Perlindungan yang Menjadi Balas Dendam

Perlindungan yang Menjadi Balas Dendam

Zuraidah Asni

5.0
Komentar
Penayangan
24
Bab

Hancur hatinya setelah dikhianati kekasihnya, suatu malam Amara memutuskan melampiaskan amarah dengan menerima ajakan sahabatnya, Livia, untuk pergi ke klub eksklusif di Michigan. Tanpa Amara sadari, Livia ternyata adalah selingkuhan mantan kekasihnya. Diam-diam, Livia merancang jebakan: ia menyewa seorang gigolo untuk mendekati Amara. Amara mabuk berat malam itu, dan ia sama sekali tidak ingat siapa pria yang menemaninya. Sensasi satu malam itu tidak pernah terulang-dan pria itu pun tak pernah ditemuinya lagi. Namun takdir berkata lain: malam itu membuat Amara hamil, dan ia kemudian melahirkan seorang putra yang ia beri nama Ethan. Empat tahun berlalu. Amara, kini seorang dokter spesialis bedah digestif, memutuskan meninggalkan Michigan dan memulai hidup baru di New York bersama Ethan. Di New York, ia bertemu seorang dokter bedah anak bernama Damian Sinclair, seorang pria dengan aroma khas yang persis sama seperti pria yang tidur bersamanya empat tahun lalu. Namun pertemuan ini bukannya membawa kebahagiaan. Damian ternyata menyimpan luka lama dan kebencian mendalam terhadap Amara. Bertemu kembali dengan wanita itu justru membangkitkan keinginan kuatnya untuk membalas dendam.

Bab 1 mata menetes di pipinya

Amara menatap ke cermin kamar tidurnya, matanya merah, bibirnya yang sempat tersenyum kini menegang oleh kesakitan yang tak tertahankan. Semalaman air mata menetes di pipinya, membasahi bantal dan rambut yang acak-acakan. Rasanya seperti seluruh dunia menumpuk di dadanya, menekan, memelintir setiap bagian hatinya. Ia tidak pernah membayangkan, cinta yang ia percayai sepenuh jiwa akan berakhir dengan pengkhianatan paling kejam.

"Bagaimana bisa dia melakukan ini padaku...?" gumam Amara pelan, suaranya serak, hampir tersesat di antara bisikan malam yang sunyi. Tangan Amara menggenggam selimut seolah bisa meredakan rasa sakit yang bergelayut di dadanya. Tetapi itu tidak mungkin. Tidak ada selimut, tidak ada pelukan, yang mampu menutupi rasa hancur yang menggerogoti hatinya.

Ponsel di meja samping bergetar. Layar menampilkan nama "Livia." Sahabatnya. Amara menatapnya dengan campuran rasa lelah dan curiga. Livia, yang selama ini menjadi pendampingnya di saat suka dan duka, kini mengirim pesan yang tak biasa:

"Ayo malam ini kita keluar. Aku tahu tempat yang sempurna untukmu melupakan semua kesedihan."

Amara menatap pesan itu, bibirnya bergerak-gerak tanpa suara. Ada sesuatu dalam kata-kata Livia yang terdengar... meyakinkan, tapi juga aneh. Ia ragu, tapi sesuatu di dalam dirinya-semacam rasa ingin memberontak melawan kesedihan-mendorongnya mengiyakan.

"Baiklah," balasnya singkat, "aku ikut."

Beberapa jam kemudian, Amara menemukan dirinya berdiri di depan klub eksklusif di Michigan, lampu neon merah dan biru memantul di wajahnya yang pucat. Musik berdentum dari dalam, bass yang seakan menembus tulang, memanggilnya untuk melupakan kesedihan dan kemarahan yang menumpuk. Livia sudah menunggunya di depan pintu, mengenakan gaun hitam yang memeluk tubuhnya sempurna, senyum yang tampak manis tetapi memancarkan sesuatu yang licik.

"Amara! Akhirnya kamu datang," Livia berseru, menggenggam tangan Amara dan menariknya masuk. "Aku janji, malam ini kau akan lupa semua masalahmu."

Amara mencoba tersenyum, tapi itu hanyalah senyum tipis yang dipaksakan. Ia merasa seperti boneka yang ditarik-tarik, mengikuti arus yang belum tentu ingin ia lalui. Tetapi minuman yang disajikan bartender segera menenangkan sedikit perasaannya, alkohol mengalir ke dalam darahnya, mengaburkan kesedihan, menggantinya dengan sensasi hangat yang sementara.

Seorang pria mendekat. Tinggi, berotot, wangi parfum yang asing namun menggelitik ingatan yang samar. Amara menatapnya sejenak, jantungnya berdebar lebih cepat, tapi ia tidak bisa memastikan kenapa. Pria itu tersenyum, dan di matanya ada sesuatu yang... menantang.

"Hei, boleh aku menemanimu?" suara pria itu dalam dan tegas, tetapi ada nada yang lembut, seperti membisikkan janji yang tak bisa ia menolak.

Amara hanya mengangguk. Livia melirik mereka, senyum tipis mengintai di bibirnya. Dalam sekejap, Amara merasa seolah seluruh dunia berputar. Alkohol, musik, lampu, dan kehangatan pria itu membuatnya melupakan semua yang terjadi dalam beberapa minggu terakhir-pengkhianatan kekasihnya, rasa sakit, kemarahan yang membara.

Mal malam itu bergerak dengan cepat. Amara mabuk, tertawa tanpa henti, dan mengikuti pria itu ke sudut-sudut yang lebih gelap dari klub. Ia tidak ingat apa yang sebenarnya terjadi setelahnya. Yang ia tahu hanyalah pagi berikutnya, ia terbangun sendirian di kamar apartemen yang asing, selimut menutupi tubuhnya, dan ingatan tentang malam itu seperti kabut yang tak bisa ditembus.

Empat tahun berlalu sejak malam itu, tetapi bayangan pria itu tetap menghantui Amara. Ia memberi nama putranya Ethan, buah dari malam yang tak pernah ia mengerti sepenuhnya. Amara membesarkan Ethan seorang diri, menjalani hari-hari penuh tanggung jawab, sambil menyembunyikan luka di hatinya.

Kini, sebagai dokter spesialis bedah digestif yang sukses, Amara memutuskan untuk meninggalkan Michigan dan memulai hidup baru di New York. Kota baru, kesempatan baru, dan harapan bahwa masa lalu bisa ditinggalkan di belakang. Ia mengemas semua kenangan yang pahit dalam koper, menatap Ethan yang berlari-lari di apartemen, dan tersenyum tipis.

Namun, takdir tidak pernah semudah itu.

Hari pertama Amara di rumah sakit baru dipenuhi rutinitas. Mengurus pasien, operasi, konsultasi-segala sesuatu berjalan sesuai rencana. Hingga suatu pagi, di ruang anak, ia bertemu dengan seorang pria yang membuat jantungnya berhenti sejenak.

Damian Sinclair.

Tatapannya dingin, tetapi ada sesuatu yang aneh familiar-aroma parfum, cara ia menatap ruangan, bahkan sedikit senyum tipis yang muncul di bibirnya, semuanya membangkitkan ingatan samar yang telah lama terkubur. Amara menelan ludah, mencoba menenangkan diri. Tidak mungkin. Ini hanya kebetulan. Hanya kebetulan semata.

Tetapi Damian tidak mudah dibodohi. Ia melihat Amara, menyadari keberadaannya, dan di matanya terbaca sesuatu yang bukan hanya penasaran. Ada kebencian, luka, dan niat yang tak bisa disembunyikan. Sesuatu dalam dirinya memberitahu Amara bahwa pertemuan ini bukan sekadar kebetulan.

Di luar dugaan Amara, Damian mulai mengikuti langkah-langkahnya. Setiap kali mereka bertemu di koridor rumah sakit, di ruang konferensi, bahkan saat mengurus pasien bersama, ada ketegangan yang tak terlihat namun bisa dirasakan. Damian berbicara dengan nada dingin, tapi setiap kata yang keluar seperti menyimpan peringatan terselubung.

Amara berusaha tetap profesional. Ia tidak bisa membiarkan perasaan yang samar-samar itu mempengaruhi pekerjaannya. Ia fokus pada Ethan, pasiennya, dan kehidupannya yang baru. Tetapi diam-diam, rasa penasaran tentang pria yang begitu mirip dengan kenangan kelam itu terus menghantui.

