/0/29054/coverbig.jpg?v=20251205185346&imageMogr2/format/webp)
Liana Ardelia tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah menjadi mimpi buruk hanya dalam satu malam. Perempuan sederhana itu dijual oleh suaminya sendiri, Revan, demi melunasi utang judi yang menumpuk. Lelaki yang pernah ia percaya sebagai pelindung, justru menjadikannya alat tukar di meja taruhan. Liana dijual kepada seorang pria yang namanya membuat para penjahat pun gemetar: Dominic Valente, pemimpin sindikat bawah tanah terbesar di Eropa. Lelaki berdarah dingin, kejam, dan tanpa belas kasih itu terkenal karena bisa menghabisi satu keluarga hanya karena sebuah pengkhianatan kecil. Namun malam itu berbeda. Saat Liana didorong masuk ke ruangan hotel mewah, Dominic memandangnya lama - bukan dengan hawa predator, melainkan dengan sorot mata yang entah kenapa mengandung sesuatu yang dalam. Ada ketenangan yang aneh saat ia menatap wajah polos Liana. Dominic terbiasa mematahkan siapa pun yang berada di bawah kendalinya. Tapi perempuan ini... justru memecahkan tembok yang selama ini ia bangun. Liana bukan hanya cantik. Ia juga memiliki kepolosan dan ketulusan yang belum pernah Dominic temui dalam hidupnya yang kelam. Malam itu, Liana menjadi miliknya. Tapi bukan sekadar karena perjanjian kotor itu. Dominic menanamkan benih cintanya - dan tanpa sadar, benih darahnya - di dalam rahim Liana. Sebelum ia sempat menepati janjinya untuk membebaskan Liana dari neraka yang bernama rumah Revan, badai datang lebih cepat. Revan dan ibunya menyeret Liana kembali ke rumah mereka. Ia dijadikan pembantu, diinjak harga dirinya, dan disiksa tanpa belas kasihan. Hari-harinya diisi dengan darah dan air mata, sementara benih Dominic tumbuh perlahan dalam rahimnya. Waktu berlalu, dan kabar tentang Liana menghilang. Dominic mencari ke seluruh dunia bawah, membakar siapa pun yang diduga tahu keberadaannya. Namun setiap kali ia hampir menemukannya, jejak itu selalu hilang - seperti kabut yang menelan harapan terakhirnya. Apakah Dominic akan berhasil menemukan Liana dan anak yang dikandungnya? Ataukah Liana yang akan bangkit dari penderitaannya untuk menuntut balas kepada keluarga yang telah menjual dan menyiksanya?
Langit malam itu tampak muram, seperti ikut menangis bersama nasib Liana. Gerimis turun pelan-pelan di atas kota, membasahi jalanan yang sepi dan dingin. Lampu jalan berpendar kekuningan, memantulkan bayangan tubuh perempuan itu yang berdiri di depan sebuah hotel megah. Rambut hitamnya basah, matanya sembab, bibirnya pecah-pecah. Gaun yang menempel di tubuhnya sudah lusuh dan basah kuyup, tapi Revan-suaminya sendiri-tetap menarik tangannya kasar, menyeretnya ke dalam lobi.
"Revan, lepaskan aku. Aku nggak mau ke sini," bisik Liana lirih, matanya memohon. Ia sudah berjam-jam berlutut di rumah, memohon agar suaminya tidak melakukan ini. Tapi Revan tak mendengarnya.
Lelaki itu menatapnya dengan mata merah penuh amarah dan keputusasaan. "Diam, Liana! Kau pikir aku punya pilihan lain? Kalau aku nggak bayar malam ini, aku mati besok pagi. Dan kalau aku mati, kau juga nggak akan selamat!"
"Tapi... menjualku?" suara Liana bergetar. "Aku istrimu."
Revan tertawa getir. "Istri? Istri yang cuma bisa menangis dan nyusahin. Aku nggak butuh istri, aku butuh uang."
Liana membeku. Setiap kata dari mulut Revan terasa seperti pisau yang menembus dadanya. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tenggelam dalam gemuruh hujan di luar. Dalam hati kecilnya, Liana masih berharap semua ini hanya lelucon buruk, bahwa Revan akan menyesal dan membawanya pulang. Tapi setiap langkah menuju lift membunuh harapan itu sedikit demi sedikit.
Mereka berhenti di depan kamar bernomor 1907. Pintu kayu gelap itu tampak seperti gerbang menuju neraka. Revan mengetuk dua kali. Tak lama, pintu terbuka, memperlihatkan sosok pria tegap dengan setelan jas hitam yang sempurna. Wajahnya seperti dipahat dari batu - tegas, dingin, dan mematikan. Matanya berwarna abu-abu, menatap Liana seperti singa yang menilai mangsanya.
"Dominic Valente," batin Liana mengenali nama itu. Ia pernah mendengar namanya disebut dalam berita-berita gelap - mafia paling berkuasa di dunia bawah, pria yang bahkan polisi pun tak berani menyentuh.
Revan memaksakan senyum. "Tuan Valente, ini... wanita yang saya janjikan."
Dominic berdiri tanpa ekspresi. Ia melirik Liana sejenak, lalu menggeser pandangannya ke Revan. "Uangnya sudah saya kirim ke rekeningmu. Sekarang pergi."
Revan menelan ludah, melirik Liana untuk terakhir kali. "Liana, tolong mengertilah. Aku melakukan ini demi kita."
"Demi kita?" Liana menatapnya tak percaya. "Atau demi utang-utangmu sendiri, Revan?"
Tapi Revan sudah memalingkan wajah, menutup pintu dengan cepat di belakangnya, meninggalkan Liana sendirian dengan lelaki asing yang begitu menakutkan.
Keheningan menyergap. Suara detak jam dinding terasa begitu keras di antara mereka. Dominic berjalan pelan ke arah minibar, menuangkan anggur ke gelas kristal tanpa mengatakan sepatah kata pun. Aroma alkohol bercampur dengan wangi parfum maskulin memenuhi ruangan.
"Duduk," perintahnya dingin.
Liana mematung. Tangannya gemetar. Ia ingin lari, tapi kakinya seolah tertanam di lantai. Dominic menatapnya sejenak, kemudian mendekat. "Aku tidak suka mengulang perintah."
Perempuan itu pun perlahan duduk di ujung ranjang, menunduk. Air mata mulai jatuh tanpa suara. Dalam pikirannya, malam ini akan menjadi akhir dari segalanya - kehormatan, harga diri, dan hidupnya.
Dominic menatapnya lama, memperhatikan setiap detil wajahnya. Ada sesuatu di mata Liana yang tidak ia temukan di wanita lain: ketakutan yang bercampur kepasrahan, tapi juga secercah keberanian yang samar. Ia terbiasa dengan wanita yang berpura-pura patuh. Tapi yang ini berbeda - terlalu nyata.
"Berapa umurmu?" tanya Dominic tiba-tiba.
Liana menelan ludah. "Dua puluh tiga, Tuan."
Dominic mengangguk pelan. "Berapa lama kau menikah dengan Revan?"
"Tiga tahun."
"Dan dia menjualmu begitu saja."
Liana menatap lantai. "Dia... terlilit utang."
Dominic tertawa kecil, tapi suaranya dingin. "Semua lelaki pengecut selalu punya alasan. Tapi aku tidak peduli dengan ceritamu. Malam ini, kau milikku."
Liana menggigit bibir. Ia tahu tak ada jalan keluar. Ia menutup mata, mencoba menahan tangis saat Dominic mendekat. Tapi yang terjadi justru membuatnya bingung. Lelaki itu berhenti tepat di depannya, lalu menatapnya dalam.
"Kenapa kau tidak memohon?" tanya Dominic perlahan.
"Apa gunanya?" suara Liana nyaris tak terdengar. "Tidak ada yang akan menolongku."
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Dominic merasakan sesuatu yang aneh di dadanya - sebuah rasa yang selama ini ia benci: iba. Ia mengangkat tangan, menyentuh dagu Liana dengan lembut. "Kau berbeda," gumamnya.
Malam itu, dunia Liana runtuh, tapi sesuatu yang tak terduga juga lahir. Dominic tidak menyakitinya. Ia menyentuhnya dengan cara yang tidak pernah Revan lakukan: lembut, tapi tetap penuh kuasa. Di antara ketakutan dan keputusasaan, ada sejumput rasa aman yang aneh, yang membuat Liana menangis lebih keras.
Setelah malam itu berlalu, Dominic hanya meninggalkan satu kalimat sebelum ia pergi subuh-subuh:
"Suatu hari aku akan menjemputmu, Liana Ardelia. Dan saat hari itu tiba, tidak ada seorang pun yang bisa menyakitimu lagi."
Namun, hari itu tak pernah datang tepat waktu.
Beberapa minggu kemudian, Liana dibawa kembali ke rumah Revan. Lelaki itu menatapnya dengan jijik, seolah perempuan itu hanyalah barang bekas. Ibunya, Ny. Ratmi, perempuan tua dengan wajah keras, menatap menantunya dengan penuh kebencian.
"Perempuan tak tahu malu!" teriaknya sambil menampar Liana. "Kau sudah menjual tubuhmu, lalu berani pulang ke rumahku?"
Liana menunduk, pipinya panas terbakar. "Saya tidak punya tempat lain, Bu. Saya hanya ingin-"
"Diam!" Ratmi menepis tangan Liana yang mencoba meraih bajunya. "Mulai sekarang kau bukan istri Revan lagi. Kau pembantu di rumah ini. Kau dengar?"
Revan berdiri di belakang ibunya, tidak berani menatap Liana. Ia hanya berkata dingin, "Jangan bikin masalah. Kalau tidak, aku serahkan kau ke tempat yang lebih parah."
Sejak hari itu, Liana menjadi budak di rumah suaminya sendiri. Ia mencuci, menyapu, memasak, dan tidur di gudang kecil tanpa jendela. Tubuhnya mulai kurus, kulitnya penuh luka akibat cambuk dan air panas yang sering dilemparkan oleh ibu mertuanya.
Tapi di tengah penderitaan itu, ada satu rahasia yang ia simpan erat - sesuatu yang membuatnya tetap hidup. Setiap pagi saat ia muntah karena mual, ia menatap cermin kecil dan berbisik, "Kau tidak sendiri, Liana. Ada dia di dalam dirimu."
Ya, Liana hamil. Anak dari Dominic Valente.
Setiap malam, ia memeluk perutnya yang perlahan membesar sambil membayangkan wajah lelaki itu. Lelaki yang hanya bersama satu malam, tapi meninggalkan jejak yang tak pernah bisa dihapus. Kadang ia berharap Dominic benar-benar akan datang menjemputnya seperti janji yang ia ucapkan. Tapi hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan tak ada kabar.
Ratmi mulai curiga melihat perubahan tubuh Liana. "Kau hamil?" tanyanya dengan suara tinggi suatu sore.
Liana membeku. "Saya... saya tidak tahu, Bu."
Ratmi menatapnya tajam. "Anak siapa, hah? Anak pelacur macam apa yang kau lahirkan di rumah ini?!"
Pukulan datang bertubi-tubi malam itu. Liana jatuh tersungkur di lantai dapur, darah merembes dari bibir dan hidungnya. Tapi bahkan di tengah rasa sakit itu, ia melindungi perutnya dengan kedua tangan. "Tolong... jangan pukul anakku..." isaknya.
"Anakmu?" Ratmi menendangnya lagi. "Tidak ada anak pelacur di rumahku!"
Liana pingsan malam itu, dan ketika ia terbangun, ia mendapati dirinya di kamar tua yang dikunci dari luar. Tubuhnya lemah, tapi bayi di dalam rahimnya masih hidup - ia tahu karena masih bisa merasakan denyutnya.
Di luar, Revan dan ibunya berdiskusi dengan nada rendah. "Kita tidak bisa membiarkan anak itu lahir," kata Ratmi dingin. "Kita tidak tahu siapa bapaknya."
"Tapi kalau dia mati, Dominic Valente bisa mencari kita," jawab Revan gugup. "Kau tahu siapa dia."
Ratmi mendengus. "Sudahlah. Tidak mungkin orang seperti itu mengingat perempuan murahan seperti Liana."
Tapi mereka salah.
Dominic mengingat setiap detik malam itu.
Di sisi lain kota, di sebuah markas besar yang dijaga ketat, Dominic duduk di balik meja hitam besar. Tatapannya tajam menatap layar laptop di depannya - menampilkan rekaman CCTV hotel malam itu. Ia sudah menonton video yang sama berkali-kali. Liana, dengan gaun lusuhnya, berjalan pelan ke dalam kamar.
Salah satu anak buahnya masuk. "Bos, kami kehilangan jejak perempuan itu. Suaminya memindahkan dia ke daerah pinggiran. Tidak ada catatan resmi, tapi-"
Dominic menatap anak buahnya dengan dingin. "Temukan dia. Tidak peduli berapa pun biayanya."
"Kalau boleh tahu, siapa dia sebenarnya, Bos?" tanya anak buah itu hati-hati.
Dominic diam lama sebelum menjawab, "Seseorang yang membuatku percaya bahwa aku masih punya hati."
Anak buah itu menunduk. Ia tahu betapa berbahayanya bila nama perempuan itu terus terngiang di kepala bosnya. Tapi ia juga tahu, tidak ada yang bisa menghentikan Dominic Valente jika sudah menginginkan sesuatu - atau seseorang.
Sementara itu, di rumah kecil tempat Liana dikurung, malam-malamnya dipenuhi rasa sakit. Kadang ia berbicara sendiri, mencoba meyakinkan dirinya untuk bertahan sedikit lebih lama.
"Untukmu, Nak," bisiknya di antara isak tangis. "Mama akan bertahan. Walaupun dunia membenciku."
Hujan turun deras malam itu. Petir menyambar di langit, mengguncang kaca jendela. Liana memeluk perutnya, menggigil di lantai dingin. Ia tidak tahu, di luar sana, seseorang sedang mempersiapkan badai yang jauh lebih besar - badai yang akan mengubah segalanya.
Di markasnya, Dominic berdiri di balkon, menatap langit yang sama. "Tunggu aku, Liana," gumamnya pelan. "Kali ini aku tidak akan terlambat."
Namun, takdir tidak selalu berpihak pada cinta. Ketika anak buahnya akhirnya menemukan rumah tempat Liana disembunyikan, yang tersisa hanyalah reruntuhan dan jejak darah di lantai.
Liana telah menghilang - bersama janin yang dikandungnya.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Dominic Valente menghancurkan seluruh kota kecil hanya karena kehilangan satu perempuan.
Sejak malam itu, nama Liana menjadi legenda dalam dunia bawah.
Perempuan yang dicintai sang raja neraka.
Perempuan yang menghilang membawa separuh jiwanya.
Dominic berjanji pada dirinya sendiri - jika dunia memisahkan mereka, maka ia akan menghancurkan dunia itu sampai menemukan jalannya kembali.
Dan di tempat lain, jauh dari hiruk pikuk, Liana berjuang untuk hidup. Ia bersembunyi, membawa bayi kecil di perutnya, berlari dari masa lalu yang terus memburunya.
Dalam setiap langkah, ia hanya membawa satu doa:
"Semoga dia menemukanku sebelum semuanya terlambat."
Bab 1 menyeretnya ke dalam lobi
28/10/2025
Bab 2 penjaga toko roti yang iba padanya
28/10/2025
Bab 3 piring pecah yang melayang
28/10/2025
Bab 4 Ia sudah terbiasa mendengar bunyi itu
28/10/2025
Bab 5 memberi tanda kehidupan
28/10/2025
Bab 6 kau hamil lima bulan
28/10/2025
Bab 7 ia harus belajar menghadapi bahaya
28/10/2025
Bab 8 melindungi keluarga
28/10/2025
Bab 9 Kita tidak bisa menunggu
28/10/2025
Bab 10 keputusan menentukan
28/10/2025
Bab 11 perutnya yang kini semakin besar
28/10/2025
Bab 12 aku butuh panduanmu
28/10/2025
Bab 13 ia adalah alasan untuk bertahan
28/10/2025
Bab 14 tendangan bayi di rahimnya
28/10/2025
Bab 15 hidupnya kini tak lagi sepenuhnya miliknya sendiri
28/10/2025
Bab 16 menentukan keselamatan
28/10/2025
Bab 17 alasan mengapa ia tidak boleh lemah
28/10/2025
Bab 18 menyebarkan informasi
28/10/2025
Bab 19 menempatkan kita di posisi yang lebih kuat
28/10/2025
Bab 20 dirancang untuk memecah fokus mereka
28/10/2025
Bab 21 mengingatkan bahwa ini bukan hanya tentang mereka
28/10/2025
Bab 22 pengawasan
28/10/2025
Bab 23 meski tubuhnya lelah karena kehamilan
28/10/2025
Bab 24 Mereka ingin kita panik
28/10/2025
Bab 25 Keesokan harinya
28/10/2025
Buku lain oleh Aldi123
Selebihnya