Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
James selalu cekatan dalam menangani masalah sehingga rapatnya tidak berlangsung lama. Maria juga tidak perlu menunggu lama. Mungkin dia menunggu sekitar sepuluh menit. Dia melihat James berjalan ke arah kantornya. Summer berada dekat di belakangnya.
Lorenzo pun segera berdiri, "Permisi, Tuan Wijaya..." Kemudian dia mengalihkan pandangannya ke wanita yang berdiri di depan jendela, Lorenzo berusaha menjelaskan situasi tersebut.
James memahami isyarat Lorenzo tersebut dan juga melihat ke arah Maria. Dia berjalan menuju kantornya tanpa berhenti seolah-olah Maria tidak ada di situ.
Summer diam-diam melambai kepada Maria, kemudian dia duduk di bangkunya. Maria mengangguk padanya sambil tersenyum, lalu berjalan menuju kantor CEO.
Lorenzo yang melihat hal tersebut ingin menghentikan Maria, tapi Summer terlalu cepat untuknya, "Maaf, Lorenzo. Di dalam rapat tadi, Tuan Wijaya mengatakan bahwa..."
Lorenzo tidak bisa menyela Summer karena dia menanyakan sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan. Maria memasuki kantor tersebut seolah-olah dia adalah pemilik tempat itu.
Dia menyadari apa yang telah dilakukan Summer untuknya. Maria akan selalu mengingatnya dan berterima kasih kepada Summer di dalam hati.
Sambil mengikuti James, Maria memasuki kantor dengan tenang.
Dia menginjak karpet yang lembut serta melihat sekeliling kantor. Itu adalah salah satu kantor terbesar yang pernah dilihatnya. Dekorasinya juga sungguh mewah. Dalam hati, Maria sangat kagum, namun dia segera kembali ke akal sehatnya. Ada suatu urusan yang perlu didiskusikan dengan James. Dia tidak berada di sini untuk melihat-lihat kantor.
James sudah duduk di depan laptop, jari-jarinya yang ramping menari-nari di atas keyboard.
Maria berhenti di depan meja James lalu memanggil namanya dengan lembut, "James Wijaya."
Ketika mereka pertama kali menikah Maria masih memanggilnya sebagai "Tuan Wijaya". Setelah mereka bercinta beberapa kali, barulah dia mulai memanggilnya "James". Tapi untuk saat ini, nama lengkapnya saja sudah cukup.
Pria itu benar-benar mengabaikan Maria dan terus saja menatap layar komputer.
"Aku ingin diberi akses masuk Vila Harmoni karena aku telah menghabiskan tiga botol brendi. Aku akan sangat berterima kasih jika kamu memberitahu John mengenai hal itu. Jangan khawatir, aku tidak akan pindah ke sana. Aku hanya ingin melihat-lihat saja." 'Aku hanya ingin menghabiskan waktu sambil mengenang masa lalu, dan mencari beberapa benda yang mengingatkanku pada putraku,' pikir Maria.
Pria itu kemudian berhenti mengetik dan menatap Maria, "Aku tidak ingat pernah membuat kesepakatan apa pun denganmu. Aku sudah bilang kamu tidak diizinkan masuk ke dalam Vila Harmoni dan aku serius. Aku tidak peduli seberapa banyak yang kamu minum."
Maria menatap James. 'Aku tahu itu. Tapi aku berharap kamu memberikanku pengecualian sehingga kamu mengizinkanku masuk. Untuk apa dirinya meminum tiga botol brendi? Bukan untuk apa-apa? Aku sampai muntah darah, dasar sialan!' Suara batin Maria menangis.
Sadar bahwa pria ini memang sulit dibujuk, Maria kemudian menarik nafas dalam-dalam dan berkata dengan nada memohon, "Sekarang aku memohon padamu. Bolehkah aku masuk ke Vila Harmoni?"
"Keluar dari sini!" Dengan kejam James langsung menolaknya.
Maria sangat marah sehingga dia merasakan nyeri yang tidak begitu parah di perutnya. Dia mengepalkan tinjunya dan berkata, "James Wijaya, kamu bilang aku tidak pantas memasuki Vila Harmoni atau melihat Arthur. Jika kamu tidak pernah bermaksud untuk mengizinkanku masuk ke vila, lalu kenapa kamu menyuruhku menghabiskan tiga botol minuman keras? Membiarkan Alina mengejekku? Kenapa?"
