Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
"Oh begitu!" Maria bersandar di tempat tidur dan menyadari bahwa dia kelaparan. Dia melihat Ethan dan bertanya, "Bisakah kamu meminta tolong seseorang untuk membawakanku makanan?" 'Pemuda ini terlihat seperti orang baik. Dia juga bisa menjadi milikku mulai sekarang karena dia adalah teman dekatnya James, ' pikir Maria dalam hati.
"Apa yang kamu bilang?" Ethan mengira bahwa dia salah mendengar apa yang dikatakan oleh Maria barusan. Jika tidak, itu berarti dia baru saja diperintah oleh seorang wanita. Tidak ada seorang wanita pun di Kota Harapan yang berani memerintahnya seperti yang baru saja dilakukan Maria.
"Terima kasih sebelumnya!" Maria menunjukkan rasa terima kasihnya, dia memberi tahu Ethan bahwa dia memang mendengarnya dengan benar.
Sejenak Ethan berdiri dan terdiam, dia tenggelam dalam pikirannya. Dia tidak mendapat kesimpulan apa pun, jadi dia mengeluarkan ponselnya kemudian menggulir layar ke bawah untuk mencari sebuah nomor, "Halo, James. Mantan istrimu memintaku untuk mencarikannya makanan. Menurutmu, haruskah aku membiarkannya kelaparan sampai mati atau mengikuti perintahnya?"
"Kembali ke sini dan aku akan memberitahumu apa yang harus kamu lakukan," jawab James dengan tegas.
Seketika Ethan merasakan ancaman dalam suara James. Ethan menggaruk bagian belakang kepalanya lalu dia menolak, "Tidak, terima kasih, James. Sampai jumpa!"
"Tunggu!" ujar Maria.
Ethan berbalik untuk melihat wanita itu, dia merasa bingung. Maria mencoba bangun dari tempat tidur, tetapi tidak bisa karena dia tertahan oleh infus. Maria menyadari hal itu, kemudian dia melepas jarum infusnya dan berdiri. Maria berjalan tanpa alas kaki ke arah Ethan di bawah tatapannya yang terkejut, dia lalu mengambil ponsel dari tangan Ethan, "James, bisakah kita bertemu langsung dan berbicara?" Jangan sampai dia sia-sia menghabiskan tiga botol brendi itu!
Namun, satu-satunya jawaban yang Maria dapatkan adalah bunyi sambungan telepon yang putus.
Maria melihat ponsel di tangannya itu sambil menggigit bibir bawahnya, ada campuran kemarahan dan kesedihan yang melintas di matanya.
Ethan tahu bahwa James telah menutup teleponnya tanpa harus bertanya pada Maria. Ethan berpikir dalam hati, 'Maria yang malang. Mau tak mau aku merasa kasihan padanya sekarang.' Ethan mengambil ponselnya kembali lalu menjepit pangkal hidungnya untuk menyembunyikan rasa malunya sambil berkata kepada wanita yang sedang linglung di depannya, "Baiklah, kamu harus kembali ke tempat tidur. Aku akan meminta seseorang untuk membawakanmu makanan."
Ethan menganggap Maria sebagai wanita yang kuat dan mulai mengaguminya karena dia telah berani menyinggung James tanpa cela. Oleh karena itu, dia rela membantu Maria mengisi perutnya saat itu juga.
"Lupakan saja. Nafsu makanku sudah hilang." Maria berubah pikiran.
Ethan bertanya dengan bingung karena penolakan Maria yang tiba-tiba, "Ada apa?" Nathan ingin tahu apakah semua wanita juga bisa dengan mudah berubah pendirian.
"Aku ingin keluar dari rumah sakit ini sekarang!"
Ethan memandang Maria dari atas ke bawah, dan jelas baginya bahwa Maria masih perlu tinggal di rumah sakit lebih lama. Bukan hanya wajahnya yang terlihat pucat pasi, tetapi punggung tangannya juga berdarah. Bagaimana dia bisa pergi dalam kondisi seperti itu?
Maria bersikeras ingin pergi dari rumah sakit pada hari itu juga meskipun dokter tidak mengizinkannya.
Sambil mengemudi di jalanan paling ramai di Kota Harapan, wajah Ethan menjadi gelap saat dia melirik kaca spion dan berkata kepada wanita pendiam yang duduk di kursi belakang, "Maria, tolong jangan beritahu James bahwa akulah yang mengantarmu ke sana."
