Balas Dendam Putri Konglomerat

Balas Dendam Putri Konglomerat

Gavin

5.0
Komentar
Penayangan
10
Bab

Duniaku runtuh saat aku melihat suamiku, Dian, menggenggam erat tangan cinta masa lalunya, Ratnasari, di rumah sakit. Padahal, aku di sana untuk program bayi tabung kami yang sudah berjalan lima tahun. Dia bilang ada rapat penting, ternyata rapatnya adalah menemani Ratnasari yang sakit kanker dan memohon untuk dijadikan prioritas. Lebih parahnya, Ratnasari mengklaim dia hamil anak Dian. Aku dikurung di rumah, ponselku disita, dan dipaksa pindah ke kamar tamu yang kotor sementara Ratnasari menempati kamar utama kami. Bahkan ayah angkatku sendiri berpihak pada mereka, memaksaku menandatangani surat cerai dan menggugurkan kandunganku. Mereka menyeretku ke rumah sakit, menyuntikkan obat, dan aku kehilangan anakku. Aku baru tahu, obat bayi tabungku selama ini sudah ditukar dengan obat perusak janin. "Anakmu... dia tidak bisa diselamatkan," isak ibu kandungku saat aku sadar. Ya, aku adalah Aluna Adijaya, putri konglomerat media terbesar di Asia Tenggara yang diculik saat bayi. Kini, aku kembali. Aku akan menghancurkan mereka semua.

Bab 1

Duniaku runtuh saat aku melihat suamiku, Dian, menggenggam erat tangan cinta masa lalunya, Ratnasari, di rumah sakit. Padahal, aku di sana untuk program bayi tabung kami yang sudah berjalan lima tahun.

Dia bilang ada rapat penting, ternyata rapatnya adalah menemani Ratnasari yang sakit kanker dan memohon untuk dijadikan prioritas. Lebih parahnya, Ratnasari mengklaim dia hamil anak Dian.

Aku dikurung di rumah, ponselku disita, dan dipaksa pindah ke kamar tamu yang kotor sementara Ratnasari menempati kamar utama kami. Bahkan ayah angkatku sendiri berpihak pada mereka, memaksaku menandatangani surat cerai dan menggugurkan kandunganku.

Mereka menyeretku ke rumah sakit, menyuntikkan obat, dan aku kehilangan anakku. Aku baru tahu, obat bayi tabungku selama ini sudah ditukar dengan obat perusak janin.

"Anakmu... dia tidak bisa diselamatkan," isak ibu kandungku saat aku sadar.

Ya, aku adalah Aluna Adijaya, putri konglomerat media terbesar di Asia Tenggara yang diculik saat bayi. Kini, aku kembali. Aku akan menghancurkan mereka semua.

Bab 1

Aluna Adijaya POV

Duniaku runtuh saat aku melihat suamiku, Dian, berdiri di samping Ratnasari di rumah sakit, tangannya menggenggam erat wanita itu, sementara aku di sana untuk program bayi tabung kami. Aku tidak percaya pada apa yang kulihat. Jantungku berdebar kencang, memukul-mukul dadaku seperti ingin keluar.

"Dian?" bisikku, suaraku nyaris tak terdengar.

Dian dan Ratnasari sedang berbicara dengan seorang dokter onkologi. Mereka tampak begitu akrab, seolah hanya ada mereka berdua di ruangan itu. Ratnasari terlihat pucat dan kurus, tapi ada senyum licik di bibirnya saat dia menatap Dian.

"Stres karena tidak diakui akan memperburuk kankernya, Dian," kata Ratnasari, suaranya lemah tapi penuh desakan. "Kumohon, jadikan aku prioritasmu. Hanya sampai aku sembuh."

Aku melihat Dian mengangguk, matanya dipenuhi rasa bersalah. Kata-kata itu menusuk hatiku, lebih tajam dari pisau. Prioritas? Bagaimana dengan program bayi tabung kami yang sudah lima tahun kulakukan? Bagaimana dengan diriku?

Darahku mendidih. Dadaku terasa sesak. Aku ingin berteriak, ingin memaki, tapi suaraku tercekat di tenggorokan. Ini bukan mimpi buruk, ini kenyataan. Kenyataan pahit yang menghancurkan semua harapanku.

"Aluna!" Suara suster memanggilku, menarikku dari lamunanku. "Giliran Anda untuk konsultasi."

Suara itu cukup keras untuk mengalihkan perhatian Dian dan Ratnasari. Mata Dian melebar saat melihatku berdiri di sana, hanya beberapa langkah dari mereka. Wajahnya langsung pucat pasi. Ratnasari ikut menoleh, dan senyum liciknya menghilang diganti ekspresi terkejut yang dibuat-buat.

Dian tidak bisa berkata-kata. Matanya bertemu denganku, dipenuhi kepanikan dan rasa bersalah yang tak bisa disembunyikan. Aku melihat kebingungan di sana, tapi tidak ada penyesalan. Hanya rasa takut ketahuan.

Lima tahun. Aku telah menghabiskan lima tahun hidupku untuk program bayi tabung ini. Setiap suntikan, setiap pil, setiap kunjungan dokter, setiap harapan yang pupus, semua kulalui sendiri. Dian selalu bilang dia sibuk. Sibuk dengan pekerjaan politiknya.

Sekarang aku tahu kesibukan macam apa itu. Dia sibuk membiayai pengobatan cinta masa lalunya. Air mata mulai menggenang di mataku, tapi aku memaksanya kembali. Aku tidak akan menangis di depan mereka.

Aku melangkah maju, setiap langkah terasa berat, tapi tekadku menguat. Aku harus tahu. Aku harus mengakhiri semua ini.

"Kenapa kau tidak menjawab teleponku?" tanyaku, suaraku bergetar tapi penuh amarah. "Kau bilang ada rapat penting. Ternyata rapatmu di sini, dengan dia?"

Wajah Dian semakin pucat. Dia mencoba meraih tanganku, tapi aku menepisnya. Amarahku meluap.

"Kau pembohong!" teriakku, dan tanpa pikir panjang, tanganku melayang, menampar pipinya keras.

Suara tamparan itu bergema di koridor rumah sakit yang sepi. Dian terdiam, menunduk, tidak membalas. Dia hanya mengusap pipinya yang memerah, matanya menghindari tatapanku. Sikapnya membuatku semakin marah.

"Jelaskan!" desakku. "Sekarang! Jelaskan semua ini!"

Ratnasari, yang tadinya hanya diam, tiba-tiba maju selangkah, meletakkan tangannya di lengan Dian. "Aluna, jangan begitu. Dian tidak bersalah. Aku yang memintanya datang. Aku hamil anaknya."

Kata-kata itu menghantamku seperti godam. Aku merasa seluruh duniaku hancur berkeping-keping. Hamil? Anak? Lalu bagaimana dengan anakku? Anak yang sedang kami perjuangkan mati-matian?

Aku tertawa, tawa yang penuh kepedihan dan sarkasme. "Hamil? Selamat, Ratnasari. Kau berhasil. Kau berhasil menghancurkan hidupku, menghancurkan harapanku."

Air mata yang tadi kutahan akhirnya tumpah ruah. Mereka mengalir deras di pipiku, panas dan pahit. Aku menatap Dian, mataku memohon penjelasan.

Dian mencoba memelukku, tapi aku mendorongnya menjauh. "Jangan sentuh aku! Apa maksudnya ini, Dian? Apa yang dikatakan wanita ini benar?"

Ratnasari memotongnya, suaranya terdengar picik. "Dia berjanji padaku. Dia bilang dia akan menceraikanmu dan kita akan bersama. Dia bahkan berjanji untuk mengadopsi anakmu jika kau berhasil hamil. Dia bilang kau hanya alat untuk mendapatkan anak yang sehat untuknya. Tapi aku yang akan menjadi ibunya."

Aku menatap Dian. Matanya menghindari tatapanku, wajahnya kaku. Dia tidak menyangkal.

"Dian?" suaraku bergetar, hampir tidak terdengar. "Apa yang dia katakan benar? Kau akan mengadopsi anakku? Anak yang kuperjuangkan mati-matian ini? Kau akan memberikannya pada wanita ini?"

Dian akhirnya mendongak, matanya penuh penyesalan yang terlambat. "Maafkan aku, Aluna. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku hanya... aku terjebak. Keluargaku... keluarga Ratnasari sangat berpengaruh. Mereka mengancam akan menghancurkan karier politikku jika aku tidak bertanggung jawab."

"Jadi anak ini, anak yang ada di dalam diriku sekarang, anak yang kami perjuangkan, kau berencana untuk memberikannya padanya?" Nada suaraku datar, tapi di dalamnya ada badai yang mengamuk.

"Tidak, Aluna. Tidak seperti itu," kata Dian, mencoba membela diri. "Aku tidak akan memberikannya padanya. Aku hanya... aku hanya perlu waktu. Aku akan menebus semuanya setelah Ratnasari sembuh. Kita bisa tetap bersama, aku janji."

Aku menatapnya dengan jijik. Bagaimana bisa dia begitu egois? Begitu buta? Dia adalah seorang politisi. Dia memiliki kekuasaan, pengaruh, dan uang. Dia bisa melakukan apa pun yang dia inginkan. Tapi dia memilih untuk mengorbankan aku, mengorbankan anakku, demi kariernya.

Aku ingat saat kami menikah. Aku hanyalah pengusaha kuliner sederhana. Dia adalah politisi muda yang sedang naik daun. Keluargaku, keluarga Chandra, adalah keluarga biasa. Kami tidak memiliki kekuasaan atau pengaruh seperti keluarga Soegiharto.

"Aku akan menyiapkan makan malam di rumah kita malam ini," kata Dian, suaranya mencoba terdengar meyakinkan. "Kau dan Ratnasari bisa saling mengenal lebih baik. Aku akan menjelaskan semuanya secara detail."

Aku menatapnya, bibirku mengatup rapat. Aku tidak bisa memercayai dia lagi. Tapi aku ingin melihat sejauh mana drama ini akan berlanjut.

Ratnasari tersenyum manis, senyum yang tidak sampai ke matanya. "Tentu, Aluna. Aku senang bisa mengenalmu lebih jauh. Aku akan mengurusnya. Bagaimana kalau kita ke butik dulu untuk memilih gaun? Kebetulan ada koleksi baru yang bagus."

Aku hanya menatapnya dingin. "Tidak perlu. Aku akan mengurusnya sendiri. Aku tidak ingin menghabiskan waktu denganmu lebih lama lagi."

Aku berbalik dan meninggalkan mereka berdua di sana, hatiku hancur, tapi tekadku untuk bertahan hidup semakin kuat. Aku tidak akan membiarkan mereka menghancurkanku.

Di dalam mobil taksi yang membawaku pulang, aku menyentuh perutku yang rata. Ada kehidupan di sana, kehidupan yang kuperjuangkan mati-mati. Anak ini adalah bagian dariku, dan tidak ada yang bisa mengambilnya dariku.

Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, tapi satu hal yang pasti: aku tidak akan menyerah tanpa perlawanan.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Gavin

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku