/0/24661/coverorgin.jpg?v=629f8f88baba399a125ab8ef389ce989&imageMogr2/format/webp)
“Pak, turunin saya di sini aja. Ini ongkosnya, Pak!” ujar wanita muda beriris cokelat itu pada sang sopir, sambil menyerahkan selembar uang kertas biru sesuai argo, setelah taksi berwarna biru langit dengan lambang burung biru itu pun berhenti di lobi masuk Shinning Hotel.
Setelah menarik dan membuang napas sejenak, wanita muda itu turun. Ia tampak anggun dengan Tunik Asimetris berwarna putih dengan corak mawar maroon kecil yang senada dengan warna jahitan pakaiannya yang mengerucut di bagian bawah. Sneakers dan tas kecil di tangannya juga dipadukan warna seperti pakaiannya hari ini—putih.
Rambut lurusnya yang terurai bebas ditambah dengan riasan simple khas anak muda di wajahnya yang cantik, membuat siapa saja yang memandangnya bak melihat setangkai mawar putih dengan sedikit corak maroon, sederhana tapi selalu anggun.
“Kamu Annisa? Ya, ampun… Kamu datang juga? Akhirnya…” ucap heran seorang wanita muda seumurannya saat melihat sosoknya ada di sana juga.
Annisa Lesmana, wanita muda berusia 24 tahun itu mengangguk sambil tersenyum sebelum menjawab dan bertanya balik, “Hmm, aku datang. Pak Rangkuti udah di dalam?”
“Belum. Kami juga lagi nungguin Pak Rangkuti sama anak-anak lain. Kamu masuk aja dulu ke dalam. Pasti semuanya kaget lihat kamu datang, Nis!”
Annisa menangguk lagi, “Ya udah, aku masuk dulu,”
Hari ini adalah reuni SMA Tunas Murni yang ke-18. Kali ini sekolah terkenal di kota Bandung itu mengadakannya di Shinning Hotel dan Annisa yang merupakan alumni sekolah itu turut datang.
Setelah tujuh tahun menamatkan sekolah menengah atasnya itu, baru kali ini Annisa mengikuti acara reuni. Tapi kehadirannya hari ini pun disebabkan karena sang guru kesayangan—Pak Rangkuti memanggilnya secara langsung karena ia akan berpamitan untuk menetap di Brunai Darussalam bersama anak dan menantunya.
Adapun alasan Annisa enggan menghadiri acara tahunan sekolahnya itu karena terdapat luka menganga yang bahkan belum bisa tertutup selama tujuh tahun terakhir. Annisa berharap orang itu tidak ada di sana.
Aula tempat reuni dibuka olehnya dan pemandangan keramaian teman seangkatannya langsung membuat Annisa canggung karena setiap mata tertuju padanya.
“Apa kabar semuanya?” sapanya dengan ramah.
“Annisa? Kamu datang juga? Sini-sini!”
“Kode alam, nih! Gue harus pasang nomer!”
“Gila! Si Annisa masih cantik kayak dulu aja. Resepnya apaan sih itu anak?”
Mendengar banyak tanggapan dari setiap pemilik mata yang heran memandangnya, Annisa hanya bisa memberikan senyuman. Karena memang sejak sekolah dulu, dia hanya akrab dengan beberapa orang saja.
“Hai, Nis. Akhirnya kamu datang juga. Udah lama banget nggak ketemu kamu. Kamu apa kabar?” sapa seorang pria muda yang dulunya merupakan ketua kelas di kelas Annisa—Azmi.
“Kabarnya baik, Mi. Makanya aku di sini,” jawabnya sambil mengalihkan pandangannya ke sekeliling, “Pak Rangkuti belum datang, ya?”
“Barusan aja Pak Rangkuti telepon aku. Bentar lagi sampai sini. Dia kena macet di lampu merah ujung jalan sebelum hotel. Ya udah, cari tempat duduk, gih!”
Annisa mengangguk setuju dan mencari tempat yang agak sepi untuk duduk. Meskipun ini adalah acara reuni seangkatannya, tapi Annisa memang tidak terlalu akrab, itu hanya sebatas menyapa dan mengenal.
‘Semuanya berubah banget, ya? Makin cantik, makin bergaya. Udah pasti mereka jadi orang sukses,’ gumamnya dalam hati sambil melengkungkan senyuman miris.
Gumamannya bukan tanpa arti saat melihat para teman sejawatnya. Itu karena SMA Tunas Murni merupakan sekolah elite di kota Bandung, dan rata-rata anak yang bersekolah di sana merupakan anak orang berada. Sudah dipastikan masa depan mereka yang tamat dari sana terjamin sukses.
Tapi Annisa tidak menyadari satu hal. Setiap mata para seangkatannya itu juga memiliki pandangan yang sama pada Annisa, kalau siswi teladan yang dikenal jenius itu juga semakin berkilau sekalipun ia melepaskan kesempatan emas yang diberikan sekolah sebagai imbalan prestasinya.
Dulu, Annisa ditawari untuk masuk ke Universitas bergengsi di ibukota tanpa biaya sepeserpun hingga tamat asalkan nilainya tetap di atas. Tapi Annisa menolak dan malah melanjutkan study di sekolah perawat.
Jika para temannya kini sudah menjadi kepala kantor, manajer, ataupun jabatan tinggi lainnya di kota besar mereka, tapi Annisa hanya menjadi perawat magang di sebuah rumah sakit swasta di kota Bandung—RSUS Grand Healthy.
/0/12562/coverorgin.jpg?v=c0ade4e0c940d63800efbd08c63b4f1f&imageMogr2/format/webp)
/0/13864/coverorgin.jpg?v=20250123145651&imageMogr2/format/webp)
/0/4746/coverorgin.jpg?v=20250121182628&imageMogr2/format/webp)
/0/20413/coverorgin.jpg?v=ec86fab74cc2046f1ea680264dba5204&imageMogr2/format/webp)
/0/12242/coverorgin.jpg?v=3f4c35df759a421233796731ef9d1aa0&imageMogr2/format/webp)
/0/20827/coverorgin.jpg?v=67184a920f3da893e7b1ca5a96b30d48&imageMogr2/format/webp)
/0/27411/coverorgin.jpg?v=5fc7b6e8bd1b022fe188a86f0dc6fc5b&imageMogr2/format/webp)
/0/20199/coverorgin.jpg?v=e0c0b20a45916a73035c20ed8e50f00b&imageMogr2/format/webp)
/0/12751/coverorgin.jpg?v=3d559870144183f4c2c82f394714df9f&imageMogr2/format/webp)
/0/14846/coverorgin.jpg?v=cbac79be890416caac333268017476ca&imageMogr2/format/webp)
/0/14522/coverorgin.jpg?v=02d11d14dbe1cf8041fa5b4bd4cc1800&imageMogr2/format/webp)
/0/21447/coverorgin.jpg?v=2bae48a320ec295bdd25136279d814da&imageMogr2/format/webp)
/0/29109/coverorgin.jpg?v=7f95516994c52b9f66f4b0e3a35af050&imageMogr2/format/webp)
/0/16861/coverorgin.jpg?v=1d79d5c8d1067177e47366859cdb07d3&imageMogr2/format/webp)
/0/17406/coverorgin.jpg?v=ecdbd3b33f2e6747d9b6e81e9516ae3a&imageMogr2/format/webp)
/0/9032/coverorgin.jpg?v=af82c028e05a3d631f95c27baef6fff6&imageMogr2/format/webp)
/0/7407/coverorgin.jpg?v=811d87897bffc09e9a8d754c592829bc&imageMogr2/format/webp)
/0/15215/coverorgin.jpg?v=95cee41582b2ffdb0bb53d61caad3028&imageMogr2/format/webp)
/0/13623/coverorgin.jpg?v=b85cba39a81600da485cd752537e7bd1&imageMogr2/format/webp)