Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Dendam Allanaro
5.0
Komentar
58
Penayangan
2
Bab

Hati yang semula penuh cinta, kini berubah menjadi dendam.

Bab 1 MASIH SEPERTI BIASANYA

Suasana malam terasa lebih dingin dari sebelumnya, sebuah mobil melaju dengan kecepatan normal ditengah kelengangan jalan.

Seorang pria berwajah dingin menatap jalanan melalui kaca jendela mobilnya dengan tatapan kosong. Seolah menyiratkan sebuah rasa yang terpendam namun menyakitkan.

Terdengar helaan nafas berat, yang membuat sang asisten yang mengemudikan mobil menatap sang tuan yang duduk di belakangnya.

"Apa yang dia lakukan sebulan ini?"

"Tidak ada yang berubah tuan, selama sebulan ini nona Elana hanya melakukan kegiatannya seperti biasa. Pulang sekolah langsung kembali pulang ke mansion."

Tak ada lagi pembicaraan berlanjut, jawaban sang asisten sudah cukup bagi pria itu. Pria dewasa bernama Allanaro Mahendra, seorang pebisnis dan pengusaha dibidang perhotelan. Namanya sudah melalang buana ditelinga para pebisnis lokal maupun internasional.

Setibanya di pelataran mansion megah nan luas, Allanaro keluar dari mobil dan melangkahkan kakinya memasuki mansion. Tanpa perlu menunggu pintu mansion segera dibuka oleh kepala pelayan yang memang sengaja menunggu sang tuan setelah menerima informasi bahwa tuannya pulang malam ini.

"Selamat datang kembali tuan," ucap kepala pelayan itu penuh hormat.

Allanaro hanya menjawab sapaan itu dengan sebuah deheman. Hal yang sudah biasa kepala pelayan itu terima, bahkan seluruh penghuni mansion atau siapapun yang bekerja padanya sudah biasa akan sikap itu.

Kepala pelayan yang bernama Abdi itupun mengikuti langkah sang tuan menuju kamarnya. Memastikan jika sang tuan membutuhkan sesuatu maka ia akan segera membantu.

"Kembalilah ke kamarmu, aku akan segera beristirahat," ucap Allanaro setibanya di dalam kamar.

Terlihat raut wajah ragu menghiasi wajah Abdi, mengisyaratkan bahwa ada sesuatu yang ingin ia sampaikan. Hal itu tertangkap oleh netra tajam Allanaro.

"Kau ingin mengatakan sesuatu?"

Abdi menundukkan kepalanya, "maaf tuan, nona Elana pernah beberapa kali mencoba mengakhiri hidupnya dengan meminum obat tidur dengan jumlah yany banyak," jawab Abdi takut menyampaikan informasi ini. Informasi yang sudah ia pendam beberapa waktu ini dan rasanya ia tak sanggup lagi untuk menyimpannya sendiri.

Senyum sinis terbit di sudut bibir Allanaro, seolah berita itu tak mempengaruhinya sama sekali.

"Tapi dia masih hidup kan? Biarkan dia melakukan apa yang dia inginkan dirumah ini. Tugasmu hanya terus memastikan jika ia hidup."

Setelahnya Allanaro menyuruh Abdi untuk keluar dari dalam kamarnya dengan gerakan tangan. Abdi tak dapat membantah atau sekedar mengutarakan pendapatnya pada sang tuan, hingga ia menurut untuk keluar dari dalam kamar.

"Dasar tikus kecil, tidak semudah itu kau boleh mati. Setidaknya ibumu di neraka sana menyaksikan bagaimana hidupmu menderita akibat ulahnya," ucap Allanaro dengan mata yang menyorotkan kemarahan serta kebencian yang mendalam.

Sementara Elana, gadis yang menjadi bahan pembicaraan Allanaro hanya mampu duduk termenung diatas lantai. Ia tau bahwa Allanaro pulang, ia melihat mobil Allanaro masuk dan melihat pria itu turun dari mobilnya. Ingin sekali rasanya ia berlari dan memeluk, menumpahkan segala rasa yang ia pendam selama ini. Rasa marah, kecewa, bingung dan benci akan semua hal yang ia terima. Ia bagaikan hidup di sangkar emas namun kakinya terjerat rantai panas yang terasa sangat menyakitkan.

"Dia kembali," ucap Elana lirih dengan air mata mulai menetes di pipinya.

