ziva hendak beranjak dri ruang kerjanya, deringan ponselnya membuat langkahnya terjeda. Dilihat, nama Papa terbaca jelas di layar gawainya.
"Iya, Pa. Ada apa?"
[Ziva, kamu di mana? Bisa datang ke rumah?]
"Kenapa memangnya Pa? Ziva mau siap-siap ke kantor."
[Sebentar saja, ada yang mau Papa bicarakan]
Jangan bilang soal mas Rio lagi.
"Iya, Pah. Ziva segera ke sana."
Zivanna hanya bisa menarik napas panjang sesekali mendesah kasar. Bagaimana tidak? Pernikahan mereka sebenarnya banyak mendapat tentangan, terutama dari sang papa dan adiknya, Zevanya yang saat ini menempuh pendidikan Master Art-nya di Rusia.
"Hah, apalagi yang mau dibicarakan? Heran aku sama papa!" gumamnya agak kesal.
Sementara itu, Rio yang mulai masuk mengajar merasa tak tenang karena Diani dan Arnold belum juga kembali. Matanya terus terfokus pada pintu ruangan dosen dan membuatnya gelisah. berkali-kali ia mengirimkan pesan singkat namun tak jua ada balasan.
"Ke mana sih mereka! Apa jangan-jangan ... ah, nggak...nggak! Jangan mikir yang aneh-aneh Rio!" ucapnya pelan.
"Pak Rio kenapa?" tanya salah satu temannya yang ternyata memperhatikan sikapnya.
"Eh, ke-kenapa apanya, Pak?"
"Dari tadi saya perhatikan Pak Rio komat-kamit gitu. Lagi ada masalah sama istri Bapak, ya?" tanyanya sambil menepuk pundak kanan Rio dengan tertawa.
"Udah, istri mah emang gitu, Pak Rio. Tapi Pak Rio kan belum lama nikah, ya? Masih anget-angetnya, nanti kalau udah 5 atau 10 tahun, baru deh ngrasain pernikahan kaya sayur tanpa garam," celetuk teman mengajarnya yang lain.
Rio hanya membalasnya dengan senyuman meski hatinya dongkol dan kesal karena teman-temannya main ikut campur urusan pribadinya.
"Enggak, Pak. Saya dan istri saya baik-baik saja, kok. Cuma lagi kangen saja," ucapnya tanpa diduga Diani dan Arnold masuk berbarengan.
"Lho, dari mana nih pasangan jomblo kita, Bu Diani dan Pak Arnold?" tanya temannya melihat ke arah keduanya. Spontan, Rio juga melihat ke arah mereka.
Diani! Jangan-jangan dia mendengar semua? batin Rio.
"Cari angin, Pak," ucap Diani tak memedulikan Rio yang masih terus melihatnya.
"Pak Arnold juga sama?" tanya temannya yang lain.
"Ya, kalau saya sih cari angin surga," kekehnya.
Meja Diani tepat berada di sebelah kiri mejanya, sedang meja Arnold berada di depan meja Rio. Tiadanya sekat antara meja Rio dan Diani membuat keduanya terkadang curi-curi kesempatan untuk bisa dekat atau hanya pegangan tangan saat di ruangan dosen.
Me : Dari mana kamu? Kenapa lama banget?
Mousedeer : Apa urusannya sama kamu! Toh kamu juga lagi sibuk mikirin istrimu!
Me : Kamu marah atau cemburu?
Mousedeer : Jadi aku nggak boleh marah, cemburu? Yaudah kalau itu maumu! Tapi kuharap kamu juga jangan cemburu atau marah kalau Arnold sering deketin dan ikutin aku!
Diani melirik tajam ke arah Rio, begitu pula sebaliknya, dua tatapan yang sama-sama menyimpan pertanyaan dan kecemburuan hingga mereka lupa jika Arnold masih ada di ruangan itu dan diam-diam memperhatikan mereka.
Kenapa aku merasa Diani dan Rio ada sesuatu, ya? batin Arnold.
***
"Mana papa?" tanya Ziva saat tiba di rumahnya pada salah satu ART-nya.
"Tuan besar ada di ruang kerjanya, Nona."
Tanpa membuang waktu, Zivanna segera menuju ruang kerja sang papa tanpa
mengetuk pintu.
