Delapan tahun menanti buah hati lewat siksaan IVF, akhirnya garis dua itu muncul. Berniat memberi kejutan, aku justru memergoki suamiku, Aditya, sedang tertawa bahagia memilih baju bayi bersama wanita lain yang perutnya membuncit. Saat aku menuntut penjelasan, wanita itu berpura-pura kesakitan. Tanpa ragu, Aditya mendorongku hingga tersungkur demi melindungi wanita itu. "Jangan sentuh Nasywa! Dia sedang mengandung anakku!" bentaknya, lalu pergi meninggalkanku yang kesakitan di lantai mal yang dingin. Hari itu, sementara dia menyambut kelahiran anak dari selingkuhannya dengan sukacita, aku terbaring dingin di ruang operasi. Aku harus merelakan janin yang paling kunanti untuk pergi selamanya, karena hatiku sudah lebih dulu mati. Lima tahun berlalu, aku kembali sebagai wanita sukses yang berdiri tegak di atas panggung. Aditya, yang kini hidup berantakan, kurus, dan penuh penyesalan, datang mengemis di kakiku meminta kesempatan kedua. Aku hanya tersenyum tipis, menatap matanya yang sembab, lalu berkata dengan dingin: "Anda siapa? Amelia yang mencintaimu sudah mati lima tahun lalu."
Delapan tahun menanti buah hati lewat siksaan IVF, akhirnya garis dua itu muncul.
Berniat memberi kejutan, aku justru memergoki suamiku, Aditya, sedang tertawa bahagia memilih baju bayi bersama wanita lain yang perutnya membuncit.
Saat aku menuntut penjelasan, wanita itu berpura-pura kesakitan.
Tanpa ragu, Aditya mendorongku hingga tersungkur demi melindungi wanita itu.
"Jangan sentuh Nasywa! Dia sedang mengandung anakku!" bentaknya, lalu pergi meninggalkanku yang kesakitan di lantai mal yang dingin.
Hari itu, sementara dia menyambut kelahiran anak dari selingkuhannya dengan sukacita, aku terbaring dingin di ruang operasi.
Aku harus merelakan janin yang paling kunanti untuk pergi selamanya, karena hatiku sudah lebih dulu mati.
Lima tahun berlalu, aku kembali sebagai wanita sukses yang berdiri tegak di atas panggung.
Aditya, yang kini hidup berantakan, kurus, dan penuh penyesalan, datang mengemis di kakiku meminta kesempatan kedua.
Aku hanya tersenyum tipis, menatap matanya yang sembab, lalu berkata dengan dingin:
"Anda siapa? Amelia yang mencintaimu sudah mati lima tahun lalu."
Bab 1
AMELIA POV:
Aku melihat Aditya, suamiku, tertawa lepas bersama wanita lain. Wanita itu memegang perut buncitnya, dan Aditya dengan lembut memilih-milih perlengkapan bayi bersamanya. Dunia yang baru saja kuisi dengan kebahagiaan kehamilan yang telah lama kunanti, hancur berkeping-keping di lantai mal yang ramai ini.
Jantungku terasa diremas kuat. Napas tercekat di tenggorokan. Ini tidak nyata.
Baru semalam, Aditya memelukku erat. Dia mencium keningku, berbisik bahwa aku adalah separuh jiwanya. Dia bilang dia bersemangat untuk ulang tahun pernikahan kami besok.
Dia bahkan memijat kakiku yang pegal setelah seharian menjalani pemeriksaan terakhir di klinik IVF. Dia begitu manis, begitu perhatian.
Tapi sekarang, di depan mataku, dia membelai rambut wanita itu. Menggenggam tangannya dengan posesif. Dia membungkuk, berbisik sesuatu ke telinga wanita itu, dan wanita itu tersipu. Mereka seperti pasangan yang paling bahagia di dunia, berbelanja untuk buah hati mereka.
Perutku terasa mual. Kebahagiaanku tadi pagi, saat melihat hasil USG yang menunjukkan titik kecil harapan di dalam diriku, seolah menguap begitu saja. Digantikan oleh kehampaan yang dingin.
Aditya mengangkat kepalanya. Matanya menatap tepat ke arahku. Senyum di wajahnya seketika beku. Tubuhnya menegang.
Wanita di sampingnya ikut menoleh. Matanya membulat, ketakutan yang jelas tercetak di wajahnya. Dia mencengkeram lengan Aditya erat-erat, seolah mencari perlindungan.
Aditya menarik napas dalam. Dia menuntun wanita itu ke kursi terdekat.
"Duduklah, Nasywa. Kau butuh istirahat," suaranya terdengar kaku, berusaha tenang.
Dia lalu berjalan ke arahku. Langkahnya berat. Matanya menghindari tatapanku.
"Amelia? Ada apa? Kenapa kau di sini?" tanyanya, suaranya mencoba terdengar normal. Bohong. Semua itu bohong.
Aku menggelengkan kepala. Aku mundur selangkah saat dia mencoba meraih tanganku. Sentuhannya terasa menjijikkan.
Tidak, tidak mungkin.
Aku berharap dia akan membantah. Berharap dia akan mengatakan ini semua salah paham, bahwa wanita itu hanya klien atau kolega. Bahwa perutnya yang membuncit itu hanya ilusi. Atau mungkin, ini semua hanya mimpi burukku.
Air mataku sudah menggenang. Aku menahan diri untuk tidak membiarkannya jatuh. Suaraku bergetar saat aku mencoba berbicara.
"Dia... dia siapa?" Aku menunjuk Nasywa dengan jari gemetar.
Aditya menghela napas. Dia mendekatiku lagi, mencoba memelukku.
"Kita bisa bicarakan ini di rumah, sayang."
Aku meronta. "Jangan sentuh aku! Katakan sekarang!"
Kepalaku terasa akan pecah. Badanku lemas. Hatiku hancur berkeping-keping.
Aku menatapnya tanpa suara. Menuntut jawaban.
Aditya menunduk. Dia menghindari mataku. "Anak itu... anakku, Amelia."
Dunia berputar. Kakiku lemas, hampir tidak bisa menopang tubuhku. Rasanya seperti ada tangan tak terlihat yang mencekikku.
Aditya mencoba memegangiku. Wajahnya penuh penyesalan.
"Mel, aku minta maaf. Aku..."
"Jangan sentuh aku, Aditya!" Aku menepis tangannya, jijik. "Bagaimana bisa? Bagaimana kau bisa... masih berpura-pura mencintaiku?"
Orang-orang di sekitar kami mulai memperhatikan. Bisikan-bisikan terdengar. Aku tidak peduli.
Tiba-tiba, Nasywa berlari ke arah Aditya. Dia memeluk lengannya posesif.
"Mas, jangan sakiti dia! Dia tidak tahu apa-apa!" Nasywa menatapku dengan mata berkaca-kaca, seolah aku adalah penjahatnya.
Aditya refleks membalas pelukan Nasywa. Melindunginya.
Aku merasa seperti orang bodoh. Aku yang disakiti, tapi aku yang terlihat jahat.
"Tutup mulutmu, jalang!" Aku berteriak, amarah membakar seluruh tubuhku. "Kau merebut suamiku! Kau penghancur rumah tangga!"
Nasywa terkejut. Tubuhnya bergetar. Dia semakin meringkuk di pelukan Aditya.
"Amelia, cukup!" Aditya membentakku.
Dia mendorongku dengan kasar. Aku kehilangan keseimbangan.
Aku jatuh ke lantai yang dingin. Tanganku refleks melindungi perutku. Rasa sakit menjalar dari telapak tanganku yang tergores lantai, tapi rasa sakit di hatiku jauh lebih dalam.
Aditya melihatku jatuh. Ada keterkejutan dan penyesalan di matanya. Dia mencoba mendekatiku, terlihat ingin membantuku.
Namun, Nasywa tiba-tiba mengerang kesakitan. Dia memegang perutnya.
"Mas... perutku sakit..."
Aditya segera melupakan aku. Dia mengangkat Nasywa dalam pelukannya dan bergegas pergi.
Sebelum dia menghilang di balik keramaian, dia menoleh padaku. Matanya penuh rasa bersalah.
"Aku akan jelaskan nanti, Mel."
Dan dia pergi. Meninggalkanku sendirian, tergeletak di lantai.
Aku memegang perutku. Hidungku perih, dan air mata akhirnya tumpah ruah. Tidak ada lagi harapan. Tidak ada lagi kami.
Semuanya berakhir.
Buku lain oleh Gavin
Selebihnya