Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Balas Dendam seorang ibu

Balas Dendam seorang ibu

Mangpurna

5.0
Komentar
107
Penayangan
36
Bab

Maya adalah seorang ibu yang telah kehilangan segalanya. Ketika anak gadisnya tewas mengenaskan di tangan seorang anak pejabat yang kebal hukum, Maya tahu keadilan tak akan pernah datang dari pengadilan. Didorong oleh rasa sakit yang tak terlukiskan dan ketidakpercayaan pada sistem hukum yang korup, Maya memutuskan untuk mengambil alih keadilan dengan tangannya sendiri. Dengan rencana yang matang dan keberanian yang tak tergoyahkan, Maya memasuki dunia gelap yang penuh bahaya. Namun, seberapa jauh seorang ibu akan melangkah untuk menuntut balas? Dan apakah pembalasan dendamnya akan membawanya pada keadilan, atau justru menghancurkan sisa-sisa hidupnya?

Bab 1 Titik Balas dendam

Suara rintihan yang tersendat-sendat memenuhi ruangan sempit yang dipenuhi bau besi dan darah. Pemuda itu tergeletak di lantai, tubuhnya berlumuran darah dan memar. Setiap gerakan kecil membuatnya mengerang kesakitan. Ia menggeliat, mencoba menghindari bayangan yang semakin mendekat, tetapi sia-sia.

"Aku mohon... cukup... jangan pukul aku lagi...sakit....," suaranya serak, nyaris tenggelam dalam deru napas yang terengah-engah.

Wanita itu berdiri di atasnya, matanya tajam menatap dengan kebencian yang tak bertepi. Tangannya menggenggam erat sebatang tongkat besi yang berkilauan oleh darah, jari-jarinya memutih karena tekanan yang begitu kuat. Bibirnya yang dulu lembut kini tertarik ke bawah, menunjukkan ekspresi yang dingin dan penuh dendam.

"Kenapa? Tak kuat menahan sakitnya?" suaranya rendah, hampir berbisik, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya membawa berat ribuan ton kemarahan. "Dulu... saat anakku memohon... apakah kalian berhenti?"

Pemuda itu terisak, air matanya bercampur dengan darah yang mengalir dari pelipisnya. "Aku... aku minta maaf... Kumohon, aku menyesal..."

Wanita itu mendekat, hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. "Maaf? Kau pikir maafmu bisa menghapus apa yang telah kalian lakukan pada ankku? Bisa menghapus penderitaannya? Bisa membangkitkan anakku yang sudah mati?"

Pemuda itu menunduk, tubuhnya bergetar. "Aku... aku tidak tahu... aku hanya ikut ikutan... Aku hanya... aku hanya mengikuti yang lain..."

"Ah, begitu," wanita itu mengangguk, nadanya sarkastik. "Jadi Kau hanya mengikuti teman teman mu yang lain, ya? Seperti robot, yang tanpa perasaan, tanpa pikiran... Yang hanya bisa menikmati saat dia berteriak, saat dia memohon... Seperti kau sekarang ini."

"Ahk...sakit.....Tidak... tidak... kumohon... hentikan..jangan pukul aku lagi.," suara pemuda itu berubah menjadi jeritan putus asa ketika wanita itu mengangkat tongkat besi di tangannya.

Dia tidak langsung memukul. Wanita itu menatap pemuda itu dengan mata yang tajam, seolah mencari sesuatu-penyesalan, ketakutan, atau mungkin sekadar pengakuan. Tapi yang ia lihat hanyalah ketakutan. Tak ada penyesalan yang tulus, hanya keinginan untuk tetap hidup.

"Mengapa dulu kau tidak berhenti, saat melihat dia tidak berdaya?" wanita itu bertanya lagi, suaranya lebih pelan, hampir melankolis. "Mengapa kau tidak bisa merasakan ketakutan yang sama yang kau rasakan sekarang? Kenapa kau tidak bisa merasakan sakitnya, deritanya?"

Pemuda itu terdiam, tak ada kata yang bisa keluar dari mulutnya selain isakan yang semakin keras.

Wanita itu tersenyum tipis, sebuah senyuman yang tak menunjukkan kebahagiaan. "Kau tak bisa menjawabnya, bukan?"

Dia mengangkat tongkat itu lebih tinggi, matanya berkedip sejenak, seakan bayangan wajah anak gadisnya yang penuh luka kembali menghantui pikirannya. "Anakku tidak bisa membalas. Tapi kau... kau akan merasakan semua yang telah dia rasakan... setiap detik penderitaannya yang kalian berikan padanya."

Pemuda itu menjerit, mencoba melindungi dirinya dengan kedua tangannya yang lemah, tetapi wanita itu tak peduli. Dengan kekuatan yang berasal dari seluruh kebencian dan sakit hati yang telah menumpuk selama ini, ia menghantamkan tongkat besi itu ke kepala pemuda tersebut.

Dentuman keras terdengar, dan tubuh pemuda itu terkulai ke lantai, tak bergerak. Ruangan itu sepi, hanya suara napas wanita itu yang terdengar, berat dan tersengal.

Wanita itu memandang tubuh tak bernyawa di depannya. Napasnya pelan-pelan mulai tenang, tapi hatinya tidak. Tidak ada perasaan puas, tidak ada kelegaan yang diharapkan, hanya kekosongan yang lebih besar dari sebelumnya. Dengan langkah lelah, dia berjalan keluar dari ruangan itu, meninggalkan tubuh yang sudah tidak bernyawa di belakangnya.

Angin malam menerpa wajahnya ketika dia keluar dari bangunan tua itu. Matanya menatap kosong ke depan, seakan mencari sesuatu yang tidak pernah bisa dia temukan. Keadilan? Kepuasan? Atau mungkin hanya ketenangan yang telah lama hilang sejak hari itu.

Dia memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan-bayangan itu, tetapi wajah anak gadisnya terus menghantui, dengan air mata yang mengalir, memohon... memohon pada ibunya yang kini tak bisa melakukan apa pun selain mengambil nyawa lain dalam upaya putus asa untuk merasakan sedikit keadilan. Tapi apa yang dia rasakan kini hanyalah kehampaan.

Dia sadar, tak ada yang bisa mengembalikan anaknya, tak ada yang bisa menyembuhkan luka di hatinya. Satu-satunya yang tersisa adalah bayangan-bayangan itu, dan malam yang semakin dingin, yang seakan menertawakan kesia-siaan tindakannya.

Namun, jauh di dalam hati, dia tahu bahwa keputusannya tidak bisa diubah. Keadilan telah diambil dengan caranya sendiri, meski harga yang harus dia bayar jauh lebih besar daripada yang pernah dia bayangkan.

Angin malam yang dingin menusuk tulang, merayap melalui celah-celah kecil di antara bangunan tua yang kini menjadi saksi bisu atas apa yang baru saja terjadi. Maya melangkah keluar, wajahnya keras tanpa ekspresi. Napasnya berat, seolah-olah beban di dalam dadanya semakin berat setiap kali ia menarik napas. Darah di tangannya masih hangat, menempel seperti pengingat yang tak mungkin dihapus.

Di luar, kegelapan menyelimuti dunia, tapi tidak ada yang bisa menyelubungi rasa kosong yang semakin menggerogoti hatinya. Setiap langkah Maya terasa berat, seakan bayangan dosa mengikuti setiap gerakannya.

"Berhenti."

Suara itu menghentikan langkah Maya. Tubuhnya menegang, dan dia tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang memanggilnya. Ia berdiri di tempat, membiarkan angin malam mengibarkan ujung jaketnya, tapi tak sedikit pun menunjukkan bahwa ia akan mematuhi panggilan itu.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Mangpurna

Selebihnya

Buku serupa

Cinta yang Tersulut Kembali

Cinta yang Tersulut Kembali

Romantis

4.9

Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku
Balas Dendam seorang ibu
1

Bab 1 Titik Balas dendam

07/09/2024

2

Bab 2 Kehidupan yang Hancur

07/09/2024

3

Bab 3 Tekad Balas Dendam

07/09/2024

4

Bab 4 Pesan Ancaman

07/09/2024

5

Bab 5 Mengawasi Tony

07/09/2024

6

Bab 6 Balasan Untuk Tony

07/09/2024

7

Bab 7 Penderitaan Tony

07/09/2024

8

Bab 8 Kecemasan Yang menghantui

07/09/2024

9

Bab 9 Cerita Masa Lalu

07/09/2024

10

Bab 10 Daniel si Arogan

07/09/2024

11

Bab 11 Awal musibah

07/09/2024

12

Bab 12 Rencana awal

07/09/2024

13

Bab 13 malam penuh teror

11/09/2024

14

Bab 14 Kepedihan yang membakar

11/09/2024

15

Bab 15 Dendam yang membara

11/09/2024

16

Bab 16 Jalan menuju keadilan

11/09/2024

17

Bab 17 darah dan dendam di tengah kegelapan

11/09/2024

18

Bab 18 Di ujung malam , diambang kehancuran

11/09/2024

19

Bab 19 Dibawah bayang duka

11/09/2024

20

Bab 20 Air mata dan dendam

11/09/2024

21

Bab 21 Kenyataan yang pahit

28/09/2024

22

Bab 22 Dosa di balik persahabatan

01/10/2024

23

Bab 23 Pesan Terakhir Randy

02/10/2024

24

Bab 24 Amarah yang tak terucap

03/10/2024

25

Bab 25 Dibawah tekanan Dendam

05/10/2024

26

Bab 26 Langkah menuju pembalasan

05/10/2024

27

Bab 27 Diary

07/10/2024

28

Bab 28 Akhir Sebuah Keputusan

08/10/2024

29

Bab 29 Terjebak dalam bayang bayang dendam

11/10/2024

30

Bab 30 Ketakutan dalam Cengkeraman Nafsu

13/10/2024

31

Bab 31 Teriakan Sunyi dalam Jerat Nafsu

14/10/2024

32

Bab 32 malam yang mencekam

15/10/2024

33

Bab 33 bayang bayang kehancuran

17/10/2024

34

Bab 34 Usaha melarikan diri

22/10/2024

35

Bab 35 Tamparan Terakhir

26/10/2024

36

Bab 36 Liana meninggal

30/10/2024