"Jadi perempuan harus terus bekerja, meskipun kamu nanti sudah menjadi seorang istri dan ibu. Nggak apa-apa dapat receh, asal punya pendapatan dan tidak bergantung dengan suami saja. Kenapa? Karena kita nggak tahu bagaimana takdir Tuhan, belum tentu kita dapat suami yang benar-benar mengerti dengan keuangan rumah tangga. Tidak ada yang menjamin juga semua laki-laki baik, jadi kalau ada apa-apa, kamu nggak kaget dan nggak ragu untuk meninggalkan suamimu." Satu pesan dari salah satu gurunya kala di sekolah itu akhirnya Tias pahami setelah apa yang terjadi dengan rumah tangganya. Rumah tangga yang ia kira berjalan baik-baik saja itu rupanya banyak rahasia kelam yang disembunyikan oleh suaminya. Melakukan perselingkuhan di saat suaminya itu memberi uang pas-pasan, dan yang lebih parahnya lagi, suaminya itu melakukan hal yang di luar nalarnya hingga membuat Tias yang memiliki kesabaran ekstra itu murka sejadi-jadinya. Kesalahan besar apa yang dilakukan suami Tias selain perselingkuhan?
"Mas, uang buat daftar sekolah Abi masuk SD udah ada? Sebentar lagi udah mulai masuk sekolah." Tias bertanya sembari mengambilkan sarapan untuk suaminya.
"Pakai uang kamu dulu, ya. Nanti aku ganti," jawab Azam dengan entengnya.
Tias menghembuskan napasnya pelan. Ia sudah bosan dengan jawaban yang keluar dari mulut suaminya. Selalu seperti itu, setiap kali ia meminta uang untuk keperluan sang anak selalu saja berkelit, selalu punya banyak alasan yang pada akhirnya alasan itu menjadikan suaminya tidak memenuhi tanggung jawab sebagai kepala keluarga.
Entah sudah berapa kali Tias mengeluarkan uang tabungan pribadinya untuk keperluan yang seharusnya ditanggung oleh Azam.
"Mas, kok pakai tabungan aku lagi? Ini tanggung jawab kamu. Kok jadi aku yang nanggung tanggung jawab kamu?" Ini adalah pertama kalinya Tias mengucapkan kalimat protes. Ia mengucapkan itu pun dengan nada yang lembut.
Pernikahan yang sudah memasuki usia sembilan tahun nyatanya tak membawa perubahan di diri Azam. Memang sudah bawaan manusia memiliki sifat egois, semua orang punya sisi egois di level yang berbeda. Hanya saja, sisi egois dari suami Tias ini terkadang sungguh keterlaluan.
"Dik, Abi anak kamu, bukan anak tetangga. Aku atau kamu yang bayar, ya, nggak akan jadi masalah. Uang yang kamu dapat itu juga berkat aku. Kamu nggak akan bisa jualan online kalau nggak dapat modal dari aku. Jadi hasil yang kamu dapat sekarang juga untuk keperluan bersama. Kalo aku nggak ada uang, ya, sudah. Pakai uang yang ditabungan kamu, kan, bisa. Buat anak juga, kan, bukan buat aku pribadi." Azam menjawab seraya asyik mengunyah sarapan. Sementara istrinya dibiarkan kerepotan dengan dua anak yang masih balita.
"Iya Mas, aku tahu. Tapi untuk keperluan lain aku juga udah ambil uang pribadi aku buat keperluan sekolah Abi sama kebutuhan adiknya. Tinggal daftarnya aja, Mas. Masa mau ambil uang tabungan lagi. Udah berkurang banyak buat beli keperluan sekolahnya aja. Sementara aku juga butuh modal buat jualan. Uang aku muter, Mas."
"Iya, nanti aku carikan lagi modal buat usaha kamu, ya. Pakai yang ada dulu uangnya. Secepatnya aku ganti." Sebuah kecupan singkat di kening pertanda sebagai penutupan obrolan pagi itu.
Azam pergi ke kantor tanpa peduli bagaimana nasib istrinya yang kerepotan mengurus tiga anak sendirian. Tias sudah terbiasa dengan repotnya. Tapi bukan berarti ia tidak butuh bantuan.
"Kak Abi, ajak adik Salwa main dulu, ya, Sayang. Biar Ibu selesaikan pekerjaan rumah dulu."
Untunglah Tias memiliki anak sulung laki-laki yang bisa diandalkan. Diusianya yang baru tujuh tahun, Abi sudah bisa menjaga dan mengayomi adiknya yang baru berusia empat tahun.
Tias sedikit terbantu jika Abi tidak sekolah. Ia bisa fokus dan membereskan pekerjaannya dengan mudah dan cepat tanpa harus terbelah-belah karena menjaga dua balita.
"Sekarang, Hanifa duduk sini dulu, ya, Nak. Dari bangun tidur tadi udah digendong sama Ibu, kan, ya?" Tias meletakkan anak bungsunya ke apolo bayi yang sudah ada sejak Abi masih bayi.
Tak lupa Tias memberikan beberapa camilan berupa biskuit ke dalam piring. Setelah menyediakan camilan dan air putih di depan Hanifa, ibu tiga anak itu segera mengisi perutnya yang terasa lapar sejak beberapa jam yang lalu. Kesibukan dan pekerjaan rumah yang ia urus sendiri membuat ia seringkali menahan lapar. Ia sudah terbiasa tidak mendapatkan bantuan dari sang suami. Saking terbiasanya, ia tak lagi menuntut bantuan dari suaminya. Terakhir kali ia minta bantuan, justru Azam memarahinya karena menganggap tidak bisa melakukan apa pun.
Bab 1 1. Apa-apa Sendiri
12/08/2023
Bab 2 2. Ibu Mertua Julid
12/08/2023
Bab 3 3. Debat
12/08/2023
Bab 4 4. Debat (2)
12/08/2023
Bab 5 Minta Maaf
12/08/2023
Bab 6 Penemuan
12/08/2023
Bab 7 Secuil Kebohongan
12/08/2023
Bab 8 Menguntit
12/08/2023
Bab 9 Fakta Menyakitkan
12/08/2023
Bab 10 Tias Yang Selalu Salah
12/08/2023
Bab 11 Tias Beraksi
12/08/2023
Bab 12 Sumpah Serapah Tias
12/08/2023
Bab 13 Mertua Parasit
12/08/2023
Bab 14 Tamparan
12/08/2023
Bab 15 Cantik
12/08/2023
Bab 16 Adu Mulut
12/08/2023
Bab 17 Pelajaran
12/08/2023
Bab 18 Menjual rumah
12/08/2023
Bab 19 Tuduhan
12/08/2023
Bab 20 Kamu Pasti Menyesal
12/08/2023
Bab 21 Bersikap Diluar Kebiasaan
12/08/2023
Bab 22 Ke TKP
12/08/2023
Bab 23 Eksekusi
12/08/2023
Bab 24 Sampah Dan Tong Sampah
12/08/2023
Bab 25 Savage Pak Sean
13/08/2023
Bab 26 Tawaran Bantuan
13/08/2023
Bab 27 Ceramah Sean
13/08/2023
Bab 28 Suami Tak Tahu Diri
13/08/2023
Bab 29 Baku Hantam
13/08/2023
Bab 30 Upaya Penyelamatan
13/08/2023
Bab 31 Gegar Otak
13/08/2023
Bab 32 Mau Seperti Sean
13/08/2023
Bab 33 Cepat Berpikir Dan Bertindak
13/08/2023
Bab 34 Cepat Berpikir Dan Bertindak (2)
13/08/2023
Bab 35 Peka
13/08/2023
Bab 36 Sean Ceramah Lagi
13/08/2023
Bab 37 Perlakuan manis
16/08/2023
Bab 38 Sentilan Untuk Azam
18/08/2023
Bab 39 Pulang
19/08/2023
Bab 40 Pulang (2)
22/08/2023
Buku lain oleh Author MungiL
Selebihnya