Suatu malam, setelah jam kerja, Amara duduk sendirian di apartemennya, memandangi Ethan yang tidur nyenyak. Ia menarik napas dalam-dalam, menutup mata, mencoba menenangkan diri. Tapi pikirannya tak bisa berhenti. Bayangan Damian, aroma yang familiar, tatapan tajamnya-semua berkecamuk di kepala Amara.

"Kenapa aku merasa... sepertinya aku pernah mengenalnya?" gumamnya pada dirinya sendiri, suara hampir tak terdengar di keheningan malam.

Jawaban itu belum datang. Dan Amara tahu, pertemuan dengan Damian hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar-sesuatu yang bisa merusak ketenangan yang telah ia bangun selama bertahun-tahun. Sesuatu yang bisa mengguncang seluruh hidupnya, dan hidup Ethan.

Dan di suatu tempat, Damian menatap foto Amara dari layar ponselnya, senyum tipis mengerucut menjadi dingin. Rasa sakit yang pernah ia rasakan, dendam yang sudah lama terpendam, semuanya membakar di dalam dada. Bertemu kembali dengan Amara bukanlah kebetulan. Ini adalah kesempatan untuk membalas semua luka lama, kesempatan untuk menghancurkan perempuan yang pernah membuat hidupnya kacau.

Pertemuan itu, yang bagi Amara tampak seperti kebetulan, bagi Damian adalah awal dari permainan balas dendam yang ia rencanakan dengan matang.

Dan malam itu, ketika Amara memandang langit New York dari jendela apartemennya, ia tidak tahu bahwa bayangan masa lalu yang ia kira sudah terkubur, kini mulai merayap masuk ke kehidupannya. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menghentikannya.

Amara menekan telapak tangannya di meja kerjanya, memandang layar komputer yang menampilkan hasil scan pasien anak-anak. Gedung rumah sakit berisik dengan suara langkah-langkah cepat, bunyi monitor, dan panggilan pagers, tetapi di tengah kekacauan itu, pikirannya melayang entah ke mana.

Hari-hari di New York tidak sesederhana yang ia bayangkan. Kota ini seakan menelan setiap orang yang datang tanpa ampun. Amara mencoba menemukan ritme baru, mengatur jadwalnya antara operasi, konsultasi, dan merawat Ethan. Namun entah kenapa, ada perasaan canggung yang terus menghantui setiap interaksi dengan staf senior rumah sakit.

"Dr. Amara," suara seorang perawat memecah lamunannya. Amara menoleh. "Anak di ruang 304 membutuhkan dokter secepatnya. Kondisinya memburuk."

Amara menelan ludah dan berdiri. Tangannya gemetar sedikit, bukan karena takut, tapi karena sensasi tak nyaman yang berkecamuk di perutnya. Ia memaksakan senyum profesional, menenangkan diri, dan melangkah ke lift. Saat pintu lift menutup, matanya tanpa sadar menatap refleksi dirinya di cermin. Rambutnya yang diikat rapi, mata yang masih menunjukkan kelelahan, dan ekspresi tegas yang ia paksa setiap hari agar tak terlihat rapuh.

"Baru beberapa minggu di sini, tapi seperti sudah di ujung dunia," gumamnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar.

Di ruang anak, Amara melihat pasiennya: seorang bocah laki-laki, wajah pucat, napas tersengal. Orang tua pasien tampak panik. Amara berjongkok, menatap mata anak itu.

"Kamu akan baik-baik saja, oke? Aku di sini untuk membantumu," kata Amara lembut. Ia merasakan sesuatu yang dalam menggetarkan hatinya. Tidak hanya sebagai dokter, tapi juga sebagai seorang ibu. Ethan ada di pikirannya. Rasa takut kehilangan anaknya sendiri membuatnya semakin berhati-hati, lebih empatik.

Setelah beberapa menit, ia berhasil menenangkan situasi, menginstruksikan perawat dan staf, dan melakukan pemeriksaan awal. Semua berjalan lancar, tetapi saat ia berdiri untuk meninggalkan ruang itu, sosok seorang pria muncul di ujung koridor.

Damian Sinclair.

Ia berdiri dengan jas rumah sakit rapi, ekspresi serius, menatap Amara dengan tatapan yang sulit diartikan. Tidak ada senyum hangat, tidak ada sapaan biasa. Hanya ada ketegangan yang terasa sampai ke tulang.

