Penderitaan yang Dipaksa Tersenyum
bangun kekuatannya. Di rumah megah milik Dominic Valente, ketenangan menjadi sesuatu y
rambutnya yang terurai, membawa aroma bunga melati dari taman di bawah. Dari jauh, suara gemuruh mobil dan langkah kaki pa
h. Tapi hatinya - hatinya belum tahu harus ke mana berlabuh. Ia masih merasa asing, bahkan terhadap
pelan. "Masuklah,"
secangkir teh hangat. "Tuan memintaku
menatapnya he
e dokter, Nona. Untuk peme
tnya yang masih rata. Ada rasa aneh di sana - campuran takut dan harap. Ia belum s
bersama Dominic. Ia tidak tahu mana yang lebih membuatnya gugup: pemeriksaan kandungan pertamanya, atau kenyataan bahwa Domin
meski Liana sempat mencoba menolak dengan halus. Tapi tatapan pria itu cuk
pas. Suara lembut mesin ultrasonografi memenuhi ruanga
sedikit. "Itu detak jantungnya.
berdetak cepat - tanda kehidupan yang tumbuh di dalam dirinya. Sebuah kehidupan
selama ini keras seperti batu, tampak berubah. Ada sesuatu yang lembut di sana,
tanya pelan. "
ka bertemu, dan untuk sesaat, dunia
ngsung masuk ke ruang kerjanya. Di sana, beberapa pr
ereka berbicara pelan, "k
epalanya, sorot mata
oba menjual informasi tentang
ak. Urat di rahangnya
n. Tapi kami yakin Revan tah
hu apa arti kabar itu: bahaya. Revan mungkin tidak punya kekuatan sebesar dirinya, tapi
pat," perintahnya. "Dan jang
ngin kami menyingki
u ingin dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa perempuan y
a dengan wajah muram. Botol minuman keras setengah koso
h satu anak buahnya yang tampak ragu untuk menanggapi. "Perempuan itu... yang se
erempuan, Bo
jualnya karena aku tidak punya pilihan, tapi dia malah bertemu dengan orang yan
itu hingga pecah. "Kita akan ambil kembali ap
a bulan menerpa wajahnya yang lembut. Dalam diam, ia berbicara pada bay
ia tidak seperti yang mereka katakan. Aku tidak tahu apakah aku pantas berha
c datang tanpa suara, membawa mantel di tangannya.
senyum kecil. "Aku
au tetap hangat,"
c berdiri di sampingnya, menatap bulan. "Aku
gan
an pe
ak perlu memaksakan diri.
"Tapi aku ingin
Pria yang dulu dikenal dunia bawah sebagai pembunuh tanpa hat
han. Seperti letusan kecil. Dominic langsung berubah. Dalam sekejap,
ntel dan berdiri di depan Lian
rkejut.
nya tegas, hampir sep
ghantam pilar batu di samping mereka. Dominic menarik tubuh Liana
ahutan di kejauhan. Dominic menatap ke arah paga
gumamny
na berdiri. "Ka
tubuhnya masih gemetar
lai sekarang, kau tidak akan keluar rumah tanpa penga
. "Sampai kapan aku har
sih mencoba meng
terasa seperti benteng. Ia tahu, apa pun yang terjadi, Domini
m ini hanyalah awal. Musuhnya sudah tahu kelema
ia yang tak pernah takut pada siapa pun - mulai merasakan s
terpencil, dikelilingi pagar kawat tua yang sudah berkarat. Di dalamnya, Liana duduk di kursi reyot, memegangi perutnya yang mulai membesar. Lima bulan sudah berlalu sejak ia terakhir m
tua bernama Sinta, mantan perawat yang dahulu bekerja di rumah sakit milik ayah Dominic. Dialah y
erahkan segelas susu hangat. "Kau tak boleh ter
hu apa yang harus kupikirkan, Bu Sinta. A
ak ada yang tahu keberadaanmu. Lagipula, dunia bawah seda
atunya orang yang bisa disebut begitu hanyalah Dominic. Lelaki yang meninggalkan jejak
enyebut nama itu saja sudah mengundang b
gar kabar dari orang-orang yang masih punya hubungan dengan dunia itu. Tapi k
la kecil yang menembus hutan di luar sana
ra motor tua mendekat, membuat dada Liana menegang. Sinta sege
berat. Suara langkah pria terdengar
an sekantong roti. "Aku dapat kabar buruk," katanya langsung, menatap Liana. "Mereka mulai mencari perempuan bernama Li
ku. "Kelomp
kan seperti dulu. Ia menghancurkan beberapa markas, m
far pelan. "Ast
sesuatu. Dan sekarang, siapa pun yang m
eh antara harapan dan panik. Dominic masih hidup. Lelaki yang menanam janji dalam rahim
gedung tua bekas markas Revan. Matanya dingin, namun
a anak buahnya, Silas, pria berambut abu yang setia padanya sejak be
ua rumah sakit dan panti, Tuan. Tapi nam
inilah ia kehilangan semuanya - termasuk perempuan yang mengubah caranya melihat dunia. "Revan,"
is yang ia temukan di reruntuhan kamar tempat Liana di
pelan, seolah bersumpah
h di luar jendela. Sinta masih tertidur di kursinya, dan Yuda belum
akan mantel gelap. Wajahnya tidak terlihat jelas, ta
in malam langsung menggigit kulitnya, dingin dan ta
aunan basah. Tapi kemudian - sebuah suara be
ia
alir. Ia mengenali suara itu.
lik bayangan pohon, muncullah sosok yang selama
dan letih, tapi matanya masih sama - tatapan
ukan aku?" bisiknya pel
puan di hadapannya benar-benar nyata. "Aku tidak berhenti mencar
ah - entah oleh air mata atau air hujan. "Kau terlambat," ujarnya
k. Aku datang untuk memperbaiki semu
eheningan malam. Peluru menembus batang pohon di dekat mereka
dan menatap pani
sa jendela, melihat dua mobil hitam berhenti d
tongkatnya. "Pergilah, Nak.
ta tua itu dengan air mata. "
. "Yang kau bawa bukan hanya hidupmu, tapi ma
n deras, jalan setapak berubah lumpur. Suara teriakan d
ominic melindungi dari belakang. Setiap kali kilat menyamb
i situ. Dominic menyalakan mesin, dan mobil itu melesat menembus h
merah yang memantul di matanya. "Bu Sint
Dia menyelamatkanmu, Liana. Ja
a suara mesi
a lama sekali. "Kau harus tahu sesuatu," katanya akhirnya. "Aku tidak datang hanya untuk menjemput
afasnya tercekat
reka pikir anak kita akan jad
dengan mata bas
m kecil - samar dan lelah. "Ya. Aku tah
tengah sunyi, Liana memeluk perutnya, sementara Dominic me
siapa pun yang mencoba merebut Liana atau
akaian hitam memegang kamera kecil, merek
p. Dan ia baru saja m