icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Dendam Cinta dan wanita

Dendam Cinta dan wanita

kelly mannix

5.0
Komentar
6.9K
Penayangan
64
Bab

(18+!) Mengandung edukasi remaja. Kamu .... Seperti rintikan hujan yang turun perlahan di tengah gurun pasir yang gersang saat aku merasa dahaga. Membuatku tak berdaya di saat tak punya pilihan lain selain menunggumu datang membasahiku. Terkadang aku berpikir, tidak bisakah kamu menjadi segelas air saja? Agar aku lebih mudah menegukmu, lalu hausku cepat reda. Cinta adalah sebuah kata penuh makna, mewakili segala macam emosi yang berkaitan dengan rasa ketertarikan. Cinta datang bersamaan dengan obsesi dan keikhlasan. Berbicara tentang seberapa kuat menggenggam atau saling melepaskan. Mempertahankan sebuah rasa yang pekat pada awalnya, dan memudar pada akhirnya. Zheyya gadis sederhana dan Kanha pemuda playboy, dua insan yang memiliki sisi dengan latar belakang yang berbeda. Ketika benci perlahan menjadi cinta. Bisakah berlabuh di muara yang sama di penghujung rasa?

Bab 1 Hujan Februari

Februari, 1997

Sepasang insan berjalan dimalam hujan. Di antara jalanan sepi. Dalam kebisuan kata, rintikan air di atas payung bergemuruh kecil menguasai ruang. Tak ada ucap, langkah kaki menuntun diri untuk terus berjalan. Di persimpangan jalan, hujan sedikit mereda. Sang gadis melirik si pemuda.

"Sampai sini saja, kak."

Dalam diam, mereka saling melempar senyum. Si pemuda mengambil lengan si gadis. Menautkan jemari mereka, tatap penuh mesra. Penuh arti.

Aku belum ingin berpisah. Ucap hati pemuda.

Aku masih rindu. Kata batin si gadis.

Mereka bergumul dalam batin, menelan semua kalimat yang ingin keluar. Mencari penyelesaian untuk hasrat yang menggebu, namun enggan mengungkapkan.

Tiba-tiba angin berembus kencang. Payung terpental, terhempas angin. Tempias mengguyur keduanya. Seketika hujan lebat kembali. Basah. Kuyup. Si pemuda yang berdiri di tepi, meloncat naik ke tengah teras. Mereka menggigil memeluk diri, dengan baju yang basah.

"Bagaimana ini? Baju kakak jadi basah semua ...." Lirih si gadis.

"Ah ... Benar. Dingin sekali ...." Jawab si pemuda.

"Masuk dulu kak, biar aku bantu keringkan dulu bajunya," tawar si gadis.

Menatap kikuk, si pemuda mengangkat kedua alisnya.

"Ah tidak! Maksudku ... Itu, di dalam ada baju kakakku . Pasti cukup di badan kakak. Ganti dulu biar gak masuk angin," tangkasnya.

Tersenyum penuh kemenangan, si pemuda tak repot-repot menolak tawaran itu. Berjalan gontai mengekori si gadis, pemuda itu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Rumah yang tampak mini malis di luar, namun elegan di dalamnya. Sofa empuk dengan bantal yang tertata rapi, lemari kaca yang penuh dengan cangkir dan teko antik, TV besar di tengah meja etalase. Seperti rumah idaman yang nyaman.

Seketika pemuda itu hanya terpikirkan satu hal. Rumah ini, seperti rumah yang dihuni oleh pasangan suami istri yang telah menjalani banyak hal dan melewati masa tua bersama. Penuh kenangan. Dan hangat.

“Aku ambil baju untuk ganti kakak dulu. Kakak keringkan badan dengan handuk ini,” Suruh si gadis.

“Toiletnya di sana kak. Nanti saya antarkan bajunya,” tambahnya.

Bukannya menjawab, pemuda itu malah menatap dalam wajah gadis di hadapannya. Tanpa sadar jemarinya bergerak menyentuh poni tipis gadis itu, lalu menyelipkannya disela telinganya.

“Cantik ....” tanpa sadar pemuda bergumam mesra.

Gadis malu-malu menunduk, mengalihkan perhatian. Tetesan air terjatuh dari helaian rambutnya yang basah.

“Aku ganti baju dulu kak.”

“ah ... Iya, aku pun.”

***

Jam menunjukkan pukul 9 malam. Pemuda itu duduk bertumpang kaki di atas sofa empuk, dengan sebuah majalah dibacanya. Menunggu gadis yang sejak setengah jam yang lalu belum keluar juga dari kamarnya. Menarik nafas, pemuda itu mulai bosan. Ia pun mengeluarkan sebatang rokok Dji Sam Su yang tadi malam dibelikan si gadis. Menyulutnya, lalu menghisapnya dalam-dalam. Fuuh ... Asap pekat mengepul dari lubang hidung dan ia hembuskan dari mulutnya.

"Lama ya kak?" Tetiba gadis itu muncul dari belakangnya. Aroma tubuhnya yang segar dan wangi parfum buah-buahan tropis membuat pemuda itu seketika menelan ludah.

"Ah! Tidak juga ...." Tampik pemuda.

"Saya buatkan coklat hangat ya kak?" Tanyanya.

"Kopi saja," tawar si pemuda. Gadis itu pun menuju dapur.

Tak sampai lima menit, ia sudah kembali dengan dua cangkir yang mengeluarkan asap di atasnya. Satu cangkir kopi, dan satu cangkir coklat panas untuknya. Ia pun menghampiri si pemuda tanpa pinta ataupun titah. Lalu duduk di sampingnya. Kini, mereka sudah bersisian. Mengobrol hangat tentang ini itu. Tertawa riang, mencairkan suasana yang beku dan kaku. Sampai satu jam berlalu, dan topik sudah mulai habis. Gadis pun menawari si pemuda untuk menonton TV. Sambil menunggu hujan benar-benar reda, 'katanya'.

"Kalo malam acaranya lumayan seru," tambahnya. Pemuda tak menolak.

Hujan malam, ditemani kopi dan coklat hangat sambil menonton film horor berdua saja dengan gadis di rumahnya ... 'Sangat menyenangkan,' batin si pemuda.

Bukannya menonton film di TV, si pemuda justru hanya sibuk menatap wajah gadis disisinya. Mengagumi ciptaan tuhan yang manis dan cantik itu. Juga aroma tubuhnya yang mengganggu. Sensual, dan menggairahkan. Ketika ia sibuk menatapi wajah itu, tiba-tiba adegan film berubah menegangkan. Boneka hantu yang terlihat menyeramkan penuh darah muncul bersamaan dengan bunyi 'Jreng!' Yang menggelegar.

Gadis pun meloncat kaget, tanpa sadar merangkul tubuh si pemuda. Tak mau kehilangan momen, pemuda itu pun mengelus lembut punggung gadis yang membenamkan wajahnya itu di dadanya. Sekali lagi, si pemuda mendapat Jack pot.

Suara detak jantungnya melaju dengan frekuensi yang cepat. Dag! Dig! Dug! Terdengar oleh keduanya.

'Suara jantung siapa?' mereka bertanya dalam batin. Keduanya tak sadar mereka sudah membuka celah hasrat untuk segera masuk.

Lalu mereka saling mengunci tatap dalam diam. Tanpa kata. Tanpa jarak. Keduanya mulai hanyut. Seperti hipnotis yang mengendalikan diri, tubuh mereka bergerak dengan sendirinya. Mematikan kerja akal sehat untuk beberapa saat ke depan. Masa bodo dengan nanti. Hati mereka luluh, lemah. Hasrat gairah yang menggebu.

Perlahan saling mendekap, memeluk erat, dan mulai saling mendikte setiap inci tubuh satu sama lain. Untuk beberapa waktu hanya euforia yang menguasai seluruh indra mereka.

"Kak Anis ...." Si gadis berbisik lemah.

"Lara ... Aku mencintaimu," pemuda bernama Anis itu balas berbisik mesra.

***

Mentari pagi menyusup lewat celah gorden coklat tua. Hangat dan menyilaukan. Anis meregangkan tubuhnya yang kaku. Ujung kakinya yang dingin tersentuh cahaya mentari. Nyaman. Ia mengerjapkan kedua matanya, sementara pikirannya belum sadar sepenuhnya.

Saat kedua manik mata itu terbuka sepenuhnya, ia pun mengingat kembali potongan ingatan semalam seperti sebuah fuzzle yang perlahan tersusun rapi. Sontak ia bangkit, terduduk di atas ranjang yang asing baginya. Benar, tadi malam ia 'melakukannya' dengan Lara di sana.

Ia pun bangkit, tergesa ke arah pintu. Namun sebelum ia sampai ke dekat pintu, ia mundur kembali beberapa langkah. Menuju cermin, ia merapikan poni rambutnya dengan jemari lalu mengucek kedua matanya. Memastikan bahwa ia masih tampan seperti biasanya, meski belum mandi sekalipun. Setelah itu ia benar-benar meraih daun pintu, baru beberapa langkah ... Ia mendapati lara berdiri di hadapannya dengan sebuah nampan berisi sarapan. Nasi goreng, dan teh hangat.

“Kukira, kakak masih tidur ....” ujarnya canggung.

“Tidak. Sudah bangun kok.” Anis menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

“Dimakan dulu kak, nanti keburu dingin,” tambah Lara.

Lara menyantap sarapan pagi dengan khidmat, tak ada sepatah kata pun yang terucap. Hanya menunduk menatap setiap sendokkan nasi yang lalu mendarat dimulutnya. Pun Anis, namun bedanya, ia justru terlihat tegang. Beberapa kali ia hampir menjatuhkan sendok karna salah tingkah. Melihat tingkah Anis, Lara terkekeh kecil.

Sementara di luar udara pagi cerah dan sejuk, suasana hati Anis dan Lara tak bisa ditebak sama sekali. Lara banyak tersenyum meski tak menyiratkan arti dibaliknya. Sedangkan Anis tak terlihat senang atau pun sedih. Sesekali anis melirik jemari Lara, di sana sebuah cincin emas putih melingkar di jari manisnya.

***

“Kakak menghindariku?” lirih Lara sambil menatap wajah Anis yang terlihat agak tirus.

Warna gelap menggelayut di sekitar bawah matanya. Sudah pasti ia tidak tidur semalaman. Atau mungkin berhari-hari?

“Jadi benar kakak menghindariku?” sekali lagi Lara bergumam lirih.

Bukannya menjawab Anis membisu seribu kata. Menatap kosong ke luar jendela. Lara menemuinya di rumahnya setelah dua minggu tak bertemu dengan Anis sejak kejadian malam itu.

“Haah ....” Lara membuang nafas kasar sembari menghempaskan tubuhnya di kursi bambu.

Ia mengedarkan pandangan, melihat sekeliling isi rumah Anis. Di sana sangat berbeda dengan rumah yang ditinggalinya. Gubuk reyot, dengan atap dari anyaman bambu yang sudah rapuh, penuh lubang dan lembab bekas tempias hujan.

“Kuanggap itu sebuah jawaban. Ternyata kakak lebih pengecut dari yang kukira. Tidak salah aku memilih Darwan dari pada kakak.” Lara beranjak pergi meninggalkan Anis yang tak bergeming sedikit pun.

Setelah Lara benar-benar pergi, Anis membanting kasar pintu reyot itu, lalu melempar semua barang yang terlihat olehnya. Berteriak sekerasnya lalu menjambak rambutnya sendiri dengan frustrasi. ‘Hidup ini tak adil baginya’ begitu isi batin Anis. Tak ada komentar lain, ia hanya ingin merutuki nasib yang tak memihaknya lagi.

Dalam diam Anis menatap piringan emas yang tertempel di dinding dengan namanya tertera di sana. Ia juga melirik beberapa piala yang juga terpajang di meja sudut ruangan.

“Aku bisa jadi orang hebat. Akan kuperlihatkan aku juga bisa.” Semangat membara dan dendam memenuhi dadanya. Seketika asanya kembali.

“Aku harus sukses,” Desis Anis.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh kelly mannix

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku