Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
DENDAM INDRIANA

DENDAM INDRIANA

Yuni Masripah

5.0
Komentar
541
Penayangan
60
Bab

Satu hari menjadi seorang istri, hari itu pula awal mula menjadi seorang janda. Hal itulah yang dirasakan oleh Indriana, putri tunggal dari seseorang yang sangat terpandang di kampungnya. Namun setelah sang Ayah meninggal dunia setelah Indri melakukan akad nikah secara dadakan dengan Andi, kekasihnya. Saat itulah kehidupan Indri berubah 180 derajat. Sebuah pengkhianatan dan perselingkuhan terjadi di kehidupannya, dan menjadi momok menakutkan, yang membuat Indri tak lagi percaya dengan yang namanya cinta. Indri bertekad untuk melakukan pembalasan atas semua pengkhianatan yang berhasil membuatnya hancur. Akankah Indri akan kuat menghadapi semua ujian berat ini? Simak selengkapnya.

Bab 1 Malam Pertama

"Andi, sebelum Om dipanggil sama yang maha kuasa, Om minta sama kamu, untuk menikahi Indri sekarang. Om percaya sama kamu, kamu anak baik yang Om kenal. Om yakin kamu bisa menjaga anak semata wayang Om. Om serahkan tanggung jawab menjaga Indri sama kamu. Apakah kamu bersedia, mengabulkan permintaan terakhir Om, sebelum Om pergi untuk selama-lamanya?"

"Baik Om, Om jangan khawatir. Hari ini, tanggal ini, di jam ini juga, saya siap menikahi putri Om. Saya janji akan menjaganya dan mencintainya dengan sepenuh hati. Hubungan kami sudah berjalan cukup lama, dan saya tidak akan ragu-ragu untuk segera menikahinya."

"Jangan, jangan bicara seperti itu, Ayah. Ayah akan sembuh, aku mohon!"

Sedih, itulah yang aku rasakan saat ini. Ayahku, orang tuaku yang merawat aku dari kecil, semenjak Ibu meninggal dunia. Ayahlah yang menjadi sandaran hidupku.

Menikah dengan Mas Andi, tentu suatu kebahagiaan untukku. Hubungan kami sudah berjalan selama 4 tahun. Namun kebahagiaan ini akan menjadi dilema buatku. Antara bahagia dan sedih. Ayah meminta Mas Andi menikahiku, di saat dirinya sudah berada di ambang menyerah antara hidup dan mati.

"Indri, kamu harus siap menjalani ini. Ayah yakin, dengan kamu menikah dengan Andi, kamu akan bahagia. Hana, tolong kamu hubungi penghulu. Saya mau menyaksikan Indri dan Andi menikah, sebelum saya dipanggil oleh-Nya," imbuh Ayah kepada Rihana atau biasa dipanggil dengan Hana, anak Bibi Ratmi yang bekerja sebagai asisten rumah tangga, di rumah Ayah.

"I-iya, Pak. Saya akan panggilkan Pak penghulu sekaligus saksi untuk pernikahan Non Indri," sahut Hana, seraya mengambil ponselnya dari saku celana.

Terlihat wajah Hana memerah dengan mata berkaca-kaca. Aku memaklumi, mungkin Hana juga merasakan kekhawatiran terhadap Ayah. mengingat Ayah sudah sangat baik terhadapnya, yang dengan sukarela meminta Bu Ratmi mengajaknya untuk tinggal bersama di rumah kami. Ayah juga tanpa keberatan, beliau menyekolahkan Hana sampai dia lulus. Karena sebelumnya, Rihana telah putus sekolah, karena terhalang oleh. Biaya. Aku bangga sama Ayah, dan aku sangat mencintai dan menyayanginya.

Aku terduduk di samping Ayah. Aku tidak kuasa menahan sedih, karena Ayah sudah sangat lemah dan nyaris menyerah.

Dokter yang menangani Ayah, berdiri tak jauh dari tempat Ayah berbaring.

Setengah jam kemudian, datang tiga orang pria paruh baya memasuki ruangan tempat Ayahku dirawat.

"Ada apa, Pak Yuda, apa yang bisa saya bantu?" tanya Pak penghulu, saat berada di hadapan Ayahku.

"Tolong nikahkan putri saya dengannya sekarang juga," tunjuk Ayah ke arahku dan Mas Andi.

Keadaan Ayah semakin kritis, dan itu berhasil membuatku rapuh saat itu juga. Tak hentinya aku menangis dan ketakutan seketika mendera dalam jiwaku.

"Baik, Pak Yudha. Akan saya nikahkan mereka berdua," sahut Pak penghulu.

Kini, dihadapan Ayah yang terbaring lemah. Andi berjabat tangan dengan Pak penghulu. Dengan mas kawin seadanya, akhirnya pernikahan ini terjadi.

"Saya nikahkan dan kawinkan engkau, Andika bin Alex dengan Ananda Indriana binti Yudha. Dengan mas kawin uang sebesar lima ratus ribu rupiah dibayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Indriana binti Yudha dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

Dengan satu tarikan nafas, akhirnya Mas Andi sudah sah menjadi suamiku.

"Gimana para saksi, sah?" tanya Pak penghulu.

"Sah ... sah!" jawab kedua saksi.

"Alhamdulillah ...." Pang penghulu membacakan doa yang diamini oleh kami semua.

"Terima kasih ...." lirih Ayah.

Kami semua menoleh ke arah Ayah. Senyuman damai terbit di kedua sudut bibir Ayah. Namun senyuman Ayah berbeda yang aku lihat saat ini.

Perlahan tatapan Ayah mulai meredup. Kepalanya lunglai dan terkulai ke sebelah kanan.

"Ayaaaah!"

"Kamu yang sabar, sayang. Ayah sudah tenang dan bahagia di alam sana. Sekarang, yang harus kamu lakukan adalah mendoakannya. Mendoakan supaya beliau dijauhkan dari siksa kubur. Kamu jangan nangis lagi, ya. Ikhlaskan Ayah pergi," imbuh Mas Andi, saat kami tengah berada di depan makam Ayah.

"Aku tidak menyangka saja, Mas. Aku tidak percaya kalau Ayah akan pergi secepat itu. Disaat aku bahagia menikah dengan kamu, disaat bersamaan pula, Ayah pergi meninggalkan aku untuk selama-lamanya," sahutku dengan beruraian air mata.

Mas Andi merangkulku mencoba menenangkan aku yang rapuh ini.

Penyakit jantung itu, telah merenggut duniaku, yakni Ayah. Harta peninggalan Ayah begitu banyak. Sehingga aku tidak akan kesusahan apabila bertahan hidup. Namun tetap, hati ini begitu sakit kehilangan Ayah.

Setelah aku dan Mas Andi menaburkan bunga di atas makam Ayah. Mas Andi mengajakku untuk pulang.

"Mas, kita pulang ke rumah aku aja. Mulai hari ini, kamu tinggal di rumahku," ujarku.

"Iya, sayang terima kasih banyak. Nanti setelah kamu tenang, aku akan ajak kamu ke rumah Ibu dan Bapakku. Mereka pasti akan sangat bahagia, mempunyai menantu seperti kamu," ucap Mas Andi.

Kami berdua menaiki mobil peninggalan Ayah.

Sampai di rumah, Mas Andi mengajakku untuk makan siang. Awalnya aku enggan untuk makan, karena tidak bernafsu. Tapi Mas Andi memaksaku.

Malam hari

"Sayang, boleh kan?" tanya suamiku saat kami berada di dalam kamar.

Saat itu di rumahku telah selesai menggelar acara tahlilan.

Aku yang mengerti menganggukkan kepala.

Perlahan Mas Andi menaiki tempat tidur dan berbaring di sebelahku.

Mas Andi mulai membelai rambutku, dan menyibakkan anak rambut yang berada dekat dengan telingaku.

"Sayang, besok aku akan kembali kerja di pabrik. Tidak enak juga kalau lama-lama libur," imbuh Mas Andi sambil membelai rambut hingga wajahku.

Aku mengangguk, mengiyakan. Aku mengerti, Mas Andi juga tidak bisa berlama-lama libur seperti ini. Mas Andi hanya karyawan biasa di sebuah pabrik yang tak begitu besar di kampung ini.

Mas Andi adalah pria yang baik. Jadi, status sosial bukan halangan untuk hubungan kami. Terlebih Mas Andi sangat dekat dengan Ayah dan sering main ke rumah. Maka tak heran, Ayah sedikit besarnya tahu sifat dan sikap yang ditunjukkan oleh Mas Andi.