"Dr. Amara, saya mendengar Anda menangani pasien di ruang 304," suaranya dalam, sedikit dingin. "Apakah semuanya sudah stabil?"

Amara mengangguk singkat. "Ya, tapi kondisinya kritis. Kami harus melakukan observasi intensif malam ini."

Damian mengangguk, tapi matanya tidak lepas dari Amara. Ada sesuatu di dalam tatapan itu, sesuatu yang membuat Amara menelan ludah. Tidak ada perasaan nostalgia, tidak ada ketertarikan manis-hanya rasa tajam yang membuat kulitnya merinding.

Setelah Damian pergi, Amara mencoba menenangkan dirinya. "Kenapa aku merasa... gelisah hanya karena dia melihatku?" gumamnya.

Tapi jawabannya tidak datang. Malam itu, ia pulang ke apartemennya lebih lambat dari biasanya. Ethan sudah tertidur pulas, tetapi meja makan masih berserakan sisa makanannya. Amara tersenyum tipis, menyiapkan makanannya sendiri, dan duduk di balkon.

Kota New York bersinar dengan lampu yang tak pernah padam. Tapi cahaya gemerlap itu tidak bisa mengusir bayangan Damian yang muncul di setiap sudut pikirannya. Ia tahu, tidak ada yang seharusnya membuatnya merasa seperti ini-bukan lagi, bukan sejak malam yang ia anggap telah terkubur empat tahun lalu.

Keesokan harinya, Amara menghadapi kejadian yang lebih aneh. Saat konferensi dokter anak, Damian muncul lagi, duduk di barisan yang berseberangan. Ia tidak memperkenalkan diri, hanya menatap, mencatat sesuatu, dan sesekali melemparkan komentar yang tajam kepada pembicara.

Amara merasa terganggu, tetapi ia mencoba tetap fokus. Namun setiap kata Damian membuatnya waspada, setiap tatapannya menimbulkan perasaan tidak nyaman. Ia merasa seolah-olah setiap gerakannya diperhatikan, setiap langkahnya diawasi.

Di sela-sela konferensi, seorang rekan dokter berbisik, "Dr. Sinclair memang terkenal, tapi agak... sulit didekati."

Amara mengangguk pelan. "Aku merasakan itu sendiri," jawabnya, tanpa menyadari getaran yang muncul di suaranya.

Hari-hari berlalu dengan ketegangan yang tak terlihat. Damian selalu hadir di sekitar Amara-di ruang konsultasi, di ruang operasi, bahkan di kantin rumah sakit. Tidak ada interaksi langsung yang kasar, tidak ada kata-kata menyakitkan, tetapi hadirnya membuat Amara selalu waspada. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik tatapannya, sesuatu yang bisa ia rasakan tapi tidak bisa dijelaskan.

Sementara itu, kehidupan Amara di rumah mulai terasa berat. Ethan mulai menanyakan ayahnya, pertanyaan yang selalu membuat Amara tersentak. Ia menatap putranya, merasa bersalah karena tidak bisa memberi jawaban yang memuaskan.

"Kenapa aku tidak punya ayah, Mama?" tanya Ethan suatu malam, matanya menatap Amara dengan polos.

Amara menelan ludah, memaksakan senyum. "Mama tidak tahu, sayang. Tapi Mama janji, aku akan selalu ada untukmu."

Namun ketika pintu tertutup, air mata mengalir. Ia tidak hanya merasa kehilangan seorang pria yang mungkin ia cintai empat tahun lalu, tetapi juga takut masa lalu itu akan menghancurkan dunia yang ia bangun untuk Ethan.

Keesokan harinya, rumah sakit menjadi medan baru permainan psikologis. Damian meminta Amara bekerja sama dalam menangani kasus operasi anak yang kompleks. Awalnya, Amara menolak, tetapi karena tekanan pimpinan rumah sakit, ia terpaksa menyetujui.

Selama operasi, Damian memperhatikan setiap gerakannya, memberikan komentar yang selalu terdengar profesional, tapi ada nada yang menusuk. Amara merasa seolah-olah setiap gerakannya dinilai, setiap keputusan dipertanyakan. Ia harus berjuang keras untuk menjaga fokus, mengatur napas, dan tetap profesional.

Setelah operasi selesai, Damian menatap Amara di lorong rumah sakit. "Anda sangat cermat, Dr. Amara," katanya pelan. Nada suaranya datar, tapi di balik kata-kata itu ada sesuatu yang membuat Amara tidak nyaman.

"Terima kasih," jawab Amara, menunduk, mencoba menahan perasaan campur aduk.

Namun perasaan itu tidak hilang. Malam itu, saat ia menatap Ethan tidur, ia merasakan kecemasan yang lebih dalam daripada sebelumnya. Bayangan Damian, tatapannya, aroma parfumnya-semua itu menghantui pikirannya. Ia merasa seperti sedang diintai oleh sesuatu yang tidak bisa ia kendalikan.

Di sisi lain, Damian pulang ke apartemennya sendiri, menatap foto lama yang ia simpan dalam dompet. Gambar Amara empat tahun lalu, di malam yang sama sekali tidak bisa ia lupakan. Ia menutup mata, menghirup napas panjang. Dendamnya bukan hanya soal pengkhianatan, tetapi soal luka yang belum pernah sembuh. Ia tidak bisa membiarkan Amara hidup bahagia tanpa merasakan getaran yang sama yang ia rasakan dulu.

Permainan psikologis itu baru saja dimulai.

Amara tidak tahu, setiap langkahnya kini diawasi, setiap gerakannya diperhitungkan. Damian telah menyiapkan rencana dengan cermat-tidak kasar, tidak terburu-buru, tetapi penuh dengan ketegangan, manipulasi, dan tekanan halus yang bisa menghancurkan hidupnya sedikit demi sedikit.

Dan ketika Amara menutup mata malam itu, ia merasa ada sesuatu yang salah. Sebuah intuisi gelap yang tidak bisa dijelaskan. Sesuatu yang mengatakan bahwa kehadiran Damian bukan sekadar kebetulan.

Ia hanya belum tahu, bahwa masa lalu yang ia kira sudah terkubur, kini mulai membentuk jalan yang akan membuat hidupnya dan Ethan berbelok ke arah yang sama sekali tak terduga.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Penipuan Lima Tahun, Pembalasan Seumur Hidup

Penipuan Lima Tahun, Pembalasan Seumur Hidup

Gavin
5.0

Aku adalah Alina Wijaya, pewaris tunggal keluarga Wijaya yang telah lama hilang, akhirnya kembali ke rumah setelah masa kecilku kuhabiskan di panti asuhan. Orang tuaku memujaku, suamiku menyayangiku, dan wanita yang mencoba menghancurkan hidupku, Kiara Anindita, dikurung di fasilitas rehabilitasi mental. Aku aman. Aku dicintai. Di hari ulang tahunku, aku memutuskan untuk memberi kejutan pada suamiku, Bram, di kantornya. Tapi dia tidak ada di sana. Aku menemukannya di sebuah galeri seni pribadi di seberang kota. Dia bersama Kiara. Dia tidak berada di fasilitas rehabilitasi. Dia tampak bersinar, tertawa saat berdiri di samping suamiku dan putra mereka yang berusia lima tahun. Aku mengintip dari balik kaca saat Bram menciumnya, sebuah gestur mesra yang familier, yang baru pagi tadi ia lakukan padaku. Aku merayap mendekat dan tak sengaja mendengar percakapan mereka. Permintaan ulang tahunku untuk pergi ke Dunia Fantasi ditolak karena dia sudah menjanjikan seluruh taman hiburan itu untuk putra mereka—yang hari ulang tahunnya sama denganku. "Dia begitu bersyukur punya keluarga, dia akan percaya apa pun yang kita katakan," kata Bram, suaranya dipenuhi kekejaman yang membuat napasku tercekat. "Hampir menyedihkan." Seluruh realitasku—orang tua penyayang yang mendanai kehidupan rahasia ini, suamiku yang setia—ternyata adalah kebohongan selama lima tahun. Aku hanyalah orang bodoh yang mereka pajang di atas panggung. Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Bram, dikirim saat dia sedang berdiri bersama keluarga aslinya. "Baru selesai rapat. Capek banget. Aku kangen kamu." Kebohongan santai itu adalah pukulan telak terakhir. Mereka pikir aku adalah anak yatim piatu menyedihkan dan penurut yang bisa mereka kendalikan. Mereka akan segera tahu betapa salahnya mereka.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku