Coba bayangkan! Seperti apa rasanya koma selama enam bulan lalu begitu sadar, kau baru menyadari tidak ada seorangpun yang menunggui bahkan tidak ada yang peduli padamu? Itu amat sangat menyakitkan, bukan? Ditambah dengan kehilangan pekerjaan dan tempat tinggal. Lengkap sudah penderitaan Arawinda Ardiningrum. Sementara itu kekasihnya--Yudha Sasongko, justru menghilang saat ia terbangun dari komanya. Dan hal yang sangat menjengkelkan adalah kehadiran Adipati Sasongko--Pria arogan paling menjengkelkan di muka bumi yang tidak ingin dilihatnya, tetapi justru dialah satu-satunya orang yang selalu datang menjenguknya. Bahkan kini ia menawarkan bantuan untuknya. Arawinda tidak semudah itu percaya. Bahkan ia telah bersumpah akan membalas dendam kepada satu-satunya penyebab ia kehilangan segalanya yaitu kekasihnya sendiri--Yudha Sasongko. Bagaimana dia membalaskan dendamnya? Atau dia malah terjebak dalam cinta si pria arogan?
Bab 1 Balas Dendam Terindah
"Gadis malang, apa menurutmu dia akan sadar?" Pertanyaan yang wajar yang diajukan melihat kondisi Arawinda Ardiningrum yang selama enam bulan terbaring di ranjang pesakitan rumah sakit ini.
Arawinda telah mati enam bulan yang lalu, itu secara harfiah karena dia sama sekali tidak menujukkan pergerakan apa pun. Gadis manis berambut ikal sepunggung itu masih bernafas meski dengan bantuan selang oksigen. Jantungnya juga masih berdetak normal sesuai yang tampak di layar monitor di atasnya. Hanya saja, ia sama sekali tidak menunjukkan kemajuan yang berarti atau tanda-tanda bahwa ia akan sadar.
"Entahlah, " jawab suster berkacamata atas pertanyaan rekan kerjanya tadi. "Kau sudah mencatat semuanya?"
"Ya, tentu, seperti hari-hari kemarin, semuanya normal."
"Kau tahu, kurasa jika jadi gadis ini, aku tak ingin bangun."
"Apa maksudmu?"
"Yah, kau kan tahu ... " menjeda ucapannya, ia menatap wajah Arawinda, "Tak ada keluarga yang menungguinya."
"Setidaknya ada seorang pria yang menjadi pengunjung tetapnya, bukan?"
"Ya, pria itu, yang selalu membawa mawar putih untuknya," ungkap suster itu sambil memandang mawar putih di atas nakas.
"Seharusnya, kita tidak membahas itu di sini."
"Oh, aku tahu, menurutmu ... "
"Ya, tentu saja dia masih bisa mendengar kita," sergahnya cepat.
"Entahlah, aku tak seperti dirimu yang suka mengajak pasien koma di sini berbicara tentang cuaca, tentang bintang film yang sedang tenar atau tentang kisah-kisah romantis dalam novel yang kau baca."
"Itu bagian pekerjaanku."
"Meskipun begitu, aku lebih suka mengobrol dengan orang yang membalas kata-kataku," ucapnya seraya keluar ruangan, diiringi tatapan jengah rekan kerjanya.
Ruangan bercat putih itu kembali sepi, hanya terdengar suara mesin monitor yang dihubungkan kabel-kabel ke dada Arawinda.
Hari berlalu, keadaan dalam ruangan itu masih sama.
Hujan turun setelah satu minggu matahari memancarkan panasnya ke permukaan bumi. Sepi menggelayut di lorong perawatan Arawinda. Beberapa menit lalu sebelum hujan turun, tampak seorang pria berjas keluar dari ruang rawat Arawinda. Lima menit kemudian, suster berkaca mata masuk menyapa Arawinda seperti biasa.
Jam kerjanya telah usai, tetapi seperti yang telah ia lakukan selama enam bulan ini, ia akan berpamitan kepada Arawinda. Seperti hari-hari kemarin, kali ini pun ia menceritakan tentang hujan yang baru saja turun dan juga memuji mawar putih yang baru saja diganti.
"Hei, sayang." Begitu sapanya pada Arawinda.
"Jam kerjaku sudah selesai, tapi rasanya ada yang belum lengkap jika belum berpamitan padamu," ungkapnya sambil mengelus punggung tangan Arawinda. "Dulu, sewaktu aku kecil, aku suka sekali bermain di bawah hujan, itu sangat menyenangkan. Seharusnya sekarang masih menyenangkan, tapi aku sudah terlalu tua untuk bermain hujan-hujanan." Ia tersenyum lalu mengalihkan pandangan pada mawar putih di atas nakas. "Bangunlah sayang, aku tak tahu hidupmu seperti apa sebelum ini, tapi ada seseorang yang sangat berharap kau bangun. Dia yang setiap kali kesini membawakanmu bunga mawar cantik itu. Kau harus bangun dan melihat senyumnya, sayang. Yakinlah, semua pasti baik-baik saja." Suster itu menggenggam tangan Arawinda, seolah menyalurkan harapannya agar gadis ayu itu bangun dari tidurnya.