James tidak menjawab apa pun setelah perkataan tersebut keluar dari mulut Maria. Satu-satunya suara yang bisa didengar adalah jemari James yang mengetuk tombol keyboard secara berurutan dengan cepat. Dia berkata pada Maria setelah selesai mengetik, "Karena aku adalah James Wijaya."
'Dasar keparat!' Maria masih amat murka meskipun dia sudah tahu orang macam apa James itu. Perkataan sederhana itu terdengar sangat memerintah, seolah-olah dia memberi tahu Maria bahwa dia bisa saja menyuruhnya seperti robot, dan Maria tidak bisa protes sama sekali.
Maria menarik nafas dalam-dalam sambil mencoba menenangkan diri. "Kamu tahu aku mengandung Arthur di perutku selama sembilan bulan, kan? Jadi siapa yang paling menderita setelah dia mengalami kecelakaan? Karena kamu bilang aku tidak pantas bertemu dengannya, lalu bagaimana denganmu? Kamu bahkan tidak pernah menghabiskan waktu dengan putramu sendiri. Kamu hanya ada di rumah satu atau dua hari dalam sebulan. James, bagaimana perasaanmu ketika putramu meninggal? Apa kamu merasa sedih?"
Maria dan James belum pernah bertemu secara langsung atau membicarakan mengenai Arthur sejak kecelakaan yang merenggut nyawanya terjadi. Sekarang beberapa tahun telah berlalu, dan Maria mencoba mengumpulkan keberaniannya untuk mengungkit masa lalu. Masa lalu yang sebenarnya tidak ingin dia bicarakan. Masa lalu yang penuh dengan rasa sakit. Tapi Maria ingin menghapus kesalahpahaman di antara mereka berdua.
Namun, James tampaknya tidak ingin membicarakan hal itu. Dia bahkan tidak ingin memikirkannya. Tak peduli betapa hancurnya hati Maria. Sambil melihat arlojinya, James sadar bahwa Maria telah menghabiskan hampir lima menit waktunya dari pekerjaan. "Apa kamu sudah selesai? Jika sudah, Nona Setiadi, tolong pergi dan tutup pintu di belakangmu itu."
Maria tercengang mendengar perkataan James.
'Dia adalah orang bodoh yang menjengkelkan!'
Maria memutuskan untuk memperjelas rasa kesalnya. Dia berjalan di sekitar meja James sambil mendekatinya. Kemudian Maria menutup laptop James dengan sangat kuat hingga mengeluarkan suara. Maria menatap James dengan berlinang air mata dan menekankan setiap suku kata, "Aku ingin masuk ke Vila Harmoni!"
Suhu di kantor yang penuh dengan hiasan itu turun dengan drastis.
Lengan James terangkat, tangannya mencengkram leher Maria seperti orang jahat. James berdiri perlahan sambil meremas leher rapuh Maria dengan satu tangan, dia meletakkan tangan lainnya di sakunya. Matanya dipenuhi amarah yang bergelora, "Karena kamu sudah memintaku untuk bersikap seperti ini, jadi aku tidak keberatan memberikannya."
James terkejut karena Maria langsung pingsan begitu tangan James mencekik lehernya.
Maria terjatuh ke dalam pelukan James. Wajah James berubah menjadi suram. Dia ingin memanggil asistennya untuk mengusir wanita ini. Maria pasti berpura-pura, 'kan? Tapi saat James maju selangkah, tubuh kurus Maria segera jatuh ke lantai yang dilapisi karpet. Matanya masih tertutup.
James mencoba membangunkan Maria sambil berlutut dan menepuk wajahnya. Dia mengangkatnya, menggendongnya dalam pelukan, lalu berjalan keluar dari kantor. James memerintahkan Lorenzo untuk menekan tombol lift saat dia keluar dari pintu. Saat itu, James benar-benar amat sibuk.
Lorenzo memandang wanita di lengan James dengan heran. Tapi dengan bijaksana Lorenzo memutuskan untuk tetap diam serta berlari menyusuri lorong untuk menekan tombol agar lift eksklusif CEO tiba.
