Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Mantan Suamiku

Mantan Suamiku

Miarosa

5.0
Komentar
1.8K
Penayangan
15
Bab

Tidak ada yang lebih sulit dari pada jatuh cinta kepada orang yang pernah bersumpah di hadapan Tuhan akan saling mencintai selamanya, tapi Aurora harus menjalani kenyataan pahit. Dia yang disebut sebagai 'mantan suami' menceraikannya dua tahun lalu dan sekarang mereka kembali bertemu.  'Mantan suami' memiliki rencana lain untuk Aurora. Ya, dia ingin kembali memiliki wanita itu seutuhnya dengan berbagai cara licik agar bisa menaklukan hati sang Kekasih. "Aku mencintaimu, Aurora."  Suara Henry terdengar berat, seiring gerakan tubuhnya yang masuk kian dalam. Menelusup jauh membagi kehangatan sekaligus dengan tamak mereguk kenikmatan bercinta. Mereka berdua berpeluh keringat disertai debur ombak yang bergulung-gulung. Perlahan meniti satu persatu anak tangga kenikmatan yang mereka ciptakan bersama. Berbagi cinta dalam helaan napas, mendesah dalam setiap tetes keringat yang berbaur, menyerap dengan tamak intisari tubuh satu sama lain. Erangan Aurora begitu nyata, senyata perasaan melayang Henry mendapati dahsyatnya gelombang gairah yang menerpa dirinya. Menyulut setiap jengkal sel di sebagian tubuh lelaki itu dengan api kenikmatan yang berkobar, menyebar hingga ke seluruh tubuh.  Darah dalam dirinya seakan menggelegak oleh kobaran gairah yang menyala-nyala, setiap sel dalam tubuhnya menjerit kegirangan merasakan penyatuan dua kutub manusia yang berbeda dan ketika puncak itu akan diraih, tanpa sadar keduanya bergerak semakin cepat.   

Bab 1 Kedai kopi

Pukul tujuh pagi, Aurora Stockwell mengantri di depan konter kedai kopi.

Perusahaan tempatnya bekerja yang juga merupakan perusahaan milik kakaknya kini berada di ambang kebangkrutan. Itu berarti dirinya mungkin akan kehilangan pekerjaan dan kakaknya akan kehilangan mata pencaharian yang menghidupi banyak keluarga.

"Ini adalah salah Henry," gumamnya yang hanya terdengar oleh batinnya sendiri.

Bagaimana tidak? Aurora dulu adalah seorang staf ahli keuangan dengan karier yang bisa dibilang bagus dan stabil. Tetapi, semua berubah setelah tidak sengaja bertemu dengan putra pemilik perusahaan yang ditabraknya di depan pintu lift. Sialnya saat itu Aurora membuat kopi di tangannya mengenai setelah jas mahal yang dikenakan Henry.

Bukannya marah Henry Wilmington justru jatuh cinta pada pandangan pertama. Dia menyukai mata Aurora yang tajam dan berwarna biru cerah.

Aurora teringat dengan semua bualan dan rayuan Henry. Pria itu menikahinya hanya setelah beberapa pekan Aurora menerima cinta pria itu. Mendadak menjadi istri seorang miliarder ternyata tidak semudah yang ia bayangkan. Kehidupan mewah justru menjadi penghalang cinta mereka, bahkan mendorong mereka ke dalam jurang perpisahan.

Aurora menyangka kehidupan rumah tangganya akan manis seperti yang ia inginkan. Ia akan bangun dan menikmati sarapan bersama suaminya, kemudian di malam hari mereka akan berbincang-bincang tentang hari yang telah mereka lewati, lalu di akhir pekan dapat memanfaatkan waktu luang bersama.

Namun, pada kenyataannya hanya beberapa pekan Aurora merasakan manisnya kehidupannya rumah tangga, karena suaminya tidak seperti yang diinginkannya. Saat Aurora membuka mata di pagi hari, suaminya telah pergi ke kantornya dan ketika malam suaminya pulang dengan keadaan lelah. Saat ia tidur sengaja membelakangi Henry. Suaminya itu tidak berusaha memeluknya dari belakang ataupun berusaha membalikkan tubuhnya apa lagi bertanya.

"Ah, panas!" pekik Aurora, kulit tangannya tersiram kopi panas. "Bisakah kau ber....," tanyanya ketus seraya mendongak.

Aurora bahkan tidak mampu menyelesaikan kalimatnya. Orang yang menumpahkan kopi ke kulitnya adalah Henry. Jadi, sejak tadi ia berdiri di belakang orang yang sedang dipikirkannya?

"Kau baik-baik saja?" tanya pria tinggi berambut cokelat setinggi 190 cm.

"Bukan masalah. Ini bisa diatasi dengan salep luka bakar." Mungkin itu jawaban yang masuk akal pikir Aurora. "Hai, lama tidak berjumpa." Atau mungkin jawaban itu lebih tepat.

Tidak. Aurora tidak ingin memulai percakapan, ia ingin menjauh secepatnya. Tetapi, ia benar-benar menginginkan kopi sehingga kakinya tidak bergeser sedikit pun dari tempatnya.

"Senang bertubrukan denganmu," ucap Aurora dengan sinis.

"Cantik, sedang apa kau di sini?" tanya Henry dengan suara beratnya yang seksi dan matanya yang berwarna cokelat terang seperti lelehan cokelat panas yang lezat menatap Aurora seperti tidak kalah terkejutnya dengan Aurora.

Aurora mengernyit. Apa dia tidak lihat bahwa dirinya akan membeli kopi bukan untuk menguntit mantan suaminya yang sudah dua tahun tidak pernah terdengar lagi kabarnya. Terakhir mereka bertemu adalah saat Aurora memutuskan meninggalkan rumah Henry.

Rasa kecewa melingkupi batin Aurora mengingat Henry tidak pernah mengejarnya. Pria itu juga tidak datang pada mediasi perceraian mereka. Bahkan tidak menghadiri saat hakim membacakan putusan perceraian mereka, selalu saja Henry hanya mengirimkan pengacaranya.

Aurora dengan jengkel mendengus. "Bisa kau menyingkir? Aku mau memesan kopi."

Henry tersenyum miring. "Seingatku kau tidak pernah minum kopi."

Memang tidak, tetapi beberapa bulan ini semuanya berubah, karena kakak laki-lakinya membuatnya sakit kepala dengan memberikan tumpukan berkas yang tidak ada habisnya dan membuatnya mulai ketergantungan pada kopi.

"Seleraku sudah berubah," kata Aurora kemudian mendekati konter barista. "Satu caramel macchiato panas," ucapnya pada barista.

"Cukup mengejutkan," ucap Henry terdengar menggoda. "Kudengar perusahaan kakakmu kini mengalami defisit keuangan."

Aurora melotot ke arah Henry yang mengucapkannya dengan sangat santai dan suaranya tidaklah pelan. Cukup bisa didengar oleh orang-orang di sekitar mereka.

"Kurasa kau akan segera kehilangan pekerjaan jika perusahaan itu benar-benar bangkrut," lanjut Henry.

Aurora melemparkannya senyum sinis. "Henry Wilmington, kau rupanya punya waktu ya untuk memata-matai perusahan kami?"

Henry tersenyum miring dan berucap, "Di Liverpool, semua orang sudah tahu kalau Blue Sea Corps bahkan menjual murah saham mereka dan peminatnya tidak ada."

Ucapan Henry memang benar adanya. Aurora seharusnya tidak marah. Tetapi, cara Henry berbicara yang sombong seolah-olah meremehkan kemampuan kakak laki-lakinya membuat Aurora jengkel.

"Kurasa kau sudah terlalu banyak mengomentari perusahaan tempatku bekerja."

Henry tersenyum. "Terakhir saat kita bercerai, aku memberikan kau saham perusahaan dan kau menolaknya. Begitu juga rumah dan...."

Aurora menyipitkan matanya menatap Henry dan pria itu tidak melanjutkan ucapannya. Ia memang melakukan itu, karena tidak ingin menerima apa pun dari Henry, kedengarannya bodoh, tetapi yang ia lakukan adalah semata-mata, karena ingin memberitahu jika yang ia inginkan adalah Henry bukan harta pria itu.

Henry berdehem lalu berkata, "Aku bisa saja membantu perusahaan itu."

"Aku tidak perlu bantuanmu," ucap Aurora seraya menatap mata Henry dengan tatapan dingin, tetapi jantungnya berdesir hebat manakala tatapannya beradu dengan tatapan Henry.

"Ya. Aurora yang kukenal tidak perlu bantuan siapa pun," ucap Henry disertai senyum manis yang mampu meluruhkan seluruh hati Aurora.

Senyum Henry masih manis seperti dulu. Wajahnya semakin tampan dan tidak ada tanda-tanda penyesalan bahwa mereka kini tidak lagi bersama. Memikirkan itu membuat jantung Aurora seperti tertusuk jarum.

Aurora mendengus pelan. Ia mengulurkan kartu bank untuk membayar kopinya kemudian mengambil gelas kopinya kemudian berjalan melewati Henry. Secepatnya ia ingin segera menghindari mantan suaminya atau jika tidak ia mungkin akan menyesali jika dirinya pernah membuat keputusan untuk bercerai. Namun, Henry mengejarnya dan berhasil meraih sikunya.

"Cantik, aku serius ingin menolong perusahaan peninggalan ayahmu."

Aurora diam-diam menelan ludah. Perusahaan itu memang peninggalan ayahnya yang sangat berharga dan kakak lelaki satu-satunya Aurora-lah yang kini meneruskan perusahaan peninggalan mendiang ayahnya.

"Pertimbangkan tawaranku," lanjut Henry. "Jika kau bersedia, kau tahu di mana kau harus menemuiku."

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku