Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Maria mengangkat botol tersebut dan langsung meminumnya tanpa gelas. Dia mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, anting-anting yang dikenakannya berkilauan di bawah cahaya. Namun, sebagian besar cairan transparan tersebut tumpah dari botol, mengalir ke lehernya yang indah, lalu menghilang ke balik kamisolnya.
Saat itu, Maria terlihat luar biasa seksi. Para tamu yang menghadiri pesta juga tidak bisa mengalihkan pandangan mereka, para pria menelan ludah dan melonggarkan dasi mereka.
'Gila! Pantas saja Tuan Wijaya menikahinya. Dia benar-benar luar biasa!'
Setelah selesai meminum satu botol, Maria bersendewa dan suara itu bergema di seluruh ruangan. Dia masih bisa berdiri dengan tegak. Maria kemudian mengguncang botol kosong di tangannya lalu menatap mata James, "Tolong minta seseorang untuk membawakanku air."
Stella, yang sedang menikmati adegan ini seketika menjadi kesal, "Maria, apa kamu sudah gila? Memberi perintah kepada Tuan WIjaya seperti itu!"
Sambil berjongkok di depan meja, Maria meletakkan dagunya di atas botol dan memiringkan kepalanya untuk melihat Stella, "Ah, masa sih aku melakukannya? Aku memang konyol! Aku minta maaf! Tuan Wijaya, bisakah kamu..." Maria menghentikan perkataannya dan bersendawa lagi. "... meminta seseorang untuk membawakanku air?" Maria sepertinya sudah mabuk dan mulai meracau.
Mata James yang sedang menatapnya menjadi semakin dingin, "Ayo lanjutkan!"
"Wow! Kamu kejam sekali!" Maria mengeluh dan menggerutu seperti anak kecil, seolah-olah dia sedang bersikap manja. Kemudian Maria pun membuka botol kedua. Maria berdiri sambil mengambil nafas dalam-dalam lalu mengangkat botol itu. Tenggorokannya bergerak naik turun saat dia menelan banyak minuman.
Alina sama sekali tidak merasa senang dengan semua ini. Sebaliknya, Alina merasa campur aduk dan dia tidak bisa mengatakan apa yang dia rasakan. James mencemooh Maria, dia tidak menunjukkan rasa sakit hati. Paling tidak itu menunjukan bahwa James masih membenci Maria. Alina pikir tidak akan ada lagi yang dapat membuatnya lebih bahagia. Tapi saat itu, Alina jelas tidak senang.
Alina berpikir sejenak sambil menundukkan kepalanya. Ahhh! James lebih memperhatikan Maria daripada dirinya.
Maria menghabiskan botol yang ketiga di bawah tatapan semua orang di dalam ruangan itu.
Menempatkan tiga botol kosong bersamaan, dia lalu berkata kepada para penonton, "Maaf, permisi. Aku harus pergi ke kamar kecil." Maria terus melangkah dengan cepat, tapi tetap saja dia terhuyung-huyung sambil memegang dinding untuk menopang dirinya sendiri.
Setelah bergegas masuk ke ruangan di toilet wanita, Maria yang saat itu sudah tidak dapat berjalan dengan baik, mengambil waktu sejenak untuk fokus akan dirinya. Dia bersandar di dinding toilet, nafasnya terengah-engah.
James memang sungguh bajingan. Sekali salah berucap saja, dirinya langsung dipaksa untuk minum tiga botol minuman keras. Meskipun Maria berhasil mendapatkan James, tapi dia sangat marah. Merasa dipermalukan.
Pada saat itu perut Maria mulai memberontak. Semua alkohol yang telah diminumnya mulai naik ke kerongkongannya, rasa yang menjijikkan memenuhi mulutnya. Maria mencoba memuntahkan semuanya. Banyak sekali! Maria terlihat sangat berantakan ketika meninggalkan toilet itu. Masih ada air mata di wajahnya. Maria tidak tahu apakah itu karena hatinya yang hancur atau karena dia terlalu banyak minum. Entah mengapa, wajahnya sudah basah oleh air mata.
Setelah merapikan penampilannya, Maria pergi kembali ke ruangan pribadi tadi. James dan Alina telah pergi dan semua orang berjalan keluar. Setelah menonton pertunjukan yang bagus, para tamu sadar bahwa sekarang sudah saatnya pulang.
Maria kembali ke ruangan itu untuk mengambil tas tangannya. Stella masih ada di sana, dia menunggu Maria. Stella mengejeknya saat dia berjalan masuk, "Kamu benar-benar sudah kelewat batas ya. Dan kamu punya nyali untuk merayu Tuan Wijaya lagi? Sudahlah, menyerah saja. Dia tidak akan pernah bisa menerima pembunuh sepertimu!"
'Maria sama pengecutnya seperti enam tahun lalu. Putranya meninggal karena dirinya sendiri. Tidak mungkin James akan menikahinya lagi,' pikir Stella dalam hati.
Maria tidak membalas perkataan kasar Stella tersebut. Dia hanya bersandar di dinding saat gelombang mual mulai menghantamnya. Butir-butir keringat dingin bermunculan di dahinya. Dia tidak akan membiarkan Stella pergi jika saja dia tidak hampir pingsan karena perutnya yang sakit. Pelacur tukang ikut campur itu telah berusaha membuatnya kesal sepanjang malam. Stella memang telah melewati batas, tetapi Maria tidak bisa berbuat apa-apa.
Melihat Maria yang bersandar ke dinding dan tidak mengatakan apa-apa sebagai jawaban, maka Stella menganggap dirinya menang. Dia kemudian merapikan gaunnya, meraih dompetnya dan pergi dengan senyum puas di wajahnya.
Begitu Stella berjalan keluar, Maria segera merosot dan meluncur ke bawah dinding tempat dia bersandar.
Perutnya terasa seperti telah ditendang dan dia harus muntah lagi.
Beberapa kali Maria menarik nafas dalam-dalam dan berusaha bertahan. Sayangnya, Maria tidak bisa menahan dirinya untuk tidak muntah di sana. Namun kali ini dia tidak memuntahkan alkohol. Maria memuntahkan darah.
Sambil melawan rasa sakitnya, Maria mengambil ponselnya dari dalam tas tangannya. Ada seseorang yang membuka pintu ruangan itu sebelum Maria sempat menekan nomor di ponselnya. Orang tersebut adalah Alina. Bukankah dia sudah pergi?
Alina sangat terkejut ketika melihat Maria dan darah yang ada di lantai, tetapi kemudian dia mengerti apa yang terjadi.
Alina perlahan berjalan ke arah Maria yang terlihat mengenaskan. Tanpa berkata apapun, dia menendang perut Maria dengan sepatu hak tingginya.
Itu adalah tendangan yang kencang. Maria mengerang kesakitan. Wajahnya langsung berubah pucat.
Setelah itu, Maria kembali meludahkan seteguk darah kedua. Rasa sakit di perutnya membuatnya amat pusing. Keringat dingin membasahi tubuh dan pakaian Maria.
Alina tidak sengaja meninggalkan kunci mobilnya di ruangan itu sehingga dia datang kembali. Dia tidak berharap akan menemukan Maria yang tampak menyedihkan. Sesudah mengambil keuntungan dari situasi ini, dia pun mengambil kunci mobil dari meja di dekatnya, lalu berbalik dan pergi.
Saat Norman akhirnya menemukan Maria, dia sedang terbaring di lantai dan sangat lemah bahkan tidak bisa mengangkat tangannya. Maria tersenyum dan menyapa dengan lemah ketika dia melihat Norman, "Hai, Norman. Maaf aku sudah merepotkanmu."
Sepanjang malam itu Maria memang sangat tegang. Akhirnya dia bisa merasa santai dan kemudian pingsan.
Norman mengangkat Maria dan menggendongnya. Norman harus membawanya ke rumah sakit secepat mungkin.
Di luar klub malam, Norman kebetulan bertemu James dan Alina, dengan Maria yang berada dalam pelukannya. Keduanya baru akan naik ke mobil saat mereka mendengar sapaan dari asisten James, Summer Hidayat, "Selamat malam, Tuan Sanjaya!"
James dan Alina lalu berbalik. Mereka berdua memperhatikan seorang wanita di pelukan Norman.
Darah di baju Maria berkilauan di bawah cahaya bintang. Bajunya juga basah karena keringat. Maria tampak mengenaskan. James tidak menghiraukan mereka, namun Alina menatap dengan rasa khawatir yang palsu. "Astaga! Tuan Sanjaya, Maria kenapa? Kasihan sekali!"
Norman melirik pria yang tidak berekspresi di sampingnya itu sambil menjawab, "Aku tidak tahu. Aku harus membawanya ke rumah sakit. Permisi."
Norman bergegas memasuki Bentley-nya setelah menjawab Alina.
Norman dan Maria segera melaju ke rumah sakit. Alina menoleh kepada James, "Menurutku Norman sangat peduli pada Maria. Aku ini Kakak sepupunya, bukankah aku harus merasa bahagia untuk Maria?"
James masuk ke Harkim hitam tanpa menjawab pertanyaan Alina.
Alina sudah terbiasa dengan sikap James itu. Bagaimanapun juga, James adalah orang yang tidak banyak bicara.
Paling tidak dia memang seperti itu dengan semua orang. Begitulah yang dipikir Alina.
Keesokan paginya, di Grup HL.
Ada seorang pria muda yang berjalan melewati lorong dekat kantor CEO. Pria itu mengenakan kaus putih bermotif karakter kartun jingga, celana kasual jingga, serta sepatu sneakers yang serasi dengan pakaiannya.
Dia meletakkan tangannya di dalam saku, lalu dia mengeluarkan serangkaian suitan dan seruan kepada para sekretaris di lantai itu.
Semua karyawan kemudian berdiri dan menyapanya, "Selamat pagi, Tuan Setiawan!"
"Tuan Setiawan, bagaimana kabar Tuan?"
Sebagai jawabannya, Ethan Setiawan hanya mengangkat dagunya ke arah mereka. Kemudian dia bertanya, "Apakah James ada di dalam sana, Summer?"
Summer tersenyum, "Iya, Tuan Setiawan. Tuan Wijaya baru saja selesai rapat."
"Terima kasih." Ethan melangkah lebih cepat dan membuka pintu kantor CEO itu tanpa mengetuk terlebih dahulu.
Hanya ada beberapa orang di Kota Harapan yang berani memasuki kantor James tanpa mengetuk. Salah satu dari orang-orang itu adalah Ethan. Dia bukan hanya teman dekat James, namun juga seorang pria nakal yang berasal dari keluarga kaya di Kota Harapan.
James sedang berdiri di depan jendela. Dia berbalik dan menatap pemuda yang penuh energi itu saat mendengar suara pintu dibuka, "Ethan, kamu menghabiskan sepuluh menit untuk sampai ke lantai 66. Kenapa? Apa kamu naik tangga atau bagaimana?"
Ethan mendengus dan menghela nafas dengan berlebihan. "Resepsionis-resepsionismu cantik sekali. Aku harus berhenti dan berbicara sebentar dengan para wanita cantik itu. Dan memang penglihatanmu cukup bagus juga—kamu bisa melihatku di lantai pertama tadi."
James tidak mengatakan apa-apa sambil menatap Ethan yang tersenyum. Dia hanya melambaikan sepasang teleskop kecil padanya. Jawabannya sudah jelas.