Penderitaan yang Dipaksa Tersenyum
risi air sabun yang hampir tumpah. Tubuhnya belum pulih sepenuhnya dari luka-luka semalam, tapi suara bentakan ibu mertuanya menggema di k
au dari dalam rumah. "Kalau tidak suka di sini, pergi saja
ah kebal mendengar caci maki seperti itu. Satu-satunya yang membuatnya masih berdiri a
hapus dari ingatan. Bukan karena trauma, tapi karena malam itu juga memberi harapan aneh dalam dirinya. Sosok lelaki asing yang memandangnya buk
mimpi jauh. Ia terkurung dalam keh
n napasnya tercekat. Revan berdiri di ambang pintu dengan mata merah da
an sinis. "Sampah macam kau ini bahkan tid
Mas," jawab Liana pelan, su
Liana hingga air sabun muncrat ke segala arah. Ia mencengkera
"Kau pikir masih pantas jadi istriku se
a akan memperparah keadaan. Ia tahu, Revan tidak akan mendengarkan a
i," lirihnya akhirnya, de
ras mendara
ga gelas jatuh pecah. "Kau yang menggoda dia, ma
ingin menampar balik, ingin berteriak bahwa semua yang terjadi bukan keinginannya. Tapi lidahnya kelu. Ia han
gi ini ribut-ribut pagi-pagi? Sudah kubilang, perempuan ini pembawa
meninggalkan Liana tergeletak di lantai. Ib
ua! Dan nanti setelah selesai, masak untuk makan
ar, tapi ia tetap memaksa diri berdiri. Ia menyeka darah di sudut bi
lik meja kerjanya di markas besar Valente Group - kedok bisnis
foto laporan intelijen. Foto seorang perempuan d
elia," gum
ansaksi malam itu, Revan menghilang dari radar. Dominic menatap wajah Liana di foto itu lebih lama. Ada sesuatu di dalam dirinya yang bergolak setiap k
at kabar, perempuan itu masih di rumah suaminya. Tapi dijaga ke
atap tajam.
inic berdiri perlahan, menyesap rokoknya s
alam ini aku akan me
atap tak percaya
kira aku akan mempercayakan hidu
kut melapor, takut disalahkan lagi. Ia menatap ke luar jendela, ke arah halaman belakang yang becek oleh lumpur. Hujan mem
mi
napa, hanya mengingatnya saja membuat dada Liana terasa hangat. Mungkin karena untuk pertam
i ruang tamu. Ibu mertuanya mem
ruang tamu dengan kep
ingin dan tajam. Salah satunya berbicara sopan, tapi tegas. "Kami d
a? Dia bukan siapa-siapa! Perempua
. "Ada apa dengan Tuan Valente
gin memastikan keselamatan Anda. Kami
wajahnya keras. "Jangan coba-coba kabur, dasar tidak tah
ibu mertuanya tajam. "Saya sarankan Anda tidak menghalan
bicara lagi, tapi langkah kaki berat te
an mantel hitam basah oleh hujan. Tatapannya
tar, bukan karena takut, mel
nic dengan suara r
mua rasa sakit, luka, dan ketakutan bercampur menjadi satu
angkah, wajahnya pucat pas
rnah kau hina, dan sekarang datang untuk
tu dengan hangatnya kulit mereka. Liana ingin b
h dilihat siapa pun dari pria itu. "Mulai sekaran
ahu - hidupnya baru saja berubah lagi. Tapi kali ini, mungkin untuk pertama kalinya,
ang belum ia ucapkan - bahwa siapa pun yang tel
yang remuk. Liana duduk di kursi belakang dengan tangan yang bergetar halus di pangkuannya. Jari-jarinya saling menggen
ening itu menegangkan. Ia belum benar-benar memahami apa yang sedang terjadi. Yang ia tahu, lelaki ya
menangkap bayangan wajah Dominic di kaca, suaranya tertelan lagi. Ada sesuatu d
aian hitam membungkuk begitu Dominic turun dari mobil. Mereka membuka gerbang b
pu di sepanjang koridor memantulkan cahaya lembut ke seluruh halaman. Liana terpaku, tak pernah mem
ominic pelan sambi
Hangat, namun juga menyimpan aura kekuasaan yang sulit dijelaskan. Setiap langka
ari arah tangga. "Tuan Valente," sapanya sambi
Dia tinggal di sini mulai malam ini.
gan bingung. "T-tuan, maksud An
nmu di rumah itu lagi?" katanya tenang, namun suaranya cukup untuk membuat
dungan. Kata itu terasa asi
enghadap taman di belakang rumah. Ada ranjang empuk, lemari tinggi, bahkan meja rias dengan la
an bayangan wajahnya. Pikirannya campur aduk - antara ketakutan, rasa bers
uan tua tadi - yang belakangan ia tahu bernama Marina, kepa
ut. "Tuan menyuruh saya memastikan An
uk sopan. "Ter
n Valente mungkin terlihat dingin, tapi beliau t
penasaran, tapi Marina sudah menunduk sopan da
n yang diterangi cahaya lampu taman. Bayangan sosok pria berdiri di dekat air mancur - tegap, d
mi
gan hati-hati, menuruni tangga, dan melangkah keluar ke taman. Angin m
u mendengar langkahny
ana jujur. "Aku tidak terbias
n ke arah bangku taman. Ia duduk, memberi i
ara air mancur y
na akhirnya, pelan tapi te
ngi cahaya lembut dari taman. "Karena ak
nye
mengambil, menghancurkan, lalu melupakan. Tapi entah kenapa,
uan. "Aku... tidak mengerti. Aku bukan s
eda. Kau tidak melihatku seperti mereka. Tidak takut, tidak tunduk karena ua
han. "Aku takut, Domin
i ujung bibirnya - sesuatu yang jarang muncul dari waja
g menggantung di udara, tidak per
coba tidur," katanya pelan. "Terima k
satu hal: perempuan itu bukan lagi sekadar sosok yang mengusik pikirannya. Ia adalah titik bal
ng tak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia turun ke ruang makan dan mendapati meja panjang deng
katanya ta
bantu di dapur," ucapnya gugup. "Aku tidak terb
natapnya langsung. "Kau tidak
ap
lemah. Dan..." ia menatap perut Liana sesaat, lal
memucat, napasnya tersen
atanya tajam tapi penuh keyakinan. "Aku tahu sejak pertama kali melihatmu malam itu. A
duk, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Aku ba
bahunya. "Tak perlu takut. Aku
ntuh. Setelah bertahun-tahun hidup dalam ketakutan, ada seseorang
Revan, yang kehilangan sumber uang dan kendali, mulai mencium kabar bahwa
ama Liana Ardelia mulai muncul di laporan. Seorang perempuan biasa yang tiba-
adai yang sesungguhn
tapi juga hati Dominic, lelaki yang selama ini tak percaya