Saat James lewat, Summer melirik Maria dengan tatapan penuh rasa khawatir. Mata elang James tidak melewati itu. James menatap Summer dengan dingin. Summer ketakutan dan kembali bekerja.
Maria masih berada dalam pelukannya ketika James tiba di tempat parkir. Lorenzo mengikutinya sampai ke sana. Asisten James membuka pintu belakang Harkim hitam untuknya. Awalnya James ingin ikut dengannya, tetapi dia dengan cepat mengubah pikirannya.
Dia mendorong wanita pucat itu ke kursi belakang mobil, lalu menutup pintu dengan tegas dan memberi perintah kepada Lorenzo. "Bawa dia ke Rumah Sakit Swasta Medica!"
"Baik, Tuan Wijaya. Saya mengerti."
James memikirkan apa yang baru saja terjadi dan menjadi sangat kesal setelah mereka pergi. Dia melonggarkan dasinya dan menarik nafas dalam-dalam beberapa kali. Sesudah itu, James merasa agak lebih baik.
'Sialan kamu, Maria!' James mengutuk di dalam hati.
James mondar-mandir di parkiran mobil, dia mencoba mencari cara untuk menghilangkan amarah yang bergelora di dalam dirinya. Akhirnya dia mengeluarkan ponselnya dan memutar sebuah nomor, "Jangan pernah berpikir untuk coba-coba meminjam uang dariku tahun depan," katanya ketika orang di ujung telepon mengangkat panggilan.
"Tidak! James! Tolong dengarkan aku!" Orang yang dimarahi James itu menjadi panik.
James menutup telepon itu dan memotong Ethan di tengah rengekannya.
Maria kembali ke bangsal rumah sakit. Tak lama setelah itu, Norman datang menemuinya. Norman bertanya ke mana dia pergi setelah keluar dari rumah sakit. Maria hanya menatap Norman.
Norman memutuskan untuk membiarkannya karena Maria tidak ingin menceritakan apa pun padanya. Dia meninggalkan rumah sakit setelah mengingatkan Maria untuk menjaga dirinya sendiri. Jika Maria ingin Norman datang, maka dia selalu bisa meneleponnya.
Setelah tiga hari Maria pun keluar dari rumah sakit, Norman tidak ada di sana untuk menjemputnya karena dia sangat sibuk. Maria sama sekali tidak keberatan. Lagi pula, Norman sudah banyak membantunya.
Maria kembali ke hotel, kemudian mengirimkan resumenya ke bagian sekretaris Grup HM melalui email. Setelah menyelesaikan beberapa urusan lainnya, Maria lalu menutup laptop itu.
Saat itu sudah tengah malam. Maria berdiri untuk meregangkan tubuh dan memesan makan malam. Sudah lewat jam makan malam tapi belum waktunya untuk sarapan.
Setelah makan, Maria membuka lemari lalu berganti dengan pakaian santai. Dia lalu berjalan keluar dari hotel dan memanggil taksi.
Kemudian, seorang wanita dengan peralatan lengkap berjalan di pintu gerbang Vila Harmoni. Semua yang dia butuhkan untuk misinya kali ini ada di ranselnya.
Maria menurunkan topinya, lalu dia mendekati gerbang dengan hati-hati, berusaha untuk tidak terlihat. Dia mengeluarkan perangkat kecil dari ranselnya dan mengarahkannya ke arah lampu kamera yang berkedip.
Arahannya tepat dan segera saja anak panah itu terbang ke lensa kamera lalu tertancap di sana, sebuah penutup langsung menghalangi kamera. Wanita itu terus bergerak karena sekarang dia sudah terhalang dari pandangan kamera.
Dengan cepat dia memanjat gerbang perunggu dan merayap masuk ke vila dalam diam. Setibanya di pintu depan, Maria berhasil menonaktifkan lensa kamera di sana dengan cara yang sama. Dia merasa lega saat melihat sekelilingnya untuk memastikan keselamatan dirinya. Tidak ada penjaga yang terlihat. Apabila Maria bisa membuka kode kunci pintu, maka akhirnya dia akan bisa masuk.