Dengan langkah tertatih, Elana merebahkan tubuhnya yang ringkih keatas ranjang miliknya. Ia harus istirahat, ia harus memaksa matanya untuk terpejam. Hari esok yang akan di laluinya mungkin saja akan lebih berat dari hari ini. Terlebih, Allanaro telah kembali.

"Ayo tidur, tidurlah Elana. Kau harus tidur dan beristirahat," ucap gadis itu pada dirinya sendiri.

Dengan memaksakan dirinya akhirnya perlahan Elana benar-benar tertidur. Elana yang tertidur nyenyak tak menyadari bahwa ada seseorang yang masuk ke dalam kamarnya. Ya, orang tersebut adalah Allanaro.

"Seandainya kau benar-benar anakku, kau pasti tak akan hidup seperti ini. Aku pasti akan benar-benar memanjakanmu dan menjagamu segenap jiwaku," ucap Allanaro seraya menatap Elana yang memejamkan matanya.

Allanaro menatap Elana dengan tatapan sendu namun juga benci, sesungguhnya terkadang hatinya merasa tak tega melihat Elana. Namun jika mengingat pengkhianatan masa lalu, seketika rasa marah dan benci menguasai hatinya. Hati yang dulu penuh cinta dan kehangatan kini berubah menjadi penuh dendam dan amarah. Naasnya, Elana lah yang menanggung semua pelampiasan amarah dan dendam yang ada di hati Allanaro.

Tak ingin lebih lama menatap Elana yang akan melemahkan hatinya, Allanaro memutuskan untuk keluar dari dalam kamar tersebut.

Malam berganti, pagi itu Elana telah bangun sejak pagi. Rutinitas pagi yang harus ia lakukan adalah melakukan pekerjaan rumah tangga, membantu pelayan membersihkan rumah bahkan mencuci baju. Tak sedikit para pelayan merasa kasihan, namun mereka memilih membiarkan Elana melakukan tugasnya. Tugas yang sejak kecil ia emban atas perintah Allanaro.

Dimata dunia Elana adalah gadis yang sangat beruntung, yang orang lain ketahui adalah Elana adalah putri tunggal seorang Allanaro Mahendra. Namun yang tak dunia tau, kehidupan seperti apa yang di lalui oleh Elana.

"Panggilkan Elana," perintah Allanaro pada Abdi saat ia tiba dimeja makan untuk menikmati sarapannya.

"Baik tuan," tanpa banyak bicara Abdi langsung saja menghampiri Elana yang sedang menjemur pakaian di belakang.

"Nona Elana, tuan memanggil nona."

Elana yang telah menyelesaikan pekerjaannya menoleh kearah sumber suara, dengan senyum manis Elana menjawab ucapan Abdi.

"Baik mang, terimakasih sudah diberi tahu."

"Sama-sama non, ayo bareng mamang ke depan," ucap Abdi dengan sopan.

Dengan tersenyum manis Elana mengikuti langkah Abdi, senyum penuh kepalsuan. Elana sudah terbiasa memasang wajah penuh senyum manis guna menutupi luka hati yang ia terima.

"Selamat pagi Daddy," sapa Elana ceria seperti biasanya.

"Kapan Daddy sampai? Kenapa tidak menemuiku lebih dulu?" tanya Elana dengan nada ceria.

Allanaro tak berniat menjawab, ia justru memberikan perintah lain pada Elana.

"Kerjakan tugasmu," ucap Allanaro dingin.

Elana kembali menahan rasa sesak di hatinya, ia tak tau apa kesalahannya hingga ia diperlakukan layaknya orang asing oleh ayahnya sendiri. Ya, yang Elana tau Allanaro adalah ayahnya.

Dengan telaten Elana menuangkan nasi di piring di hadapan Allanaro. Menuangkan air putih dan juga mengambil potongan buah dan meletakkan di hadapan Allanaro.

"Apa Daddy akan lama tinggal dirumah? Bisakah kali ini Daddy lebih lama tinggal? Aku memiliki kegiatan di sekolah, sebuah pentas drama musikal. Bisakah Daddy hadir dan melihat pertunjukanku? Pertunjukannya akan di laksanakan dua minggu lagi," ucap Elana disela ia melayani Allanaro.

Allanaro tak menjawab, ia hanya fokus pada makanan yang ada di hadapannya. Lagi-lagi Elana hanya mendapatkan keheningan, ia mati-matian menahan air matanya yang ingin menetes. Ia menampilkan senyum yang tak luntur di wajahnya.

"Ternyata masih seperti biasanya," gumam Elana dalam hati.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku