Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Maria dan James sudah bercerai, sedangkan Alina, calon tunangan James, ada di sana. Bahkan jika pria yang dicintai Maria saat itu benar-benar James, tetap tidak pantas bagi Stella untuk mengatakan hal tersebut. Tujuan Stella memang jelas untuk mempermalukan Maria.
Stella mengabaikan Maria yang merasa tidak nyaman, dia terus memprovokasi Maria. "Ayolah, Maria. Beritahu kami siapa pria itu! Kami sungguh penasaran."
Maria meneguk wine, kemudian meletakkan gelasnya sambil tersenyum tipis, "Siapa yang tidak pernah menyukai seseorang diam-diam ketika remaja? Biarkan masa lalu menjadi kenangan. Sekarang dia sudah menikah dan aku sudah punya kekasih baru."
Semua orang mulai mencemooh begitu Maria berkata demikian. Mereka sama sekali tidak mempercayainya.
Ada ide lain yang melintas di otak Alina saat dia melihat Maria yang tidak masuk ke dalam jebakan. Alina diam-diam mengisi ulang gelasnya dengan minuman keras, mengangkat kepalanya untuk melihat ke arah pria yang duduk di sampingnya dengan tatapan masa bodoh. Jelas, pria itu tidak tertarik pada apa pun yang terjadi di ruangan itu, "James, aku sakit perut. Aku ingat kalau Maria sangat jago minum, aku mau dia menghabiskan minuman ini untukku. Bagaimana menurutmu?"
James merupakan pria yang suka mengambil keputusan, dia mengambil gelas itu lalu meletakkannya di depan Maria. Kemudian dia menatap Maria dengan tajam dan menyuruhnya untuk minum, "Habiskan minumannya!" Alina menundukkan kepalanya, sudut bibirnya sedikit terangkat, 'Mari kita lihat apakah kamu bisa keluar dari ini sekarang, Maria!'
Maria melihat Alina yang memegang botol minuman keras di tangannya. Jika dia membacanya dengan benar, botol itu adalah edisi terbatas dari cognac Remy Martin dengan kandungan alkohol 52%. Maria menatap gelas yang penuh di depannya kemudian melirik kakak sepupunya yang tidak memiliki perasaan.
Pada saat itu, Stella menambahkan, "Alina baru saja membuka brendi edisi langka. Maria, aku yakin kamu belum pernah mencoba minuman keras yang mahal seperti itu, 'kan?"
"Jika melihat penampilan lusuh Maria, sepertinya Keluarga Setiadi tidak terlalu peduli padanya. Bagaimana mungkin dia pernah mencoba minuman keras semahal itu?" seseorang yang berada di sekitar mereka berteriak.
"Benar!" kata yang lain.
Maria berjalan ke arah James di bawah banyak tatapan penasaran. Dia kemudian mengambil gelas minuman keras yang sebelumnya diperintahkan James untuk diminumnya. Maria berkata sambil tersenyum, "Sebenarnya, aku tidak keberatan meminumnya. Mungkin suatu hari nanti aku akan meminta bantuanmu juga Tuan Wijaya."
Maria bersikap dengan sangat lugas. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia meneguk seluruh minuman itu di depan mata semua orang.
Cairan panas itu mengalir melalui tenggorokannya dan memasuki perutnya seolah-olah dia baru saja memakan cabai yang pedas. Rasa panas yang kuat langsung menjalar ke seluruh tubuh Maria.
Maria meletakkan gelas yang sudah kosong dan terbatuk keras, lalu dengan asal mengambil minuman lain di depannya. Maria tidak melihat itu minuman jenis apa, dia segera menuangkannya ke dalam mulut untuk mengurangi rasa tidak nyaman yang dirasakannya.
Dibandingkan dengan brendi yang baru saja dia minum, apa pun yang dia minum sesudahnya terasa jauh lebih baik! Setidaknya minuman itu dapat meredakan sensasi terbakar di tenggorokannya.
Namun, detik berikutnya Maria menyadari bahwa ruangan itu menjadi sangat sunyi. Bahkan Alina pun terlihat sedikit aneh. 'Apa yang terjadi?' Maria bertanya-tanya dalam hati.
Segera, Stella menjawab pertanyaan di hatinya dengan sebuah raungan. "Maria! Berani-beraninya kamu mengambil minuman Tuan Wijaya?"
Maria terbatuk lagi karena dia tidak bisa menahan rasa panas di tenggorokannya. Dia kemudian melihat gelas kosong di tangannya dan menyadari bahwa itu memang tampak berbeda dari yang lain.
Di dalamnya ada minuman non-alkohol yang dibuat khusus oleh bartender untuk James. Lagi pula, James akan mengemudi setelah pesta selesai.
Yang jelas James sudah meminum sepertiga isi gelas sebelum Maria mengambil dan meneguknya. Menurut orang-orang yang ada di sana, tindakan itu adalah suatu isyarat yang sangat intim, yang sering dilakukan di antara sepasang kekasih. Bahkan itu sama dengan ciuman tidak langsung
Di bawah tatapan mematikan James, Maria meletakkan gelas sambil tersenyum canggung dan dengan bodohnya berkata, "Tuan. Wijaya, tidak apa-apa. Aku tidak keberatan. Sebelumnya kita juga sudah pernah berciuman." 'Kalau tidak, dari mana Arthur bisa datang?' Suara batin Maria menyelesaikan kata-katanya.
Semua orang yang ada di ruangan itu, termasuk James sendiri, masih menatapnya dengan terkejut, tidak tahu apakah Maria benar-benar serius dengan apa yang dia katakan atau sungguh tidak disengaja.
Jika Maria tidak salah, ada raut yang siap untuk membunuh di wajah James.
Sambil sedikit menundukkan kepalanya, Maria buru-buru menjelaskan, "Oh tidak! Maksudku... Maaf, Tuan Wijaya. Aku tidak bermaksud melakukan itu. Ini kan hanya minuman."
Wanita ini telah mencium James sebelumnya. Saat itu, bukan hanya Alina saja yang didera oleh rasa cemburu. Stella juga tidak bisa menahan dirinya agar tidak murka, 'Bagaimana bisa wanita jalang ini mencium Tuan Wijaya?' "Maria, kamu sengaja melakukannya! Kamu marah karena minuman yang baru saja diberikan Alina padamu, jadi kamu mau pamer, benar 'kan?" Stella berteriak.
Jika bukan karena James ada di sana, maka dia sudah akan menampar wajah Maria dengan keras.
Maria dengan rendah hati menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Tidak." Tetapi di saat yang bersamaan suara batinnya menyatakan sebaliknya. 'Oh iya. Memang benar aku mau pamer!'
Alina tersenyum pahit sambil menekan kecemburuan yang melonjak di hatinya, dia lalu turun tangan, "Stella, hentikan. Sudahlah, kita lupakan saja. Aku yakin Maria tidak bermaksud demikian. Sekarang, Stella, tolong beri tahu pelayan untuk membawakan James minuman non-alkohol lagi, jangan lupa untuk meminta gelas baru." Alina sengaja menekankan kata-kata terakhirnya.
Wajah Maria agak merona saat dia berdiri di samping dalam diam. Stella meliriknya dengan tatapan mematikan serta menghentakkan kakinya, dia pergi untuk memanggil pelayan.
Meskipun Alina telah mengirim Stella pergi karena dia pura-pura membela Maria, namun Maria tahu bahwa Alina adalah alasan mengapa hal ini bisa terjadi. Maria lalu mundur selangkah dan berkata dengan nada meminta maaf, seakan dia menghargai tindakan kebaikan Alina yang munafik, "Maafkan aku, Tuan Wijaya dan Alina. Aku benar-benar tidak bermaksud membuat kesalahan seperti itu. Aku janji itu tidak akan terjadi lagi!"
James, yang selama ini diam saja lalu berkata dengan dingin, "Sekarang setelah kamu menyadari kesalahanmu, sebagai hukumannya kamu harus minum tiga gelas alkohol lagi."
'Minum tiga gelas lagi sebagai hukumannya?' Para tamu di pesta itu tersentak ketika mendengar ucapan James. Mereka menghitung dalam diam dan menyadari bahwa sebotol penuh minuman keras itu berisi 320 ml, sementara segelas bisa menampung sekitar 150 ml. Jika Maria melakukan apa yang disuruh James, maka setelah dia menghabiskan gelas ketiga, konsumsi alkoholnya akan sama dengan lebih dari satu botol minuman keras. James begitu kejam, dia bahkan tidak akan membiarkan mantan istrinya melakukan kesalahan. Saat ini, ruangan menjadi sunyi lagi. Semua orang dengan saksama menyaksikan percakapan antara James dan Maria, mereka ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Begitu perkataan tersebut keluar dari mulutnya, James mengambil brendi dari Alina lalu meletakkannya di depan Maria.
Stella kembali tepat waktu untuk melihat pemandangan itu dan berteriak dengan bodohnya, "Bagaimana bisa kamu membiarkan dia meminum brendi yang enak itu? Dia tidak pantas untuk itu!"
James sedikit mengernyit dan bertanya dengan tidak sabar, "Apa maksudmu aku tidak mampu membeli brendi ini?"
"Aku..." Baru saat itulah Stella menyadari bahwa dia telah mengatakan sesuatu yang benar-benar bodoh. Stella langsung gemetar ketakutan karena James mungkin akan menunjuknya menjadi orang berikutnya yang meminum tiga gelas brendi karena dia tidak bisa menjaga mulutnya. Jadi, Stella langsung meminta maaf, "Tidak! Benar-benar bukan itu maksudku. Maafkan aku, Tuan Wijaya. Aku tidak keberatan selama kamu senang!" Permintaan maaf Stella itu jauh lebih rendah hati daripada Maria.
Alina menunduk dan mengusap keningnya, dia malu dengan kelakuan temannya itu. Alina pikir suatu hari nanti Stella pasti akan terbunuh oleh kebodohannya sendiri.
Pada saat itu, Maria mengambil sebotol brendi dan mengisi gelas untuk dirinya sendiri. "Oke. Sebagai imbalan karena kamu sudah menerima permintaan maafku, maka aku akan minum ini hingga tiga botol jika perlu, Tuan Wijaya," kata Maria seakan berusaha menyenangkan James.
James langsung setuju, ini sungguh mengejutkan semua orang. "Kalau begitu silakan saja minum tiga botol!" Dia tampak senang melihat Maria mempersulit dirinya sendiri.
Maria merasa frustrasi. Dia ingin menampar wajahnya sendiri saat mendengar perintah yang tak terbantahkan dari pria itu. Kenapa dia bisa jadi sebodoh Stella dan bukannya menutup mulut saja?
Orang lain yang sangat ingin menyenangkan James kemudian memanggil pelayan untuk segera membawakan beberapa botol minuman keras lagi.
Stella menatap Maria dengan tinggi hati dan meletakkan tiga botol minuman keras yang belum dibuka di depannya. "Nona Setiadi, sekarang minumlah! Semua orang menontonmu!"
Maria meletakkan gelas yang dia isi sebelumnya dan mengambil salah satu botol. Sambil menatap James, Maria mengumpulkan kembali keberanian untuk bertanya, "Tuan Wijaya, setelah aku menghabiskan botol-botol ini, maukah kamu berjanji satu hal untukku?"
James yang bersandar di sofa kulit menyipitkan matanya yang tajam ke arah Maria dan bertanya perlahan, "Kamu pikir kamu siapa berani menuntut sesuatu dariku?"
Maria pun terdiam. Berani-beraninya James terus mempermalukan dirinya seperti ini? Dia jelas bukan pria terhormat!
'James, suatu hari nanti aku akan membuatmu menelan harga dirimu dan tunduk padaku!' pikiran Maria yang marah sudah berkecamuk di kepalanya.
Jejak kebencian terlintas di mata Maria. Meskipun rasa benci itu memudar dengan cepat sebagaimana itu tiba, James masih bisa menyadarinya. Mulutnya mencibir sambil memperhatikan Maria mulai minum.
Tidak ada orang yang berani menentang perintah James dan membela Maria. Beberapa orang menganggap bahwa itu adalah suatu kehormatan untuk minum brendi yang ditawarkan oleh James. Sementara yang lain berharap untuk melihat bagaimana Maria akan mempermalukan dirinya sendiri setelah dia mabuk. Namun demikian, semua orang tetap mengamati pemandangan itu dengan penuh minat.