"Pagi, Pa. Ziva udah datang." Masuk putrinya langsung duduk.
"Kamu...nggak bisa apa ketuk pintu dulu?"
"Maaf, Pa. Kebiasaan," sahutnya santai. "Ada apa Papa suruh Ziva ke sini?"
"Di mana Rio?"
"Udah berangkat Pa."
"Tumben pagi-pagi benar? Ada angin apa?" sindir sang papa.
"Pa, kalau Papa nyuruh Ziva ke sini cuma untuk mendengarkan kata-kata buruk tentang mas Rio, Ziva pergi, Pa!" tegas Ziva menilik tajam sang papa.
"Hmm, jadi kami sudah tahu Papa manggil kamu untuk apa?"
"Mas Rio?" sahut Ziva menebak.
"Berapa lama kalian menikah?" tanya sang papa kemudian.
"Tiga tahun," jawabnya singkat.
"Dan dalam waktu tiga tahun apa yang kamu dapatkan? Katakan!"
Zivanna terdiam. Memang selama mereka menikah selama tiga tahun terakhir, Rio belum memberikan hasil yang maksimal bagi dirinya. Rumah yang mereka tempati pun sebenarnya milik sang adik, Zevannya yang memilih menetap di Rusia.
"Kenapa Papa harus membahas ini lagi, sih? Tiga tahun itu masih waktu sebentar, Pa. Jangan Papa samakan dengan orang lain!" balas Zivanna tak senang dengan pernyataan sang papa.
"Ziva, Papa mengizinkan kamu menikahi Rio karena status dia sebagai dosen yang setidaknya akan dihargai oleh kolega-kolega Papa. Tapi apa kenyataannya? Dia malah membuatmu sengsara! Untung kamu seorang arsitek dan memegang posisi penting, kalau tidak-"
"Kalau tidak apa Pa? Ziva akan sengsara? Miskin? Ziva tahu rumah yang kami tempati milik Zeva. Jika dia menginginkan uang sewa, kami akan bayar!" Ziva beranjak dari kursi yang ia duduki dan beralih ke pintu ruang kerja sang papa.
"Mau ke mana kamu? Papa belum selesai bicara!"
"Ke mana lagi? Bukannya Papa ingin Ziva makmur dan KAYA seperti papa dan Zeva?!" Tanpa memandang sang papa, Ziva meninggalkan tempat itu.
"Anak itu...menyesal kenapa dulu aku memperbolehkannya menikah dengan laki-laki macam Rio!" kesal Hernandi mendudukkan dirinya kasar.
***
Rio yang telah selesai mengajar tak langsung kembali ke ruang dosen. Bersama dengan para mahasiswa dan mahasiswinya, ia pergi ke kantin yang letaknya di belakang kampus. Meski Rio terkenal di kalangan para mahasiswi, namun ada beberapa yang belum mengenal bahkan melihat suami Ziva ini secara langsung. Suasana kantin yang ramai membuat Rio kesulitan mendapatkan bangku kosong, salah satu mahasiswi yang kebetulan melihat Rio mendatanginya dan mengajaknya bergabung dengan teman-temannya.
"Pak Rio?"
"Oh, ya..." Rio tersenyum sambil berpikir mencoba mengenali gadis manis yang menyapanya.
"Pak Rio tumben ke sini?" tanya gadis itu lagi.
"Iya, saya lagi ingin suasana baru," sahut Rio.
"Tapi jam segini kantin pasti penuh, Pak dan akan sulit dapat tempat kosong. Gimana kalau Bapak gabung sama teman-teman saya aja?" tawar dan ajak gadis itu.
"Ah, nggak usah. Nggak enak. Biar saya tunggu di tempat lain." Rio hendak berpaling dari tempat itu, namun secara tak sengaja seorang mahasiswi menumpahkan gelas berisi jus alpukat ke kemejanya. Alhasil, Rio pun spontan marah dan memelototi mahasiswi tersebut.
"Haduh, kemeja mahal saya jadi rusak, kan? Mata kamu ke mana, sih! Jalan kok nggak lihat-lihat!" Ucapnya sembari membersihkan tumpahan jus alpukat di kemejanya.
"M-maaf, Pak. Saya nggak sengaja...betul-betul nggak sengaja," ucap gadis itu ketakutan.
"Ini Pak, tisu buat bersihin." Salah satu mahasiswi yang menawarinya duduk tadi memberikan tisu basah padanya.
"B-biar saya bantu, Pak," ucap gadis itu menawarkan diri.
"Ga usah! Bukannya makin bersih malah makin kotor nanti!" Rio pun beranjak dari kantin sambil membersihkan tumpahan jus alpukat.
Mahasiswi yang menumpahkan jus alpukat tadi mengikuti langkah Rio. Dia terus memanggil Rio untuk meminta maaf.
"Siapa nama kamu?" Rio tiba-tiba balik badan.
"A-Anastasia, Pak," jawab gadis berparas blasteran itu panik, takut, sekaligus terkejut.
"Kamu tahu siapa saya?" Rio mendelikkan matanya.
"M-maaf, Pak. Saya betul-betul nggak sengaja nabrak Bapak tadi," gadis yang bernama Anastasia itu masih ketakutan.
"Yasudah, lain kali hati-hati. Lihat siapa yang ada di depan kamu, jangan fokus sama ponsel terus!"
"B-baik, Pak. Itu...anu, kalau boleh saya mau bersihkan tumpahan jus tadi-"
"Nggak perlu! Saya bisa sendiri!" ketus Rio masih mengelap kemejanya.
"Tapi, Pak di bagian belakang kemeja Bapak juga sedikit ada noda jus alpukat," ucap Anastasia bersikeras membantu membersihkan kemeja Rio. Akhirnya, mau tak mau Rio terpaksa menerima bantuan Anastasia tanpa mereka sadari ada seseorang yang melihat aksi keduanya.
"Bagus benar kelakuanmu, Rio!"
Bab 1 Kebohongan Bersampul Pernikahan
22/08/2024
Bab 2 Api Kemarahan
22/08/2024
Bab 3 Gara-Gara Ponsel Tak Aktif
22/08/2024
Bab 4 Pikiran Negatif
22/08/2024
Bab 5 Overthinking
22/08/2024
Bab 6 Campur Tangan Papa Mertua
22/08/2024
Bab 7 Teguran Keras Papa Mertua
22/08/2024
Bab 8 Gregory Abel, Serigala Tanah Lenin
22/08/2024
Bab 9 Bibir Merah di Kerah Baju Suamiku
22/08/2024
Bab 10 Undangan ke Rusia
22/08/2024
Bab 11 Pergi Tanpa Izin Suami
22/08/2024
Bab 12 Pesan Terakhir
06/09/2024
Bab 13 Awal yang Baru
06/09/2024
Bab 14 Di Bawah Langit Moskow
06/09/2024
Bab 15 Saingan Baru
06/09/2024
Bab 16 Underestimated
06/09/2024
Bab 17 Tempat Istimewa
06/09/2024
Bab 18 Tak Sesuai Harapan
06/09/2024
Bab 19 Ajakan Tak Terduga
06/09/2024
Bab 20 Pertama Kali Melihatmu
06/09/2024
Bab 21 Kembalilah Pada Suamimu
06/09/2024
Bab 22 Jangan Bermain Api Denganku!
06/09/2024
Bab 23 Kenangan Lama Terbuka Kembali
06/09/2024
Bab 24 Rencana Gila Gregory Abel
06/09/2024
Bab 25 Mulai Curiga
06/09/2024
Bab 26 Permintaan Tak Terduga
06/09/2024
Bab 27 Mencari Tahu
06/09/2024
Bab 28 Stalking
06/09/2024
Bab 29 Sebuah Usaha Keras
06/09/2024
Bab 30 Sindiran Halus
06/09/2024
Bab 31 Tetangga Baru Meresahkan
06/09/2024
Bab 32 Sebuah Keputusan
06/09/2024
Bab 33 Buta Karena Cinta
06/09/2024
Bab 34 Shock Theraphy
06/09/2024
Bab 35 Mendadak Dijemput
06/09/2024
Bab 36 Gugup
06/09/2024
Bab 37 Bertemu Ibu dan Mantan Tunangan
06/09/2024
Bab 38 Kesalahan Fatal Abel
06/09/2024
Bab 39 Bermuka Dua
06/09/2024
Bab 40 Berita Menggemparkan
06/09/2024