"Ceraikan anakku sekarang juga! Aku tidak sudi mempunyai menantu gembel sepertimu!" Rendra Gumilar, seorang buruh di salah satu pabrik yang berada di kotanya harus kehilangan istri dan anaknya yang baru saja dilahirkan beberapa bulan yang lalu karena keegoisan sang mertua. Pernikahan antara Rendra dan Viona tidak mendapat restu dari kedua orang tua Viona, karena Rendra berasal dari keluarga miskin. Rendra tidak bisa mempertahankan istri dan anaknya, karena memang keadaannya yang belum sukses. Tuan Brata--ayah kandung Viona-memaksa putrinya untuk menggugat cerai Rendra. Setelah kepergian Viona dan bayinya, Rendra mencoba bangkit dan berusaha untuk menjadi seorang pria yang sukses. Setelah sukses nanti, Rendra berniat untuk mengambil kembali istri dan anaknya. Apakah Rendra akan berhasil membuktikan kepada mertuanya bahwa ia bisa menjadi seorang laki-laki yang sukses kemudian mengambil kembali anak dan istrinya? Atau justru Rendra harus kehilangan mereka?
"Halo, Bi. Sepertinya Pak Brata akan datang ke rumah untuk menjemput Viona. Tolong jangan ijinkan Pak Brata membawa Viona dan anakku. Sebentar lagi aku akan pulang."
"Maksudmu, Pak Brata akan membawa istrimu pulang, begitu?"
"Iya. Tolong, jika Pak Brata memaksa untuk membawa Viona dan anakku, tahan dulu, setidaknya sampai aku datang."
"Baiklah. Cepat pulang dan hati-hati di jalan."
Rendra menutup ponselnya. Ia benar-benar takut jika ancaman ibu mertuanya itu benar adanya. Rendra memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi, berharap akan cepat sampai ke rumah kakeknya, rumah dimana ia tinggal bersama anak dan istrinya. Jantungnya berdegup kencang. Ia sangat takut kehilangan istri dan anaknya yang baru lahir beberapa bulan yang lalu. Beruntungnya Rendra mendapatkan ijin untuk pulang lebih cepat dari atasannya, sehingga ia bisa segera pulang ke rumah.
Tidak sampai satu jam Rendra akhirnya sampai ke rumah kakeknya. Ia melihat ada mobil hitam terparkir di halaman rumah sang kakek.
'Sepertinya itu mobil ayahnya Viona,' batin Rendra.
Rendra mengambil langkah seribu saat mendengar suara berat dan serak yang sudah dipastikan milik mertua laki-lakinya itu. Bibi Rendra memiilih untuk berdiam diri di dalam kamarnya. Ia tidak mau terlibat dalam urusan rumah tangga keponakannya.
"Kamu harus pulang bersama Papa, Viona! Kemasi barang-barangmu sekarang! Papa tidak rela putri Papa satu-satunya tinggal di rumah yang lebih pantas dikatakan gubug ini!"
Suara bariton milik Brata Mahardika--papa kandung dari Viona-- memenuhi seisi rumah yang tidak terlalu besar itu.
"Tunggu! Apa-apaan ini? Kenapa Papa memaksa Viona untuk ikut bersama Papa?"
Rendra membulatkan matanya tak percaya saat melihat istri tercintanya sedang mengemasi barang-barangnya. Sementara bayinya sedang tertidur pulas di atas kasur. Tidak merasa terganggu sama sekali dengan keributan yang sedang terjadi.
Viona tak bisa berbuat apa-apa lagi, ia segera mengemasi barang-barangnya yang tidak terlalu banyak itu ke dalam kopernya. Matanya menatap wajah laki-laki yang baru satu tahun menjadi imamnya. Kemudian kembali fokus mengemasi barang-barangnya.
Rendra berjalan mendekati istrinya yang sedari tadi mengabaikannya. Ia memegang tangan sang istri, mencoba menghentikan gerakan tangannya yang sedang memasukkan semua pakaiannya dan pakaian bayinya ke dalam koper. "Viona, sayang. Apa yang sedang kamu lakukan, kenapa kamu memasukkan semua pakaianmu dan juga anak kita ke dalam koper?"
Belum juga Viona menjawab pertanyaan Rendra, suara bariton milik Brata lagi-lagi terdengar memenuhi seisi rumah.
"Lepaskan tangan putriku, Rendra! Kamu tidak berhak menyentuhnya! Laki-laki gembel sepertimu tidak pantas untuk menyentuh kulit putriku!"
"Tapi dia istriku, Pa! Papa tidak pantas berbicara seperti itu kepadaku!" Rendra masih berusaha untuk mengontrol emosinya. Karena bagaimanapun pria paruh baya yang ada dihadapannya kini adalah mertuanya. Ia masih menghormatinya.
"Mulai saat ini Viona Putri Mahardika bukan lagi istrimu. Karena dalam waktu dekat, putriku akan menggugat cerai kamu, Rendra. Dan mulai detik ini berhenti memanggilku dengan sebutan 'Papa' karena aku tidak pernah menganggapmu sebagai menantuku!"
Sakit, perih yang dirasakan oleh Rendra saat mertuanya tidak pernah menganggapnya sebagai menantu. Namun selama ini ia tidak pernah memperdulikannya, karena baginya yang terpenting adalah cinta dari sang istri. Selama Viona mau bertahan dengannya, sudah cukup membuatnya bahagia. Apalagi saat kehadiran bayi mungil ditengah-tengah keluarga kecilnya. Menambah kebahagiaan bagi seorang Rendra.
Rendra menatap wajah sang istri yang sedari tadi hanya diam saja. "Viona! Katakan, jika apa yang dikatakan oleh papamu itu tidak benar!" Ia terus menatap wajah Viona, berharap istrinya itu menjawab pertanyaannya. Namun Viona lagi-lagi bungkam menutup mulutnya rapat-rapat.
"Kenapa kamu diam saja, Viona! Jawab pertanyaanku!" Rendra mengguncang pelan tubuh Viona. Tangannya memegangi kedua lengan istrinya. Rendra benar-benar sangat prustasi.
"Singkirkan tangan kotormu itu dari tubuh putriku!" Brata menarik paksa tangan Rendra yang masih memegang lengan istrinya. Viona tetap bergeming, hanya air matanya yang terus keluar membasahi pipinya.
Rendra mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Pertanda jika ia sedang marah. Namun, Rendra masih bisa menguasai emosinya. Ia tidak mau gegabah dalam bertindak. Dirinya masih berharap jika Viona mengurungkan niatnya untuk pergi dari hidupnya dan mengikuti perintah dari papanya.
"Pak, kita bisa bicarakan masalah ini baik-baik. Tidak dengan cara seperti ini. Bagaimanapun juga aku dan Viona adalah suami istri, apalagi saat ini ada bayi diantar kita berdua. Anda tidak bisa bersikap seperti ini kepadaku juga Viona." Rendra berusaha mengajak mertuanya untuk berbicara baik-baik. Ia masih bisa menahan emosinya dan menghormati Brata sebagai mertuanya.
"Tidak, Rendra. Kamu tidak bisa menjadi suami yang baik untuk putri kesayanganku. Kamu laki-laki miskin. Tidak mungkin bisa membahagiakan putriku yang sejak kecil hidup bergelimang harta," tukas Brata dengan pongahnya.
"Aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk bisa membahagiakan Viona. Saat ini aku memang belum terlihat sukses. Tapi aku yakin, suatu saat nanti aku pasti bisa memberikan harta yang berlimpah untuk Viona dan anak kita." Rendra berbicara dengan sangat percaya diri, ia yakin, suatu saat nanti dirinya akan sukses.
Brata justru tertawa mendengar perkataan Rendra. "Hahahaha ... jangan mimpi kamu, Rendra! Jangankan untuk memberikan harta kepada anak dan cucuku, untuk biaya persalinan istrimu saja, aku yang membiayainya. Karena kamu tidak mampu! Suami macam apa kamu? Aku gak sudi anakku satu-satunya hidup dengan gembel sepertimu!"
Pria paruh baya itu terus menghina Rendra. Tidak puas sampai disitu, Brata akan menghancurkan hidup Rendra dengan membawa pulang Viona dan bayinya dengan ataupun tanpa persetujuan dari Rendra.
Rendra terus menahan gejolak didadanya. Emosinya yang sudah di ubun-ubun hampir meledak jika saja ia tidak mengingat bahwa Brata adalah ayah dari istrinya, mungkin saja saat ini juga Brata akan memukul mulutnya yang kotor itu.
"Aku mohon, tolong beri aku waktu sebentar lagi. Aku janji, aku pasti akan menjadi laki-laki sukses seperti anda, Tuan Brata. Aku yakin itu." Rendra terus beroptimis dan meyakinkan mertuanya yang angkuh itu.
Lagi-lagi Brata tertawa mendengarnya. "Mau berapa puluh tahun, Viona harus menunggu kamu untuk menjadi lelaki sukses, hah? Sampai matipun, kamu tidak akan pernah bisa jadi laki-laki sukses sepertiku!" cemoohnya.
"Setidaknya, Viona tetap baik-baik saja, dan selama ia bersamaku Viona terlihat bahagia," lirih Rendra. Matanya menatap penuh harap pada perempuan yang sedari tadi hanya diam merapatkan mulutnya. Seperti tak berniat untuk membela suaminya.
"Jika anakku terus bersamamu, mau kamu kasih makan apa, hah? Kasih makan batu?" Brata terus menghina Rendra. "Viona, ayo masuk ke dalam mobil!" titahnya kepada Viona.
Bak kerbau yang dicucuk hidungnya, Viona menuruti perintah papanya. Ia menggendong bayinya yang sedang terlelap tidur. Kemudian berjalan sembari menundukkan kepalanya melewati suaminya yang menatapnya dengan sendu.
"Rudi, bawakan koper Viona ke dalam mobil!" titah Brata kepada supirnya.
"Baik, Tuan!" Rudi segera melakukan perintah majikannya.
"Viona, tunggu!" Rendra berlari menyusul Viona yang hendak masuk ke dalam mobil papanya.
Bab 1 Dijemput Paksa
22/05/2023
Bab 2 Merelakan Kepergian Sang Istri
22/05/2023
Bab 3 Bangkit dari Keterpurukan
22/05/2023
Bab 4 Perjuangan Dimulai
22/05/2023
Bab 5 Adu Jotos
22/05/2023
Bab 6 Pertemuan Terakhir
22/05/2023
Bab 7 Pingsan di Pinggir Jalan
22/05/2023
Bab 8 Keras Kepala
22/05/2023
Bab 9 Kabur dari Klinik
22/05/2023
Bab 10 Perpisahan yang Menyakitkan
22/05/2023
Bab 11 Kemalingan
22/05/2023
Bab 12 Bertemu Orang Baik
22/05/2023
Bab 13 Menuju Kontrakan
22/05/2023
Bab 14 Kontrakan Mewah
22/05/2023
Bab 15 Rejeki yang Datang Bertubi-tubi
23/05/2023
Bab 16 Bertemu Gery
23/05/2023
Bab 17 Hinaan untuk Rendra
23/05/2023
Bab 18 Menahan Emosi
23/05/2023
Bab 19 Office Boy
23/05/2023
Bab 20 Teman yang Kocak
23/05/2023
Bab 21 Mengetahui Sifat Asli Viona
26/05/2023
Bab 22 Sadar Diri
26/05/2023
Bab 23 Mengejar Viona
26/05/2023
Bab 24 Perubahan Sikap Viona (flashback)
27/05/2023
Bab 25 Isi Hati Viona
27/05/2023
Bab 26 Viona yang Kalap
27/05/2023
Bab 27 Sebelum Viona Dijemput
28/05/2023
Bab 28 Keberuntungan Bagi Rendra
28/05/2023
Bab 29 Bertemu Viona
28/05/2023
Bab 30 Kekecewaan yang Dirasakan Rendra
29/05/2023
Bab 31 Kecelakaan
29/05/2023
Bab 32 Tetap Tutup Mulut
29/05/2023
Bab 33 Hampir Putus Asa
30/05/2023
Bab 34 Teman Yang Sirik
30/05/2023
Bab 35 Kedatangan Owner Wijaya Grup
30/05/2023
Bab 36 Hampir Ketahuan
02/06/2023
Bab 37 Kedatangan Viona
02/06/2023
Bab 38 Pengakuan Pak Halim
02/06/2023
Bab 39 Soal Nampan
03/06/2023
Bab 40 Pengumuman yang Mengejutkan
03/06/2023
Buku lain oleh Al Vieandra
Selebihnya