Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Penulis:LARK COLE
GenreRomantis
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
James berdiri di kamar tidur dan Maria di lorong, ada sebuah pintu tebal yang memisahkan keduanya. Mereka berdiri di sana, sibuk dengan pikiran masing-masing. Akhirnya Maria menghela nafas lega dan beranjak turun.
James menelepon John setelah dia mendengar Maria turun. "Carikan aku manajemen properti dan perusahaan keamanan yang baru untuk Vila Harmoni!"
'Para satpam ini tidak berguna. Mereka tidak bisa melakukan pekerjaannya dengan benar. Kenapa aku tidak memecat mereka saja?' James merenung. Suara hatinya berkata bahwa Maria tidak sesederhana kelihatannya.
Saat Maria melewati ruang tamu, dia melirik ke tempat kecelakaan itu terjadi. Kegembiraannya seketika menguap. Seharusnya Maria senang karena dia bisa lolos dari James tanpa cedera. Tapi wajah Arthur kemudian melintas di benaknya.
"Arthur, sayangku. Kamu meninggal karena mama, tapi wanita itu yang lebih bertanggung jawab atas kepergianmu! Mama tidak akan membiarkannya lolos begitu saja!' Maria mendorong pintu hingga terbuka sambil bersumpah akan membalas dendam untuk putranya.
Keheningan menyelimuti vila itu selepas Maria pergi.
James berdiri di ambang jendela di kamar tidur di lantai dua, dia memperhatikan wanita itu pergi. Lalu dia menyalakan sebatang rokok dan mengisapnya.
Setibanya di kamar hotel, Maria duduk di depan jendela, dia tenggelam dalam pikirannya. Setelah beberapa saat Maria kemudian bersandar di sandaran kursi dan akhirnya tertidur.
Mata Maria tersentak terbuka dan terbangun karena suara getaran ponselnya yang diletakkan di atas meja kopi. Di luar sudah terang namun rasanya dia tidak tidur sedikitpun. Maria mengulurkan tangan untuk melihat siapa yang meneleponnya. Maria memandang layar ponsel sejenak, itu adalah panggilan dari seseorang yang dia sudah tunggu-tunggu. "Halo? Iya, ini dengan Maria," katanya. Herannya Maria sudah terbangun sepenuhnya dan segera waspada, "Apa kamu sudah menemukannya?"
"Ya, sudah saya temukan." Orang di ujung telepon memberi tahu Maria apa yang paling diinginkan Alina saat ini.
Maria tersenyum dan berujar, "Bagus. Kalau begitu beli saja. Bayar berapa pun harganya."
"Baik, Nona Setiadi."
Sementara itu, Alina baru saja selesai sarapan.
Piyama sutranya terlihat berkilauan saat dia meregangkan badan. Dia menutup majalahnya lalu meletakkannya di atas meja, kemudian dia menoleh untuk memanggil pria yang berpakaian rapi di sebelahnya, "Bagaimana kabar toko di Jalan Mulia Selatan?"
Pria yang mengenakan jas itu adalah asisten Alina. Dia menundukkan kepalanya dan melaporkan dengan hormat, "Saya sudah melacak pemiliknya, tetapi dia tidak ingin menjual toko itu. Dia hanya ingin menyewakannya. Mohon maaf, Nona Kurniawan."
Alina berencana untuk membuka toko, namun sulit baginya untuk menemukan tempat yang ideal. Belum lama ini, Alina menemukan sebuah toko dengan loteng seluas hampir 500 m2 yang terletak di Jalan Mulia Selatan. Dia berencana untuk membeli toko itu dengan menggunakan harta dan pengaruh keluarganya. Tetapi hal terakhir yang dia harapkan adalah pemiliknya menolak untuk menjual toko itu.
"Pemilik toko itu yang harus minta maaf," gumam Alina. "Maaf, Nona Kurniawan?" asisten itu bingung dan bertanya. "Bukan apa-apa," jawab Alina. "Memang berapa harga sewanya untuk setahun?" Alina bukannya mati-matian ingin membeli toko itu, tapi dia penasaran kenapa pemilik toko itu mempersulitnya.
"Dia tidak memberi tahu saya. Dia ingin berbicara dengan Nona secara langsung," jawab asistennya.
Alina mengerutkan kening, "Kenapa dia tidak berbicara denganmu saja?"
"Saya sudah mencoba mengatakan itu padanya, tapi dia menolak dan bersikeras untuk berbicara dengan Nona secara langsung."
Alina telah melihat toko itu dengan matanya sendiri. Itu adalah tempat yang sempurna — ukurannya juga tepat, terletak di pusat kota, dengan banyak pesona kuno dan ada banyak pejalan kaki yang melintas. Setelah berpikir sejenak, Alina lalu turun dari kursi malas dan siap-siap untuk berganti pakaian, "Telepon pemilik toko itu sekarang juga. Bilang padanya agar menemuiku di kafe baru di sana setengah jam lagi."
Alina akan mencari lokasi lain jika itu adalah toko sembarangan lain yang disewakan. Tapi dia sudah menetapkan hatinya untuk yang satu ini. Selain itu, sang pemilik toko juga ingin bertemu langsung dengannya. Alina tidak begitu senang ketika mendengar ini. Dia adalah selebriti paling terkenal di Kota Harapan. Dia tidak bisa membuang waktunya untuk mengurusi orang biasa.
"Kafe Miracle, benar 'kan?" tanya asistennya.
"Benar." Kedai kopi yang dia bicarakan itu tidaklah kecil. Kedai kopi itu menempati seluruh lantai pertama gedung Grup HM. Kafe itu juga terkenal akan biji kopi yang berkualitas tinggi serta layanan yang menyenangkan. Dekorasi di dalamnya juga unik, yang menjadikannya tempat paling populer di kawasan pusat bisnis. Pemilik kedai kopi itu tentu memiliki jiwa bisnis yang baik.
Grup HL berada tepat di seberang jalan, agak serong berlawanan dari Grup HM. Toko yang Alina incar juga berada di daerah ini, lokasinya cukup dekat dengan kedai kopi ini. Jaraknya yang dekat dengan Grup HM merupakan nilai jual utama toko itu. Jika Alina bisa membeli toko itu, maka dia bisa lebih sering melihat James. Kekayaan serta kekuasaan James juga bisa menunjang bisnis ini.
"Oke, saya akan menelepon pemilik toko sekarang." Asisten Alina memutar nomor pemilik toko.
Setengah jam kemudian, Alina tiba di Kafe Miracle tepat waktu. Dia lalu duduk di luar agar dia bisa melihat kantor Grup HL. Alina membuka majalah dan mencoba terlihat santai.
Mereka seharusnya bertemu tiga menit yang lalu, tetapi masih tidak ada yang muncul. Asisten Alina menelepon pemilik toko lagi untuk mengingatkan, keringat bercucuran di dahinya.
"Dia terjebak macet. Dia mungkin akan terlambat," lapor asisten kepada Alina setelah menutup telepon.
Alina menjawab malas dengan suara sengau, yang menunjukkan bahwa dia sudah paham. Kesabarannya hampir habis.
Sepuluh menit kemudian, pemilik toko masih belum muncul. Asisten Alina menelepon lagi, tetapi telepon sang pemilik toko sedang sibuk kali ini. Dia mencoba lagi dan lagi. Dia tetap tidak bisa menghubunginya. Dia pun panik. Alina bukanlah seorang bos yang sabar atau pemaaf. Jika tatapan bisa membunuh, maka asisten itu sudah akan terbaring di lantai saat ini.
Terlambat dua puluh menit, pemilik toko akhirnya menelepon. Sang asisten langsung mengangkatnya. Dia bertanya, "Ibu di mana sekarang? Apakah Ibu sadar dengan siapa Ibu akan bertemu?" Nada suara asisten itu penuh dengan kecemasan dan kemarahan.
Tanpa diduga, sang pemilik toko berkata, "Maaf, tapi mobilku mogok di tengah jalan. Aku khawatir kita tidak bisa bertemu hari ini. Lain kali saja ya?"
Asisten itu sungguh tak bisa berkata-kata. Dia mengambil nafas dalam-dalam agar tidak mencaci maki orang ini dan melepaskan sumpah serapah. "Bisa-bisanya Ibu membatalkan janji dengan Nona Kurniawan? Apa Ibu masih ingin melakukan bisnis di Kota Harapan?"
Apa pun yang terjadi, Alina akan tetap marah pada sang asisten, itulah yang menakutkannya. 'Matilah aku!' pikir sang asisten.
Pemilik toko terus meminta maaf padanya. Asisten itu tidak menghiraukannya dan menutup telepon. Kelihatannya Alina memang sedang membaca majalah, tetapi sesungguhnya dia menjadi semakin cemas. Sang asisten terbatuk pelan, "Permisi, Nona Kurniawan..."
Alina menatapnya tanpa mengatakan apa pun.
Asisten itu harus menelan hal pahit ini dan melanjutkan, "Pemilik toko tidak bisa datang hari ini. Dia ingin membuat janji lain kali dengan Nona."
Alina membanting majalah di atas meja. Yang kemudian mengenai cangkir kopinya dan jatuh. Kopi itu membasahi majalah serta akhirnya menetes dari meja, menodai lantai. Aroma kopi itu tercium jauh lebih kuat sekarang.
Melihat Alina yang bersikap seperti itu, sang asisten buru-buru memanggil pelayan untuk membersihkan kekacauan yang ada.
Alina berusaha keras untuk mengendalikan emosinya sambil memelototi asistennya. "Waktuku sudah terbuang selama tiga puluh menit. Sekarang kamu bilang dia tidak bisa datang! Dasar kurang ajar!"
"Dia bilang mobilnya mogok dalam perjalanan ke sini. Nona Kurniawan, nanti Nona harus mendatangi rapat bisnis. Bagaimana kalau besok kita menjadwalkan ulang pertemuan Nona dengan pemilik toko?" Asisten tahu dengan jelas bahwa Alina telah memutuskan toko ini entah bagaimana caranya, karena toko ini terletak sangat dekat dengan kantor James. Alih-alih membuat lebih banyak alasan untuk sang pemilik toko, dia memutuskan untuk mengganti tanggal pertemuan.
Alina diam saja dan meraih dompetnya lalu meninggalkan kedai kopi. Asistennya berlari ke konter untuk membayar tagihan dan mengikuti Alina.
Di Grup HM, Maria keluar dari bilik kamar mandi dengan angkuh.
Dia memasukkan ponselnya ke dalam sakunya sambil bersenandung dan mencuci tangannya di wastafel.
Maria berdiri di depan wastafel, merapikan wajahnya di cermin sambil menyeringai. 'Alina, bagaimana rasanya janjimu dibatalkan?'
Dia tidak tahu apakah Alina bahkan peduli. Asistennya pasti ketakutan. Tapi suasana hati Maria sedang sangat baik. Alina memiliki temperamen yang buruk, jadi Maria menduga dia pasti sangat marah sekarang.
Tebakannya memang benar. Alina sedang duduk di dalam mobil di bawah terik matahari sambil melamunkan pembelian seluruh bangunan tempat toko itu berada.
Meskipun dia adalah selebriti paling terkenal di Kota Harapan, namun harta kekayaannya bukan apa-apa jika dibandingkan dengan James.
Sebuah bangunan di kawasan pusat bisnis tidak bisa didapatkan semudah itu. Orang itu harus sekaya putra mahkota Arab Saudi dengan kuasa penuh untuk melakukan apa saja. Jadi Alina harus mengusahakannya lagi meskipun janji sebelumnya sudah dibatalkan. Alina kembali ke perusahaannya dan berbicara kepada para pemegang saham dengan wajah masam.
Alina tahu bahwa James sedang dalam perjalanan bisnis hari ini; kalau tidak, dia akan pergi ke Grup HL dan mengeluh kepadanya. Mungkin James akan membeli gedung itu dan memberi pelajaran pada sang pemilik toko untuk membahagiakannya
Asisten Alina membuat janji lainnya dengan pemilik toko untuk waktu yang sama di esok hari. Mereka tidak pernah membayangkan bahwa Alina akan terperosok lagi dalam kesulitan di bawah terik matahari. Terlebih, pemilik toko bahkan tidak meminta maaf saat asistennya meneleponnya. Saluran teleponnya sibuk sepanjang waktu.
Meskipun kali ini Alina lebih pintar dan memilih duduk di dalam, dia langsung saja mengamuk saat asistennya memberi kabar. Tidak peduli dengan citranya, Alina menyumpah dengan keras dan perkataannya bergema di seluruh kafe, "Dia pikir dia itu siapa? Kenapa dia membuat janji dan membatalkannya lagi? Apa dia pikir Keluarga Kurniawan tidak bisa melakukan apa pun padanya?"
Asistennya bahkan tidak berani membuka mulut sedikit pun. Dia hanya mengangguk dan membungkuk, sambil mendengarkan Alina yang mengomel.
Alina kemudian beralih pada asistennya, dia menunjuknya dan lanjut mengomel, "Dan kamu! Kamu itu seharusnya membantuku! Kamu tidak pernah bertemu langsung dengan pemiliknya dan memintaku untuk menunggunya—dua kali. Awas ya kalau itu sampai terjadi lagi, kamu akan dipecat!" Kemudian, Alina berjalan keluar dari kedai kopi dan pergi, meninggalkan asistennya yang berdiri di belakang. Alina sudah mengambil keputusan. Dia akan mengambil toko ini bagaimanapun juga. Jika Alina bisa bertemu dengan pemiliknya, maka dia pasti akan memberinya pelajaran!
Setelah Alina pergi, sang asisten menghubungi pemilik toko itu lagi, berniat untuk mengomelinya. Panggilan itu kini terhubung. Namun, orang di ujung telepon langsung menutupnya begitu dia mendengar sumpah serapah dari asisten itu.
Asisten Alina menatap ponselnya, dia ingin membunuh wanita itu!