Selesai bercerita, ia gegas menuju pintu. Namun, sebelum ia memutar kenop pintu, ia menoleh pada Arawinda. Hal yang mengejutkan pun membuatnya lekas memutar tubuh dan kembali ke samping Arawinda. Ia terpaku, menunggu sebuah keajaiban terjadi di depan matanya. Jari jemari tangannya saling bertaut dan meremas. Kini yang bisa ia lakukan hanyalah menunggu.
"Bangunlah, sayang .... " Gumamnya pelan hampir seperti berbisik kepada dirinya sendiri. Dan saat harapannya itu terjadi, ia memekik bahagia.
Kelopak mata Arawinda bergerak-gerak dan jari telunjuknya sedikit terangkat. Suster itu menunggu, dan ... benar! Arawinda membuka matanya!
Hanya warna putih yang terlihat begitu Arawinda membuka kedua kelopak matanya. Otaknya belum sanggup mencerna apa yang tampak di sana. Ia pun belum sepenuhnya dapat mempertanyakan keberadaan dirinya. Matanya mengerjap beberapa kali, berusaha menyesuaikan kadar cahaya yang baru saja masuk ke kornea matanya. Saat matanya telah mampu menyesuaikan, tampak sesosok wajah berkaca mata di depannya. Ia tidak mengenal siapa pemilik wajah itu atau mungkin ia lupa?
Arawinda menatap wajah itu dengan intens. "Hai!" Wanita yang masih belum dapat dikenalinya itu tersenyum. "Aku suster May, apa kabarmu?" Arawinda seakan mengenali suaranya. Perkataannya terasa familiar sekali dalam benak Arawinda. Kepalanya berdenyut memikirkan hal ini, kelopak matanya terasa kaku dan berat. Ia hendak memejamkan matanya lagi, tetapi wanita yang menyebut namanya--May, mencegahnya.
"Arawinda, dengar, jangan tidur dulu, sayang! Kau sudah cukup lama tertidur!" May menggenggam tangan Arawinda, sedikit meremasnya sementara tangan satunya meraih telepon genggam di saku. Ia memencet satu nomor kawan yang sekarang sedang berjaga dan memintanya untuk segera menelpon dokter Geo yang bertanggung jawab atas diri Arawinda.
Arawinda masih bingung mendengar perkataan May bahwa dirinya telah tertidur cukup lama. Ia mencoba memperhatikan sekitar. Wanita ini tadi memperkenalkan dirinya sebagai suster, dan ... oh, apakah aku di rumah sakit? pikir Arawinda dalam hati.
Tidak lama berselang, seorang lelaki berkaca mata dengan jas putih yang menjuntai, serta stetoskop terkalung di lehernya masuk ke ruang rawat Arawinda. Ia segera mendekati Arawinda sambil tersenyum tulus.
"Hai, saya Dokter Geo, bagaimana kabarmu? Apa kau ingat namamu?" Ara menganggukkan kepalanya lemah. Ada perasaan yang sama saat ia mendengar suara pria ini, sama seperti tadi. Ia merasa familiar dengan suaranya tetapi tidak dapat mengenali wajahnya. Mungkinkah selama ia tidur--seperti yang Suster May katakan tadi, ia telah melupakan banyak orang yang ia kenal?
Dokter Geo dan seorang perawat memeriksa kondisi Arawinda secara keseluruhan. Semuanya baik dan mereka bersyukur untuk itu. Menatap ekspresi wajah Arawinda, dokter Geo berkata, "Kau sekarang berada di International Hospital dan kau sudah tertidur cukup lama. Kami menyebutnya koma." Arawinda paham, jadi ternyata dirinya tidak sadarkan diri dalam waktu cukup lama. Beberapa bayangan peristiwa tiba-tiba muncul dalam ingatannya, ia mengingatnya.
"Yudha .... " Suster di sebelah dokter Geo hendak membuka mulutnya, tetapi urung dilakukannya mengingat beberapa pesan yang telah diberitahukan oleh pria yang selalu mengunjungi Arawinda. Dokter Geo membetulkan letak kaca matanya. Sambil tersenyum, ia mengatakan bahwa Yudha baik-baik saja.
"Tenang, Pak Yudha baik-baik saja. Ah, ya, apa kau tidak ingin minum?" Arawinda menganggukkan kepalanya. Mulut dan tenggorokannya memang rasanya kering sekali, seperti lama tidak teraliri air.
Suster May beringsut mundur dan keluar ruangan. Ia mengambil telepon genggamnya dan menghubungi seseorang yang sudah mewanti-wanti agar jika Arawinda sadar, maka dialah orang pertama yang harus dihubungi oleh pihak rumah sakit. Panggilan pertama terlewat dan tidak diangkat. May mengulanginya dan dalam dering ke-empat, telepon itu terhubung.
"Halo, ini suster May dari International Hospital."
"Ya, dia sudah sadar." Telepon langsung terputus begitu saja, tepatnya orang di seberang sanalah yang memutuskan sambungan telepon setelah menyuruh suster May untuk tidak menghubungi siapapun. Sungguh aneh, bukankah memang hanya nomor ini satu-satunya kontak keluarga Arawinda?