Tak berselang lama, Mas Andi memulai aksi malam pertama kami.

Setengah jam kira-kira, kami bergelut mencari kepuasan bersama. Sampai pada akhirnya, kami berdua ambruk dengan perasaan bahagia yang teramat. Sejenak aku bisa melupakan kesedihan atas kehilangan Ayah.

Mas Andi begitu lihai membahagiakanku, walaupun ini adalah pengalaman pertama kami.

Kami berdua tertidur pulas dengan berjuta kepuasan yang didapat.

Prak

Aku terbangun karena mendengar benda jatuh. Aku menatap jam weker yang terpajang di atas meja kecil. Jam sudah menunjukkan waktu tengah malam. Aku melihat ke sisi kananku. Mas Andi ternyata tidak ada di sampingku. Aku berpikir mungkin Mas Andi sedang berada di kamar mandi.

Aku kembali memejamkan mata, karena tidak kuat menahan kantuk.

"Sayang, bangun!"

Samar-samar aku mendengar suamiku membangunkanku. Aku membuka mata, dan benar saja. Senyuman manis tersungging di bibir Mas Andi.

"Huam ... sudah pagi ya, Mas?" tanyaku seraya menggeliatkan tubuh.

Mas Andi tidak menjawab, namun ia menyerahkan sebuah kertas yang entah untuk apa.

"Ini kertas apa, Mas?" tanyaku, dengan mata yang masih lengket menahan kantuk.

"Em ... ini aku mau mengajukan pinjaman ke bank, untuk usaha kecil-kecilan. Ini untuk usaha sampingan selain aku kerja di pabrik. Kamu maukan tanda tangan surat ini? Aku butuh tanda tangan kamu, supaya semuanya dipermudah," jawab Mas Andi.

"Tapi ... kok tanda tangannya disini. Kan bisa nanti di bank. Emang bisa seperti ini? Lagi Pun, aku bisa kok, memberikan modal untuk kamu, tanpa kamu harus pinjam uang ke bank. Huam ...." Aku berbicara pada suamiku sambil menahan kantuk. Berkali-kali kepalaku mengangguk-angguk karena mata terasa berat.

"Bisa sayang, karena ada teman aku yang bekerja di bank. Katanya bisa seperti ini. Kamu cukup tanda tangan aja sekarang, kamu nggak perlu ikut ke bank. Aku tahu kamu masih berkabung atas kepergian Ayah. Aku cuma mau punya usaha dengan hasil jerih payahku. Biarlah semua uangmu kamu yang simpan dan gunakan. Aku mau mandiri dan bisa membahagiakanmu dengan hasil keringatku sendiri. Sekarang, aku mau kamu tanda tangani surat ini," sahut suamiku.

Aku merasa aneh dengan penjelasan suamiku. Baru kali ini mengajukan pinjaman uang ke bank seperti ini caranya. Tapi aku nggak mau berpikiran aneh-aneh, aku tahu, maksud suamiku itu baik. Aku pun menerima pulpen dari tangan suamiku dan menandatangani surat itu tanpa membacanya terlebih dahulu.

"Huam ... aku ngantuk, Mas. Loh, ini masih jam 03 00 rupanya. Aku mau tidur lagi, ya! Aku ngantuk banget. Tanda tangan juga nggak fokus. Entah bagus atau jelek," ujarku.

"Nggak apa-apa, sayang, bagus kok. Kamu tidur saja. Aku juga mau tidur lagi. Tapi aku mau ke dapur dulu ngambil minum. Haus banget," sahut Mas Andi.

Aku mengangguk, kemudian kembali berbaring tidur. Tidak membutuhkan waktu lama, aku langsung tertidur kembali dengan pulas.

Sinar matahari masuk menembus di sela-sela lubang ventilasi.

Aku terbangun dengan tubuh segar dan langsung beranjak dari tempat tidurku. Aku berjalan hendak keluar kamar, untuk minum di dapur.

Ceklek

Aku membuka pintu kamar, namun sesuatu membuatku bingung.

"Kenapa ada koper aku disini? Siapa yang menaruh koperku disini?" batinku.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku