Balas Dendam seorang ibu
a wanita ini telah berada di ambang batas-batas antara kemanusiaan dan kebrutalan. Setiap kata y
tidak akan menghalangimu lagi, Maya. Jika kau membutuhkan bantuanku, kau tah
kasih yang tersisa dalam dirinya, hanya sebuah pemahaman bahwa meskipun dunia mungkin ti
uaranya datar. "Aku akan mengingat t
i di tempatnya, merasakan beratnya keputusan yang baru saja dia ambil. Dia tahu bahwa Maya tidak akan kembali m
ampu-apartemennya redup, memberi nuansa muram yang sejalan dengan suasana hati Maya. Dia membuka kunci pint
menekan, seperti bayangan masa lalu yang selalu mengikutinya, tak pernah melepaskan. Pintu kamar mandi terbuka perlahan, dan begitu dia memasuki
arah yang mengering di pipi dan lehernya mengingatkannya pada apa yang baru saja ia lakukan. Namun, yang lebih mengerikan dari noda darah itu ad
aburkan cermin di depannya, tetapi Maya tak peduli. Dia mulai melepas pakaiannya, satu per satu, melemparkan setiap helai dengan keget
sepanjang tubuhnya, tetapi bukannya memberikan kenyamanan, air itu hanya terasa seperti aliran air mata yang tak bisa ia tangisiknya dengan suara bergetar, seakan-akan dia berbicara kepada rasa sakit yang membebani hatinya. Namun, tak
mengotori jiwanya yang telah lama terkoyak. "Aku seharusnya tidak menjadi seperti ini," kata Maya dengan sua
kan senyumnya yang cerah dan tawa riangnya yang kini hanya tinggal kenangan. Maya teringat hari-hari bahagia yang dulu mereka habiskan bersama, sa
pada dirinya sendiri, suaranya penuh keputusasaan. "Kenapa
ng lelah bergetar di bawah pan
luka yang telah mereka ciptakan. "Aku tidak bisa memaafkan mereka," bisik Maya, suaranya tenggelam dalam isak tangis
yang kini berubah menjadi merah, seolah-olah darah yang baru saja ia tumpahkan kembali membanjiri tubuhnya. Tapi tidak a
g yang dia sendiri tidak kenali. Tapi apa lagi yang bisa dia lakukan? Mereka yang telah mengamb
tenggelam di antara suara pancuran yang ber
hnya yang basah tanpa niat untuk mengeringkannya. Dia berjalan ke depan cermin yang kini pe
ya memantulkan kehampaan yang gelap dan tak berujung. "Aku akan membalasmu, Nak," bisiknya kepada bayangan putrinya yan
Maya bayangkan dalam mimpinya. Senyum itu menghilang saat Maya menu
a seperti pertempuran melawan dirinya sendiri, melawan amarah dan rasa sakit yang tak tertahankan. Maya meraih ponsel yang
yang samar namun mengerikan di bibirnya. "Aku akan pastikan kau merasak