/0/29051/coverbig.jpg?v=03c9185fa22aa43f98f35e03092299da&imageMogr2/format/webp)
Marceline "Marcy" Sterling tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah 180 derajat dalam sekejap. Semua itu terjadi setelah ia dipaksa menikah dengan CEO Phoenix Cruise Line, Adrian Hawthorne, pria paling terkenal dan diidamkan di Amerika. Kehidupan nyaman Adrian pun terusik dengan kehadiran Marcy, wanita yang ia nikahi demi memenuhi wasiat orang tuanya. Padahal, hatinya masih tertambat pada Selena Winters, kekasih yang selama ini ia cintai. Tak ingin menyerah begitu saja, Adrian mulai menulis berbagai draft kontrak pernikahan yang ketat, penuh aturan, dan menuntut, semuanya untuk memastikan Marcy tunduk pada peraturan pernikahan mereka. Namun, ironisnya, setiap aturan justru membuat rasa cinta dan gelora asmara Adrian semakin membara. Sementara itu, Marcy-yang selama ini dianggap lemah, tak berdaya, dan kerap dihina-mulai menemukan kekuatan dalam dirinya. Ia berubah menjadi sosok yang menaklukkan pria-pria berpengaruh, bahkan pada suatu malam di puncak gedung mewah Phoenix Tower, Marcy menunjukkan sisi dominannya. Konsekuensinya, Selena Winters marah besar, bertekad mempertahankan cinta sejatinya dengan Adrian, memicu konflik, intrik, dan percikan asmara yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Marcy Sterling berdiri di depan cermin besar di kamarnya yang sempit, menatap wajahnya sendiri. Wajah itu tampak pucat, dengan mata yang lelah menahan tangis yang ingin lepas. Hatinya penuh kegelisahan, sementara tangan-tangannya gemetar. Surat wasiat itu masih tergenggam erat di tangannya, kertas tipis yang seolah menyalakan api perubahan dalam hidupnya.
"Kau harus menikah dengan Adrian Hawthorne," baca Marcy pelan, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Namun, suara hatinya menolak, "Bagaimana mungkin aku, Marcy Sterling, yang selama ini hidup sederhana, tiba-tiba dijebloskan ke dunia orang kaya yang penuh intrik dan ambisi?"
Ayahnya sudah meninggal setahun lalu, meninggalkan warisan yang tampak menggiurkan, tapi juga sarat aturan. Salah satu wasiatnya tegas: Marcy harus menikah dengan Adrian Hawthorne, CEO Phoenix Cruise Line, jika ingin mewarisi sebagian besar hartanya. Tidak ada kompromi. Tidak ada tawar-menawar.
Marcy menutup mata, membayangkan pria itu. Adrian Hawthorne-nama yang selalu muncul di setiap berita bisnis, di sampul majalah-majalah ekonomi, dan tentu saja, di mimpi-mimpi wanita di seluruh Amerika. Ia tampan, kaya, dan tampaknya sempurna. Tapi bagi Marcy, Adrian adalah simbol dunia yang asing, dunia yang menakutkan. Dunia yang memintanya menyerahkan kebebasan demi kemewahan.
"Ini gila," gumam Marcy. "Aku bahkan tidak mengenalnya... dan sekarang aku harus menikah dengannya?"
Pikirannya melayang ke kenangan sederhana, masa-masa ia bekerja di kafe kecil milik ibunya almarhum. Hidupnya sederhana, bahagia dengan kesederhanaan itu. Ia tidak pernah menginginkan kemewahan. Ia hanya ingin bebas dari masalah, hidup tenang, dan mungkin suatu hari menemukan cinta yang tulus. Tapi kini semua itu tampak mustahil.
Pagi itu, Marcy harus bertemu dengan Adrian untuk pertama kalinya. Pikirannya campur aduk antara takut, penasaran, dan... sedikit marah. Marcy menatap cermin sekali lagi. Ia tahu, jika ia terlihat lemah, Adrian akan menganggapnya mudah diatur. Ia harus terlihat tegas, berani, dan-jika bisa-sedikit misterius.
