Balas Dendam seorang ibu
a itu tergeletak di lantai, tubuhnya berlumuran darah dan memar. Setiap gerakan kecil membuatnya men
.," suaranya serak, nyaris tenggelam
gam erat sebatang tongkat besi yang berkilauan oleh darah, jari-jarinya memutih karena tekanan yang begitu
, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya membawa berat ribuan
ah yang mengalir dari pelipisnya. "Aku... aku minta
"Maaf? Kau pikir maafmu bisa menghapus apa yang telah kau lakukan? Bi
aku tidak tahu... aku tidak berpikir sejauh itu.
ngikuti, ya? Seperti robot, tanpa perasaan, tanpa pikiran... Hanya me
pemuda itu berubah menjadi jeritan putus asa ketik
mencari sesuatu-penyesalan, ketakutan, atau mungkin sekadar pengakuan. Tapi yang ia lih
lan, hampir melankolis. "Mengapa kau tidak bisa merasakan ketakutan yang sama
yang bisa keluar dari mulutnya
kkan kebahagiaan. "Kau tak bisa menjawab, bukan? Karena tida
anak gadisnya yang penuh luka kembali menghantui pikirannya. "Anakku tak punya pilihan. T
wanita itu tak peduli. Dengan kekuatan yang berasal dari seluruh kebencian dan sakit hati
i ke lantai, tak bergerak. Ruangan itu sepi, hanya sua
ada perasaan puas, tidak ada kelegaan yang diharapkan, hanya kekosongan yang lebih besar dari sebelumnya. Dengan
ap kosong ke depan, seakan mencari sesuatu yang tidak pernah bisa dia temukan. Kead
air mata yang mengalir, memohon... memohon pada ibunya yang kini tak bisa melakukan apa pun selain mengambil nyaw
hkan luka di hatinya. Satu-satunya yang tersisa adalah bayangan-bayangan itu,
ubah. Keadilan telah diambil dengan caranya sendiri, meski harga yan
apa yang baru saja terjadi. Maya melangkah keluar, wajahnya keras tanpa ekspresi. Napasnya berat, seolah-olah beban di dalam dadany
lubungi rasa kosong yang semakin menggerogoti hatinya. Setiap langka
rhe
tahu siapa yang memanggilnya. Ia berdiri di tempat, membiarkan angin malam mengibarkan