'Maria itu keras kepala! Dia sudah mendorongku sebelumnya tapi masih belum puas, dan sekarang dia memaksaku untuk mengantarnya ke kantor James.' Ethan membenci Maria.
Jika Maria bukan seorang wanita, maka Ethan pasti sudah memukulnya! Mungkin dia bahkan akan memaksa Maria untuk berlutut serta menunjukkan rasa hormat padanya!
Maria menatap mata Ethan melalui kaca spion, tiba-tiba, sebuah senyuman muncul di wajahnya. Maria membujuk pria muda di kursi pengemudi itu dengan suara lembut, "Ethan, bagaimana bisa seorang pria muda sederhana dan manis sepertimu berteman dengan orang licik seperti James?"
Seperti yang sangat disadari oleh Maria, semua teman James memang cukup sulit untuk dihadapi. Masing-masing dari mereka berasal dari latar belakang yang lebih luar biasa daripada yang lain, mereka juga memiliki bakat yang unik. Salah satu dari mereka bahkan merupakan seorang pemimpin sebuah organisasi misterius. Namanya adalah Lawrence Suteno.
Ethan sepertinya bukanlah salah satu dari mereka. Atau, setidaknya, Ethan sangat pandai berpura-pura. Meskipun begitu, Maria tetap tidak bisa bertanya siapa dia.
Pesona Maria tetap tidak terpengaruh sama sekali walaupun dia mengenakan baju rumah sakit. Ada senyum yang mengerikan namun indah di wajahnya yang pucat sementara matanya bersinar. Saat tatapan mereka bertemu, Ethan jadi menggigil lalu bertanya, "Mengapa aku merasa sepertinya kamu mengejekku?"
"Aku tidak mengejekmu. Tapi meski aku tidak memberitahu James, dia pasti akan langsung tahu bahwa kamulah yang mengantarku ke sana, benar 'kan?" Maria percaya pemuda ini benar-benar meremehkan James.
Mantan suaminya tidak perlu berpikir banyak untuk menyadari bahwa Ethan-lah yang mengantar dirinya kepada James. Kemungkinan besar dia bahkan sudah memperkirakan bahwa Maria tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menanyakan hal seperti itu dari Ethan.
Lagi pula, Grup HL tidak terbuka untuk umum dan lantai di mana tempat kantor CEO berada tidak bisa diakses oleh semua karyawan yang bekerja di perusahaan.
Selama hampir dua tahun menikah dengan James, Maria belum pernah sekali pun menginjakkan kaki di gedung itu. Makanya tidak akan ada banyak karyawan yang akan mengenalinya dan memberinya izin masuk.
Belum lagi sebelumnya di rumah sakit, Maria sudah meminta untuk bertemu dengan James lewat telepon. James akan menyusun semua fakta ini dan tahu bagaimana Maria bisa berhasil masuk.
"Kamu benar juga! Matilah aku!" Ethan merasa agak frustrasi kemudian menghela nafas. James memang terlalu pintar untuk ditipu seperti itu. Ethan melanjutkan setelah berpikir sejenak, "Yah, kalau begitu lupakan saja. Risiko terburuknya aku akan bersembunyi darinya selama seminggu."
Maria tidak bisa berkata apa pun saat mendengar solusi Ethan. 'Kamu masih terlalu muda dan naif, temanku, ' pikirnya.
Sepuluh menit kemudian, sebuah SUV putih yang cukup umum dengan harga kurang dari 1, 2 miliar melaju ke tempat parkir bawah tanah Grup HL.
Begitu selesai parkir, Ethan turun keluar mobil dan berjalan menuju lift untuk memindai telapak tangannya. Ethan berbalik ketika pintu lift eksklusif CEO terbuka, dia memberi tahu wanita yang berdiri di belakangnya, "Maria, kamu bisa naik sekarang. Aku tidak akan ikut denganmu. Sebaiknya aku cepat-cepat pergi. Semoga beruntung."
"Terima kasih, Ethan." Maria mengangguk ke arah Ethan sebelum masuk ke lift. Maria bisa melihat sekilas sosok punggung pemuda itu dari pintu yang tertutup, Ethan bergegas ke mobilnya dan pergi seakan hidupnya bergantung dengan kepergiannya dari situ.
Begitu pintu lift akhirnya tertutup, Maria menoleh ke kaca panorama di dalam lift dan menatap Kota Harapan. Semakin tinggi lift itu naik, maka semakin luas pemandangan di depan matanya.
Maria melangkah keluar dari lift saat dia sampai di lantai 66 lalu melihat beberapa asisten di meja mereka. Maria mencari Summer namun dia tidak ada di sana. Tetap saja Maria mengenali orang lain yang segera berjalan ke arahnya.
"Nona Setiadi." Lorenzo Putra terkejut ketika melihat Maria.
Maria tersenyum tipis. Tanpa basa-basi dan bertukar salam, Maria langsung berkata pada intinya, "Aku di sini untuk menemui James."
Lorenzo adalah keponakan dari ibu tiri James. Pria ini tidak pernah memperlakukan Maria dengan baik ketika dia masih menjadi anggota Keluarga Wijaya.
Lorenzo memandang Maria dari balik kacamatanya, tidak bisa menyembunyikan rasa jijiknya. "Mohon maaf, tapi Tuan Wijaya sedang rapat sekarang. Nona Setiadi, jika kamu ingin bertemu dengan Tuan Wijaya, maka tolong buat janji terlebih dahulu."
"Sedang rapat? Aku tidak keberatan menunggu sampai rapat itu selesai." Tidak setiap hari dia bisa masuk ke kantor Grup HL. Oleh karena itu, Maria tidak akan pergi sebelum mencapai tujuannya.
Bibir Lorenzo membentuk suatu seringai dingin saat mendengar ucapan Maria, "Nona Setiadi, kamu adalah mantan istri Tuan Wijaya. Bagi Tuan Wijaya, sekarang kamu itu bukan siapa-siapa. Apa menurutmu dia benar-benar ingin bertemu denganmu?"
Maria menatap Lorenzo dengan tajam. "Kamu tidak berhak memutuskannya, hanya James yang tahu apakah dia ingin bertemu denganku atau tidak. Aku akan menunggu di sini karena dia sedang rapat. Tolong, kamu kembali bekerja saja."
Lorenzo terkejut dengan Maria yang mendadak bersikap galak. Di mana wanita pengecut yang dulu dia kenal? "Nona Setiadi, jika kamu bersikeras, silakan pergi ke ruang tunggu. Kamu akan diberitahu ketika Tuan Wijaya sudah selesai rapat." Lorenzo menunjuk ke sebuah ruangan yang berada jauh dari mejanya dan kemudian melambai ke arah sekretaris di dekatnya, "Tolong siapkan secangkir teh untuk Nona Setiadi."
"Baik, Lorenzo," jawab sekretaris itu, dia siap bangkit dari tempat duduknya.
"Tidak perlu, terima kasih. Aku lebih suka menunggunya di sini." Maria menolak.
Dari tempat Maria berdiri, dia bisa melihat ada pintu masuk ke kantor CEO dan dia tentu saja tidak akan melewatkan saat James kembali. Namun, jika Maria pergi ke ruang tunggu, maka dia mungkin akan kehilangan satu-satunya kesempatan untuk bertemu dengan James.
Lorenzo merasa terganggu dengan sikap keras kepala Maria, dia berusaha keras untuk terdengar tetap tenang, "Nona Setiadi, jika kamu menunggu di sini, aku khawatir kamu akan mengganggu pekerjaan kami. Dan juga tidak pantas bagi kami untuk membiarkan seseorang berdiri di lorong seperti ini. Kenapa kamu tidak pergi ke ruang tunggu dan duduk di sana? Lagipula, sepertinya kamu baru saja keluar dari rumah sakit, kan? Bukannya kamu akan lebih cepat pulih jika kamu cukup beristirahat? Ini adalah saranku untuk kebaikanmu sendiri, Nona Setiadi."
Maria mengabaikan perkataan Lorenzo sepenuhnya, kemudian memunggungi Lorenzo sambil berjalan menuju jendela.
Dua asisten yang lain saling bertukar pandang, tetapi tidak ada yang berani mengatakan sepatah kata pun.
Lorenzo amat marah. Jika saja dia tidak mendengar bahwa Norman sendirilah yang membawa Maria ke pesta ulang tahun Alina beberapa hari lalu, maka dia pasti sudah memanggil satpam untuk mengusir wanita ini. Tapi sekarang, dia tidak bisa melakukan apa-apa.