Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Jakarta, Kota Megapolitan yang selalu jadi tujuan kaum urban bertaruh nasib. Mentari pagi ini bersinar dengan anggun menampakkan kuasanya sebagai Ratu Semesta.
Seorang wanita bertubuh mungil terlihat ikut berdesakan antre hendak memasuki bussway. Badannya yang mungil memudahkannya menyusup di antara para penumpang lain. Sial! tak ada kursi kosong. Dengan berat hati, dia berdiri dengan menenteng tas kerjanya. Yah, tak apalah daripada terlambat.
Perkenalkan, namaku Freeya Aqila Hasbie Rasyid. Kata teman- temanku, wajahku yang oriental ini sangat khas. Yah, tentu saja, aku keturunan campuran Tionghoa dan Turki.
Berwajah oriental, tapi tak bermata sipit. Perawakanku yang mungil kudapat dari ibuku yang Tionghoa. Sementara rambut cokelat dan mataku yang hijau kecoklatan, kudapat dari ayahku yang Turki.
Ini adalah hari pertamaku kerja di Jakarta. Sebelum ini, aku kerja di Bandung, di sebuah perusahaan kecil. hingga F. Company merekrutku.
"Presdir, bukankah ini sama artinya Anda menjualku?" protesku dua minggu yang lalu. Mengingat aku direkrut F. Company demi perusahaan yang aku tempati mendapat suntikan dana.
"Aya, F. Company adalah perusahaan besar, kau bisa mengasah kemampuanmu di sana," terang Presdir Antoni.
Aku hanya bisa mendengus kesal. Huft! Karena melamun, aku tak sadar kalau aku sudah sampai di halte depan gedung F. Company. Benar kata Arsyila, sahabatku, F. Company memang perusahaan besar dengan gedung yang begitu megah. Dengan langkah pasti, aku memasuki lobi perusahaan.
Seorang resepsionis cantik menyambutku dengan senyum ramah.
"Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?"
Kusodorkan surat panggilan kerja yang kudapat tiga hari yang lalu. Gadis itu sekilas melihatnya. Dia tampak berbincang dari intercom dan tersenyum.
"Mbak Freeya, sudah ditunggu HRD."
"Silakan naik ke lantai 8! Ruang HRD, tepat di depan lift."
"Terima kasih."
Aku berjalan buru-buru hendak memasuki lift, hingga tiba - tiba aku menabrak seseorang.
Bbbrruuukkkk!
Ceklek.
Tubuhku terhuyung membuat salah satu heelsku patah. Sial! Kupandangi punggung lelaki yang bertabrakan denganku berlalu tanpa sepatah katapun.
"Dia pergi tanpa mengucapkan maaf?" gumamku dalam hati. Sekalian kupatahkan heels yang satunya. Yah, walaupun aku jadi susah berjalan.
Tok tok tok.
Kuketuk pintu bertuliskan R. HRD.
"Masuk!"
Kkkrrreeekkkk.
Suara pintu berderit saat kubuka. Di belakang meja nampak sesosok lelaki tampan berpenampilan rapi, tersenyum kearahku. Tangannya terulur mengisyaratkan agar aku segera duduk.
"Terima kasih," ucapku sembari duduk.
"Freeya Aqila Hasbie Rasyid," baca lelaki yang namanya tertera di papan di meja bagian depan Anggara Samudra.
"Silakan tanda tangani kontaknya!" ucapnya seraya menyodorkan selembar kertas di atas map biru.
"Baca dulu!"
"Kamu terikat kontrak 5 tahun dengan perusahaan kami."
"Silakan ajukan keberatan, jika ada poin kontrak yang janggal!"
Setelah memastikan sekali lagi tak ada yang janggal, kububuhkan tanda tanganku di atas kertas putih itu.
Lelaki itu menyodorkan sebuah tanda pengenal. Ada fotoku di sana.
"Aku Anggara Samudra."
"Kamu bisa panggil aku, Gara!"
"Selamat bergabung di F. Company!"
Gara mengulurkan tangannya yang langsung kujabat dengan penuh semangat. Kusunggingkan senyum termanisku.
"Mari! Kutunjukan ruanganmu!"
"Iya."
Aku mengekori Gara yang melenggang sembari menunjukkan ruanganku.
Divisi Pengembsngan Proyek berada di lantai 40. Di ruangan ini, ada sekitar 12 orang.yang tampak berkutat dengan laptop masing-masing. Mereka serempak berdiri saat melihat Gara dan aku masuk.
"Selamat pagi."
"Pagi ... !"
"Perkenalkan, dia adalah Ketua Divisi Pengembangan Proyek yang baru, Freeya Aqila Hasbie Rasyid," kata Gara dengan suara tegasnya.
"Selamat datang dan selamat bergabung."
"Terima kasih."
"Mohon kerja samanya," ucapku dengan sedikit menunduk.
Mereka satu per satu menyalamiku dan memperkenalkan diri. Seorang gadis cantik menyalamiku dan memelukku.
"Aku Kinar. Kamu akan duduk bersebelahan denganku," ujarnya.
"Panggil saja aku, Aya!"
"Oke."
Kinar menatap ke arah bawahku saat dia menyadari jalanku yang aneh. Aku tersenyum kecut menyembunyikan rasa maluku.
"Kenapa?"
"Patah saat aku tabrakan sama orang tadi di depan lift. Daripada aneh, ya sekalian kupatahkan saja yang satunya," terangku.