Perlindungan yang Menjadi Balas Dendam
/0/29567/coverbig.jpg?v=e1e6f4c1ad2829a6ed9bbd486a1e6590&imageMogr2/format/webp)
man air mata menetes di pipinya, membasahi bantal dan rambut yang acak-acakan. Rasanya seperti seluruh dunia menumpuk di dadanya, menekan, meme
alam yang sunyi. Tangan Amara menggenggam selimut seolah bisa meredakan rasa sakit yang bergelayut di dadanya. Tetap
mara menatapnya dengan campuran rasa lelah dan curiga. Livia, yang selama ini
tahu tempat yang sempurna untu
-kata Livia yang terdengar... meyakinkan, tapi juga aneh. Ia ragu, tapi sesuatu di d
lasnya singka
cat. Musik berdentum dari dalam, bass yang seakan menembus tulang, memanggilnya untuk melupakan kesedihan dan kemarahan yang menumpuk. Livia sudah
nggenggam tangan Amara dan menariknya masuk. "Ak
mengikuti arus yang belum tentu ingin ia lalui. Tetapi minuman yang disajikan bartender segera menenangkan sedikit per
n yang samar. Amara menatapnya sejenak, jantungnya berdebar lebih cepat, tapi ia tidak b
am dan tegas, tetapi ada nada yang lembut, sepe
asa seolah seluruh dunia berputar. Alkohol, musik, lampu, dan kehangatan pria itu membuatnya melupakan sem
dari klub. Ia tidak ingat apa yang sebenarnya terjadi setelahnya. Yang ia tahu hanyalah pagi berikutnya, ia terbangun sendiria
nama putranya Ethan, buah dari malam yang tak pernah ia mengerti sepenuhnya. Amara membesarkan Et
i hidup baru di New York. Kota baru, kesempatan baru, dan harapan bahwa masa lalu bisa ditinggalkan di belakang. I
tidak pernah
asi, konsultasi-segala sesuatu berjalan sesuai rencana. Hingga suatu pagi, di ru
n Sin
ikit senyum tipis yang muncul di bibirnya, semuanya membangkitkan ingatan samar yang telah lama terkubur.
terbaca sesuatu yang bukan hanya penasaran. Ada kebencian, luka, dan niat yang tak bisa dise
it, di ruang konferensi, bahkan saat mengurus pasien bersama, ada ketegangan yang tak terlihat namun bisa dirasa
ngaruhi pekerjaannya. Ia fokus pada Ethan, pasiennya, dan kehidupannya yang baru. Tetapi diam-
yenyak. Ia menarik napas dalam-dalam, menutup mata, mencoba menenangkan diri. Tapi pikirannya tak bi
engenalnya?" gumamnya pada dirinya sendiri, s
sesuatu yang lebih besar-sesuatu yang bisa merusak ketenangan yang telah ia bangun se
h ia rasakan, dendam yang sudah lama terpendam, semuanya membakar di dalam dada. Bertemu kembali dengan Amara bukanlah kebetulan.
ebetulan, bagi Damian adalah awal dari permaina
ia tidak tahu bahwa bayangan masa lalu yang ia kira sudah terkubur, kini mulai me
il scan pasien anak-anak. Gedung rumah sakit berisik dengan suara langkah-langkah cepat, bunyi
pa ampun. Amara mencoba menemukan ritme baru, mengatur jadwalnya antara operasi, konsultasi, dan merawat Ethan.
nannya. Amara menoleh. "Anak di ruang 304 membu
emaksakan senyum profesional, menenangkan diri, dan melangkah ke lift. Saat pintu lift menutup, matanya tanpa sadar menatap refleksi dirinya dieperti sudah di ujung dunia," gumamny
aki-laki, wajah pucat, napas tersengal. Orang tua pasie
u yang dalam menggetarkan hatinya. Tidak hanya sebagai dokter, tapi juga sebagai seorang ibu. Ethan a
dan staf, dan melakukan pemeriksaan awal. Semua berjalan lancar, tetapi saat ia
n Sin
a dengan tatapan yang sulit diartikan. Tidak ada senyum hangat, tidak
pasien di ruang 304," suaranya dalam, sedi
kondisinya kritis. Kami harus mela
apan itu, sesuatu yang membuat Amara menelan ludah. Tidak ada perasaan nostalgia
angkan dirinya. "Kenapa aku merasa... gel
i biasanya. Ethan sudah tertidur pulas, tetapi meja makan masih berserakan sisa mak
sir bayangan Damian yang muncul di setiap sudut pikirannya. Ia tahu, tidak ada yang seharusnya membu
Damian muncul lagi, duduk di barisan yang berseberangan. Ia tidak memperkenalkan diri, han
an membuatnya waspada, setiap tatapannya menimbulkan perasaan tidak nyaman. I
dokter berbisik, "Dr. Sinclair memang
n itu sendiri," jawabnya, tanpa menya
, bahkan di kantin rumah sakit. Tidak ada interaksi langsung yang kasar, tidak ada kata-kata menyakitkan, tetapi hadirnya membuat
anyakan ayahnya, pertanyaan yang selalu membuat Amara tersentak. Ia menatap
ma?" tanya Ethan suatu malam, ma
m. "Mama tidak tahu, sayang. Tapi Mam
ilangan seorang pria yang mungkin ia cintai empat tahun lalu, tetapi juga
nta Amara bekerja sama dalam menangani kasus operasi anak yang kompleks. Awalnya,
esional, tapi ada nada yang menusuk. Amara merasa seolah-olah setiap gerakannya dinilai, setiap keputu
Anda sangat cermat, Dr. Amara," katanya pelan. Nada suaranya datar, ta
ra, menunduk, mencoba men
yang lebih dalam daripada sebelumnya. Bayangan Damian, tatapannya, aroma parfumnya-semua itu men
alam yang sama sekali tidak bisa ia lupakan. Ia menutup mata, menghirup napas panjang. Dendamnya bukan hanya soal pengkhianatan, tetapi
ologis itu bar
lah menyiapkan rencana dengan cermat-tidak kasar, tidak terburu-buru, tetapi penuh dengan ket
ng salah. Sebuah intuisi gelap yang tidak bisa dijelaskan. Sesuat
rkubur, kini mulai membentuk jalan yang akan membuat hidup