Dengan langkah gemetar, ia mengenakan gaun sederhana berwarna biru muda. Rambutnya dibiarkan tergerai, wajahnya hanya diberi sedikit bedak. Tidak ada perhiasan mewah, tidak ada parfum mahal. Ia ingin menjadi dirinya sendiri, meski dunia yang akan ia hadapi adalah dunia orang-orang kaya dan berkuasa.
Di lobi hotel bintang lima tempat mereka akan bertemu, Marcy menunggu dengan hati berdebar. Ia memperhatikan setiap detail: para pelayan yang sigap, lampu kristal yang berkilauan, dan tamu-tamu yang datang dengan pakaian mahal, membawa aura percaya diri yang membuat Marcy merasa kecil.
Kemudian, pintu terbuka, dan sosok itu masuk. Adrian Hawthorne. Tinggi, berwibawa, dengan mata tajam yang seolah bisa menembus jiwa siapa pun yang ia pandang. Marcy terdiam sejenak. Ada sesuatu yang menakutkan sekaligus memikat dalam tatapannya.
"Marcy Sterling?" suara Adrian dalam, tegas, tapi tidak kasar.
Marcy mengangguk, mencoba menenangkan diri. "Ya... saya Marcy."
Adrian melangkah mendekat, memandangnya dari kepala hingga kaki, seolah menilai siapa yang berdiri di hadapannya. "Jadi, ini kamu," gumamnya pelan, hampir seperti pada diri sendiri. Ada senyum tipis yang muncul, tetapi matanya tetap serius. "Aku mendengar banyak hal tentangmu."
"Semua... baik?" tanya Marcy, berusaha terdengar santai.
Adrian mengangkat alisnya, senyum tipis itu berubah menjadi sedikit menggoda. "Tergantung dari sudut pandang siapa," jawabnya. "Tapi aku rasa, kita berdua ada di posisi yang sama sekarang. Terjebak dalam aturan yang... bukan pilihan kita sendiri."
Marcy menelan ludah. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Adrian Hawthorne, pria yang dikatakan paling diidamkan wanita, sekarang berdiri tepat di hadapannya, membicarakan hal yang sama: pernikahan kontrak yang memaksa mereka bertemu dan hidup bersama.
Percakapan itu berjalan canggung. Mereka membahas persyaratan pernikahan, hak warisan, dan berbagai aturan yang ditetapkan dalam surat wasiat ayah Marcy. Setiap kata yang Adrian ucapkan terasa seperti dingin, profesional, namun ada sesuatu yang tak bisa Marcy abaikan: ada perhatian tersembunyi dalam tatapannya.
Namun, tidak ada yang bisa Marcy lakukan selain mengangguk dan mendengarkan. Ia merasa terperangkap, tapi juga penasaran. Bagaimana mungkin seorang pria sehebat Adrian Hawthorne memiliki sisi lembut yang tersembunyi di balik tatapan tajamnya?
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan pertemuan bisnis, konsultasi hukum, dan perbincangan tentang kehidupan mereka yang akan dijalani bersama. Marcy belajar untuk menyesuaikan diri, meski sering merasa tertekan. Setiap aturan kontrak yang dibuat Adrian terasa mengekangnya, tapi semakin ia mencoba melawan, semakin ia sadar bahwa ia membutuhkan kecerdikan dan keberanian untuk bertahan.
Suatu malam, ketika Marcy duduk di balkon suite hotel, menatap kota yang gemerlap di bawahnya, ia merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia bukan lagi gadis sederhana yang takut pada dunia luar. Ia mulai menemukan kekuatan, keberanian, bahkan sedikit rasa penasaran terhadap Adrian Hawthorne.
Dan di sisi lain kota, Adrian juga merasakan hal yang sama. Ia mulai melihat Marcy bukan sekadar wanita yang dipaksanya nikahi, tapi seseorang yang memiliki keberanian, kepintaran, dan keteguhan yang membuatnya penasaran. Pernikahan kontrak itu, yang awalnya hanya formalitas, kini mulai menjadi arena permainan yang lebih menarik daripada yang ia duga.
Konflik, ketegangan, dan percikan asmara mulai muncul di antara mereka-tanpa satu pun dari mereka benar-benar mengakui perasaan yang tumbuh. Dunia mereka berbeda, aturan mereka ketat, tapi hati mereka mulai menari mengikuti irama yang tak terlihat.
Dan malam itu, Marcy menyadari satu hal: ia siap menghadapi Adrian Hawthorne, siap menghadapi dunia mewah yang menakutkan, dan siap menemukan versi dirinya yang tak pernah ia kenal sebelumnya.
Namun, yang tidak ia tahu, Adrian juga menyiapkan strategi. Strategi yang tidak hanya akan menguji keteguhan Marcy, tapi juga menguji kemampuannya sendiri untuk menahan rasa yang mulai tumbuh-rasa yang bisa menghancurkan atau menyelamatkan mereka berdua.
Malam itu, di bawah cahaya kota, permainan mereka dimulai. Sebuah permainan cinta, kekuasaan, dan ambisi yang tidak ada yang bisa memprediksi siapa yang akan menang... dan siapa yang akan kalah.
Marcy Sterling menutup pintu apartemen barunya dengan keras, menahan napas panjang. Ia merasakan denyut jantungnya yang tak menentu, seolah seluruh tubuhnya memberontak terhadap kenyataan yang baru saja ia hadapi. Apartemen mewah itu bukan miliknya sendiri, setidaknya belum sepenuhnya. Tapi sebagai bagian dari perjanjian pernikahan kontrak dengan Adrian Hawthorne, semua fasilitas itu kini ada di tangannya-dengan harga yang tak pernah ia bayangkan: kebebasan pribadinya.
Ia berjalan pelan ke jendela, menatap kota yang penuh lampu gemerlap. Semuanya tampak memukau, tapi bagi Marcy, pesona itu terasa menekan. Ia terbiasa hidup sederhana, dengan secangkir kopi hangat di pagi hari dan obrolan ringan dengan tetangga. Sekarang, ia dipaksa menghadapi dunia yang berbeda: dunia di mana uang, status, dan ambisi lebih penting daripada perasaan manusia biasa.
Pikiran Marcy kembali ke Adrian. Pria itu tampak selalu tenang, percaya diri, dan terlalu sempurna hingga hampir menakutkan. Setiap pertemuan mereka selalu penuh ketegangan-bukan hanya karena aturan kontrak, tapi juga karena adanya rasa penasaran yang tumbuh di antara mereka, sebuah energi yang tak bisa ia abaikan.
"Kenapa aku harus terjebak dalam ini?" gumamnya pada dirinya sendiri, matanya menatap kertas kontrak yang terselip di meja. Ia membaca ulang beberapa pasal yang menekankan kewajiban dan batasannya. Setiap kata di sana terasa seperti belenggu, dan semakin ia membacanya, semakin ia ingin memberontak.
Suara dering ponsel mengagetkannya. Ia menoleh dan melihat nama Adrian di layar. Dengan ragu, ia mengangkat telepon.
"Marcy, aku harap kau sudah sampai di apartemen tanpa masalah," suara Adrian terdengar tenang, tapi ada nada perhatian yang tak ia kenali sebelumnya.
"Ya... sampai dengan aman," jawab Marcy, berusaha terdengar biasa saja. "Terima kasih... atas apartemennya."
"Ini baru permulaan," Adrian menambahkan, suaranya berat namun tidak kasar. "Besok, aku ingin kita membahas jadwal harian kita... bagaimana kita akan menjalani hidup bersama sesuai kontrak."
