icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon

Penderitaan yang Dipaksa Tersenyum

Bab 3 piring pecah yang melayang

Jumlah Kata:2355    |    Dirilis Pada: 28/10/2025

risi air sabun yang hampir tumpah. Tubuhnya belum pulih sepenuhnya dari luka-luka semalam, tapi suara bentakan ibu mertuanya menggema di k

au dari dalam rumah. "Kalau tidak suka di sini, pergi saja

ah kebal mendengar caci maki seperti itu. Satu-satunya yang membuatnya masih berdiri a

hapus dari ingatan. Bukan karena trauma, tapi karena malam itu juga memberi harapan aneh dalam dirinya. Sosok lelaki asing yang memandangnya buk

mimpi jauh. Ia terkurung dalam keh

n napasnya tercekat. Revan berdiri di ambang pintu dengan mata merah da

an sinis. "Sampah macam kau ini bahkan tid

Mas," jawab Liana pelan, su

Liana hingga air sabun muncrat ke segala arah. Ia mencengkera

"Kau pikir masih pantas jadi istriku se

a akan memperparah keadaan. Ia tahu, Revan tidak akan mendengarkan a

i," lirihnya akhirnya, de

ras mendara

ga gelas jatuh pecah. "Kau yang menggoda dia, ma

ingin menampar balik, ingin berteriak bahwa semua yang terjadi bukan keinginannya. Tapi lidahnya kelu. Ia han

gi ini ribut-ribut pagi-pagi? Sudah kubilang, perempuan ini pembawa

meninggalkan Liana tergeletak di lantai. Ib

ua! Dan nanti setelah selesai, masak untuk makan

ar, tapi ia tetap memaksa diri berdiri. Ia menyeka darah di sudut bi

lik meja kerjanya di markas besar Valente Group - kedok bisnis

foto laporan intelijen. Foto seorang perempuan d

elia," gum

ansaksi malam itu, Revan menghilang dari radar. Dominic menatap wajah Liana di foto itu lebih lama. Ada sesuatu di dalam dirinya yang bergolak setiap k

at kabar, perempuan itu masih di rumah suaminya. Tapi dijaga ke

atap tajam.

inic berdiri perlahan, menyesap rokoknya s

alam ini aku akan me

atap tak percaya

kira aku akan mempercayakan hidu

kut melapor, takut disalahkan lagi. Ia menatap ke luar jendela, ke arah halaman belakang yang becek oleh lumpur. Hujan mem

mi

napa, hanya mengingatnya saja membuat dada Liana terasa hangat. Mungkin karena untuk pertam

i ruang tamu. Ibu mertuanya mem

ruang tamu dengan kep

ingin dan tajam. Salah satunya berbicara sopan, tapi tegas. "Kami d

a? Dia bukan siapa-siapa! Perempua

. "Ada apa dengan Tuan Valente

gin memastikan keselamatan Anda. Kami

wajahnya keras. "Jangan coba-coba kabur, dasar tidak tah

ibu mertuanya tajam. "Saya sarankan Anda tidak menghalan

bicara lagi, tapi langkah kaki berat te

an mantel hitam basah oleh hujan. Tatapannya

tar, bukan karena takut, mel

nic dengan suara r

mua rasa sakit, luka, dan ketakutan bercampur menjadi satu

angkah, wajahnya pucat pas

rnah kau hina, dan sekarang datang untuk

tu dengan hangatnya kulit mereka. Liana ingin b

h dilihat siapa pun dari pria itu. "Mulai sekaran

ahu - hidupnya baru saja berubah lagi. Tapi kali ini, mungkin untuk pertama kalinya,

ang belum ia ucapkan - bahwa siapa pun yang tel

yang remuk. Liana duduk di kursi belakang dengan tangan yang bergetar halus di pangkuannya. Jari-jarinya saling menggen

ening itu menegangkan. Ia belum benar-benar memahami apa yang sedang terjadi. Yang ia tahu, lelaki ya

menangkap bayangan wajah Dominic di kaca, suaranya tertelan lagi. Ada sesuatu d

aian hitam membungkuk begitu Dominic turun dari mobil. Mereka membuka gerbang b

pu di sepanjang koridor memantulkan cahaya lembut ke seluruh halaman. Liana terpaku, tak pernah mem

ominic pelan sambi

Hangat, namun juga menyimpan aura kekuasaan yang sulit dijelaskan. Setiap langka

ari arah tangga. "Tuan Valente," sapanya sambi

Dia tinggal di sini mulai malam ini.

gan bingung. "T-tuan, maksud An

nmu di rumah itu lagi?" katanya tenang, namun suaranya cukup untuk membuat

dungan. Kata itu terasa asi

enghadap taman di belakang rumah. Ada ranjang empuk, lemari tinggi, bahkan meja rias dengan la

an bayangan wajahnya. Pikirannya campur aduk - antara ketakutan, rasa bers

uan tua tadi - yang belakangan ia tahu bernama Marina, kepa

ut. "Tuan menyuruh saya memastikan An

uk sopan. "Ter

n Valente mungkin terlihat dingin, tapi beliau t

penasaran, tapi Marina sudah menunduk sopan da

n yang diterangi cahaya lampu taman. Bayangan sosok pria berdiri di dekat air mancur - tegap, d

mi

gan hati-hati, menuruni tangga, dan melangkah keluar ke taman. Angin m

u mendengar langkahny

ana jujur. "Aku tidak terbias

n ke arah bangku taman. Ia duduk, memberi i

ara air mancur y

na akhirnya, pelan tapi te

ngi cahaya lembut dari taman. "Karena ak

nye

mengambil, menghancurkan, lalu melupakan. Tapi entah kenapa,

uan. "Aku... tidak mengerti. Aku bukan s

eda. Kau tidak melihatku seperti mereka. Tidak takut, tidak tunduk karena ua

han. "Aku takut, Domin

i ujung bibirnya - sesuatu yang jarang muncul dari waja

g menggantung di udara, tidak per

coba tidur," katanya pelan. "Terima k

satu hal: perempuan itu bukan lagi sekadar sosok yang mengusik pikirannya. Ia adalah titik bal

ng tak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia turun ke ruang makan dan mendapati meja panjang deng

katanya ta

bantu di dapur," ucapnya gugup. "Aku tidak terb

natapnya langsung. "Kau tidak

ap

lemah. Dan..." ia menatap perut Liana sesaat, lal

memucat, napasnya tersen

atanya tajam tapi penuh keyakinan. "Aku tahu sejak pertama kali melihatmu malam itu. A

duk, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Aku ba

bahunya. "Tak perlu takut. Aku

ntuh. Setelah bertahun-tahun hidup dalam ketakutan, ada seseorang

Revan, yang kehilangan sumber uang dan kendali, mulai mencium kabar bahwa

ama Liana Ardelia mulai muncul di laporan. Seorang perempuan biasa yang tiba-

adai yang sesungguhn

tapi juga hati Dominic, lelaki yang selama ini tak percaya

Buka APP dan Klaim Bonus Anda

Buka