Marcy menelan ludah. "Aku mengerti," jawabnya singkat, menutup telepon setelah Adrian mengakhiri panggilan. Ia jatuh di sofa, menatap langit-langit. Menjadi bagian dari dunia Adrian bukan sekadar tentang kemewahan, tapi juga tentang tunduk pada peraturan yang ia sendiri tak pernah setujui.
Malam itu, Marcy tidak bisa tidur. Ia berpikir tentang bagaimana ia bisa mempertahankan dirinya sendiri di tengah aturan yang ketat. Ia memikirkan strategi, bagaimana ia bisa berdiri tegak tanpa terlihat lemah, bagaimana ia bisa membangun posisi di dunia yang terasa asing ini. Ia bukan Marcy Sterling yang sama dari bulan lalu. Ia mulai berubah, tapi perubahan itu menakutkan sekaligus membangkitkan rasa percaya dirinya.
Keesokan paginya, Marcy bertemu Adrian di ruang makan hotel, tempat mereka akan sarapan bersama. Adrian sudah menunggunya, mengenakan setelan hitam rapi, rambutnya tertata sempurna, dan mata birunya menatap Marcy dengan intens.
"Selamat pagi," katanya singkat, suaranya tegas tapi tidak dingin.
"Selamat pagi," Marcy membalas, duduk di kursi. Ia mencoba menenangkan dirinya saat melihat Adrian membuka tablet, menampilkan jadwal hari itu.
"Pagi ini kita ada pertemuan dengan tim manajemen Phoenix Cruise Line," Adrian memulai, menatapnya serius. "Aku ingin kau hadir, bukan hanya sebagai pendamping, tapi sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan."
Marcy terkejut. "Bagian dari proses pengambilan keputusan? Aku... aku tidak tahu apa-apa tentang perusahaanmu."
"Itulah tujuannya," Adrian menjawab dengan tenang. "Kau akan belajar. Kau harus tahu apa yang kita lakukan, bagaimana kita beroperasi, agar tidak merasa tersinggung atau terasing."
Marcy mengangguk, hatinya campur aduk. Di satu sisi, ia takut tidak mampu mengikuti arus dunia Adrian. Di sisi lain, ia merasakan dorongan untuk membuktikan dirinya. Ia tidak ingin hanya menjadi 'Marcy yang dipaksa menikah'. Ia ingin menjadi Marcy yang dihormati, bahkan oleh Adrian sendiri.
Pertemuan dengan tim manajemen berlangsung panjang dan melelahkan. Marcy harus mendengarkan laporan keuangan, strategi pemasaran, dan bahkan negosiasi kontrak dengan partner internasional. Setiap istilah bisnis terasa asing, dan setiap angka yang disebut membuat kepalanya berputar. Namun, ia tidak menunjukkan kebingungan. Ia mencatat, bertanya saat perlu, dan mencoba memahami setiap detail.
Adrian memperhatikannya dari samping, matanya menilai. "Kau lebih cepat beradaptasi daripada yang kukira," gumamnya, lebih pada dirinya sendiri daripada Marcy.
Sore itu, setelah pertemuan panjang, Adrian mengajak Marcy ke dek kapal Phoenix yang sedang bersandar di pelabuhan kota. Angin laut yang sejuk menerpa wajah mereka, membuat Marcy merasa sedikit lebih ringan.
"Kau tidak takut?" Adrian menatapnya, matanya menajam. "Banyak wanita takut menghadapi dunia ini... dunia bisnis dan kekuasaan."
Marcy tersenyum tipis. "Aku mungkin takut, tapi aku tidak akan mundur begitu saja."
Ada keheningan sejenak. Angin laut menggerakkan rambut mereka, dan Marcy merasakan sesuatu yang aneh-campuran rasa takut, penasaran, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan. Adrian menatapnya, dan untuk sesaat, Marcy merasa dunia mereka hanya milik mereka berdua, terlepas dari aturan, kontrak, atau perasaan yang rumit.
Namun kenyataan segera kembali menghantam. Kembali ke apartemen, Marcy menemukan surat lain di meja: surat dari pengacara Adrian, berisi tambahan aturan kontrak pernikahan. Ada batasan-batasan baru yang harus ia patuhi, termasuk jadwal harian, interaksi sosial, dan tanggung jawab keuangan. Marcy menatap kertas itu, rasa frustrasi mulai membakar.
"Sepertinya, Adrian ingin menguji kesabaranku," gumamnya, meninju bantal sebentar sebelum menarik napas panjang. Ia tahu satu hal: jika ia ingin bertahan, ia harus lebih pintar, lebih kuat, dan lebih berani dari yang pernah ia bayangkan.
Malam itu, Marcy berdiri di balkon lagi, menatap bintang. Ia tahu bahwa pertarungan sebenarnya baru saja dimulai. Bukan hanya pertarungan melawan aturan, kontrak, atau dunia Adrian. Ini adalah pertarungan untuk menemukan diri sendiri, untuk membuktikan bahwa meski dipaksa dalam keadaan yang tidak ia pilih, ia tetap bisa menentukan arah hidupnya.
Di sisi lain kota, Adrian duduk di ruang kerjanya, menatap layar komputer. Ia memikirkan Marcy, gadis yang awalnya ia anggap hanya penghalang formalitas pernikahannya, tapi kini membuatnya penasaran. Ia tidak tahu apakah perasaan itu cinta, kekaguman, atau kombinasi dari rasa ingin menguasai dan rasa hormat. Yang jelas, ia tahu satu hal: Marcy Sterling bukan wanita yang bisa ia kendalikan dengan mudah.
Malam itu berakhir dengan keduanya merenung, masing-masing di dunia mereka sendiri. Marcy menatap langit malam, bertekad untuk bertahan dan menemukan kekuatannya. Adrian menatap layar komputer, merencanakan langkah berikutnya, tak hanya untuk bisnis, tapi juga untuk Marcy.
Dan di tengah malam, sebuah permainan baru dimulai-permainan antara kebebasan dan kendali, antara aturan dan perasaan, antara dua orang yang dipaksa untuk hidup bersama, tapi tidak ada yang benar-benar tahu siapa yang akan menaklukkan siapa.
Bab 1 Surat wasiat
28/10/2025
Bab 2 membuktikan bahwa dirinya mampu berdiri
28/10/2025
Bab 3 kesuksesan
28/10/2025
Bab 4 mengejutkan lagi
28/10/2025
Bab 5 kau pernah membayangkan hidup seperti ini
28/10/2025
Bab 6 Pertemuan berlangsung di gedung
28/10/2025
Bab 7 Apakah semua dokumen siap
28/10/2025
Bab 8 saling curiga
28/10/2025
Bab 9 baru saja kembali
28/10/2025
Bab 10 situasinya berbeda
28/10/2025
Bab 11 faktanya berbeda
28/10/2025
Bab 12 kekhawatiran
28/10/2025
Bab 13 dipertaruhkan
28/10/2025
Bab 14 kontrak bisa hilang
28/10/2025
Bab 15 menyelesaikan tugasnya
28/10/2025
Bab 16 Seorang manajer
28/10/2025
Bab 17 suasana serius
28/10/2025
Bab 18 memengaruhi kepercayaan
28/10/2025
Bab 19 pengkhianatan
28/10/2025
Bab 20 Kesalahan sedikit saja
28/10/2025
Bab 21 ketika ancaman datang bersamaan
28/10/2025
Bab 22 menghancurkan perusahaan
28/10/2025
Bab 23 ketidakpastian
28/10/2025
Bab 24 strategi balasan
28/10/2025
Buku lain oleh Aldi123
Selebihnya