Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Hasrat Sang Guru

Hasrat Sang Guru

Citta Jnana

4.9
Komentar
83.8K
Penayangan
90
Bab

Vidwan Surya adalah seorang praktisi yoga sekaligus dosen Bahasa Sansekerta di sebuah universitas. Oleh klien, kolega, dan mahasiswanya, Vidwan biasa dipanggil Guru Vidwan. Hal itu merupakan bentuk penghormatan mereka padanya. Vidwan bertemu Grisse Anggara di kampus ketika gadis itu mengambil mata kuliah Bahasa Sansekerta. Grisse Anggara yang tertarik pada bahasa-bahasa kuno yang punah atau hampir punah membuatnya mendaftar program pertukaran mahasiswa dan ia pun diterima. Grisse yang polos, pendiam, dan tidak pandai bergaul tentu saja senang ketika dosennya memberi perhatian padanya. Tidak pernah terlintas dalam benak Grisse bahwa perhatian Vidwan padanya lebih karena lelaki itu sangat berhasrat memilikinya. Hasrat seorang laki-laki dewasa pada perempuan dewasa. Ya, Vidwan begitu menginginkan Grisse menjadi miliknya. Membayangkan Grisse berada dalam kungkungannya saja membuat air liur Vidwan menitik. Hasrat berbalut nafsu Vidwan mendesak minta dipuaskan. Di waktu yang hampir bersamaan, perhatian dan kenyamanan yang diberikan Vidwan berhasil membuat Grisse jatuh hati. Namun, setelah melalui semuanya bersama Vidwan, timbul pertanyaan dalam hati Grisse. Apakah selama ini dia mencintai Vidwan? Atau ia pun merasakan hal yang sama seperti sang guru, yakni hanya sebuah hasrat yang dibalut nafsu.

Bab 1 Grisse Anggara

“Welcome to the best campus for learning Sanskrit, Grisse.” Aku tersenyum sendiri mendengar kalimat yang kugumamkan lirih. Sepasang mataku tak henti menyapu seluruh objek yang ada di hadapanku. Sebuah bangunan universitas yang bergaya klasik dengan warna terakota mendominasi hampir seluruh bangunan. Indah. Dan keren. Dua kata itu tak henti kukatakan untuk melukiskan kekagumanku. Sambil terus menatap bangunan kampus, ingatanku seolah diputar ke belakang. Ke bagian sebelum aku sampai di sini. Menginjakkan kaki di kampus ternama ini.

Aku masih ingat betul ketika sebuah surel dari grup pencari beasiswa yang kuikuti mengirim rangkuman informasi. Sebuah kampus ternama di luar negeri menawarkan program pertukaran mahasiswa untuk mengikuti perkuliahan di jurusan bahasa-bahasa kuno. Tentu saja aku sangat tertarik untuk mendaftar program itu. Dalam benakku langsung terbayang bahwa aku akan mempelajari berbagai bahasa kuno dunia yang merupakan akar dari bahasa-bahasa yang digunakan saat ini. Tanpa menunda lagi, aku segera mengecek persyaratan program pertukaran mahasiswa tersebut. Aku bertekad bahwa hari ini juga akan kupenuhi semua persyaratan yang diminta kemudian segera mengirim ke alamat surel yang tertera. Aku tidak ingin menunda lagi pekerjaan ini. Bagiku, menunda sama artinya dengan membuang kesempatan.

Aku harus menunggu dengan sabar selama enam puluh hari sampai akhirnya pengumuman program tersebut masuk ke akun surelku. Dengan hati berdebar, kuklik surel itu dan aku langsung melonjak kegirangan begitu kudapati kata congratulations di bagian awal surat.

“Yeay, aku diterima.” Sorakku dengan suara lantang. Kuabaikan pandangan keheranaan orang-orang di sekitarku.

“Grisse, kalau berisik keluar saja!” Ujar petugas ruang baca ketus. Senyum lebar di wajahku memudar seketika. Ya, aku sama sekali tidak sadar jika sekarang aku tengah berada di ruang baca fakultasku.

“Maaf, Bu.” Ucapku dengan suara lirih. Tanpa melihat lagi ke arah petugas ruang baca, aku pun kembali duduk dan kembali menekuni laptopku.

*

“Hai, ruang akademik di mana ya?” Tanyaku pada seorang gadis berambut pirang. Ia menatapku sebentar sebelum akhirnya menjawab sambil merentangkan tangan kirinya.

“Oh, kamu lurus saja kemudian belok kanan. Ruang akademik ada di sisi kiri bagian tengah.”

“Terima kasih.” Ujarku sambil mengangguk.

“Oke.” Gadis itu menjawab tanpa melihatku. Ia terlihat begitu asyik dengan ponselnya. Aku pun melangkah menuju arah yang ditunjukkan gadis pirang tadi. Tidak perlu waktu lama, akhirnya aku sampi di depan sepasang pintu yang tertutup. Di bagian atas pintu tersebut terdapat plat dengan tulisan akademik menggunakan huruf kapital seluruhnya. Perlahan kudorong salah satu pegangan pintunya. Tepat ketika pintu yang kudorong terbuka, aku melihat beberapa kubikel rendah yang memisahkan meja demi meja. aku pun menghampiri salah satu meja yang terdekat dengan pintu. Di sana, seorang laki-laki paruh baya menatapku. Ia terlihat ramah dan sepertinya siap untuk mendengarkanku.

“Halo, Pak. Saya peserta program pertukaran mahasiswa. Menurut surat yang saya terima, saya harus melapor ke bagian akademik.”

Laki-laki itu mengangguk tanda mengerti. Tanpa membalas kalimatku, dengan cekatan laki-laki itu mengetikkan sesuatu. Setelah mengetukkan telunjuknya pada tombol enter satu kali, laki-laki itu kembali mengalihkan pandangannya padaku.

“Anda Grisse Anggara?” Tanyanya yakin. Refleks, aku mengangguk sebagai jawaban.

“Jangan heran. Anda adalah orang terakhir program pertukaran mahasiswa yang melapor ke sini.”

Aku kembali mengangguk. Laki-laki ini bisa membaca pikiranku.

“Di sini tertulis Anda memilih mata kuliah Bahasa Sansekerta dan Tamil.”

“Benar, Pak.”

“Sayang Mata kuliah Bahasa Tamil tidak ditawarkan semester ini.”

Aku melongo mendengar penjelasan laki-laki di hadapanku.

“Kalau memang tidak ditawarkan, kenapa ditulis dalam program itu, Pak?” Aku berusaha menyembunyikan kekesalanku. Rasannya aneh saja, untuk kampus yang katanya terbaik, mereka bisa melakukan kesalahan yang bagiku sangat merugikan.

“Pengajarnya sedang melakukan penelitian di kampung halamannya selama satu tahun.” Jawab laki-laki itu santai. Aku hanya merespons kalimatnya dengan oh yang sukar ditafsirkan. Namun, kemudian aku berkata pada diriku sendiri: tidak ada gunanya marah, toh kemarahanku tidak akan membuat pengajar Bahasa Tamil itu segera kembali.

“Jadi, saya hanya akan mengikuti mata kuliah Bahasa Sansekerta saja, Pak?”

“Iya, tapi tenang saja. Kami tetap akan membayarkan beasiswamu secara penuh. Sebagai gantinya, kamu bisa mengikuti klub yoga yang diasuh oleh dosen pengajar Bahasa Sansekerta.”

“Baiklah. Terima kasih informasinya, Pak.” Aku sudah bersiap untuk beranjak dari hadapan laki-laki itu, tapi suaranya kembali menahanku.

“Tunggu. Hari ini pukul 15.00 ada jadwal kelas Bahasa Sansekerta. Dan pukul 18.00 klub yoga akan mulai latihan.” Ujarnya sambil menyodorkan map transparan padaku.

“Di dalamnya terdapat lembar jadwal kuliah, jadwal klub, dan kontak pengajarnya. Untuk mendaftar di klub yoga, kamu datang saja ke gedung C yang ada di bagian belakang bangunan kampus ini. Itu adalah gedung khusus untuk kegiatan semua klub yang ada di sini.”

“Baik. Terima kasih, Pak.” Jawabku setelah menerima map transparan tersebut. Laki-laki itu mengangguk sebagai jawaban. Aku kemudian keluar dari ruang akademik dan memilih berdiri di seberang pintu ruang akademik untuk mengecek isi map transparan yang baru kuterima. Aku mencari lembar berisi jadwal kuliah karena petugas itu mengatakan bahwa hari ini ada jadwal kuliah Bahasa Sansekerta. Setelah melihat kolom yang memuat keterangan ruang kelas, aku pun melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kananku. Sepasang jarum pada jam tanganku menunjuk angka tiga dan satu. Ah sial, aku terlambat. Kelas telah dimulai lima menit yang lalu. Aku pun bergegas mencari papan berisi penunjuk arah ruang kelas. Setelah menemukannya, aku pun mempercepat langkahku. Sesekali aku berlari agar bisa segera sampai ke ruang kelas yang menjadi tujuanku.

*

“Sorry, I am late.” Ujarku setelah membuka pintu ruang kelas.

“It’s ok.” Jawab dosen pengajar itu lembut. Bukannya segera mengambil tempat duduk, aku justru mematung di tempatku. Aku terkesima dengan dosen pengajarku. Ya Tuhan, kenapa dia begitu tampan. Keluhku dalam hati. Ya, dosen pengajar Bahasa Sansekerta ini begitu tampan. Selain tampan, aku juga bisa merasakan karismanya yang kuat.

“Silakan duduk.” Ujarnya sambil tersenyum. Duh, senyumnya manis sekali. Aku kembali mengeluh dalam hati.

“Eh, iya Pak. Maaf.” Dengan tersipu aku melangkah perlahan sambil mengedarkan pandang. Mencari kursi yang belum ditempati.

“Nona, silakan duduk di sini.” Suara dosen itu kembali terdengar. Refleks, aku menoleh ke arahnya. Kemudian dengan cepat aku melihat ke arah telunjuknya.

“Oh, ok. Thank you, Sir.”

Duh, kenapa aku harus duduk tepat di hadapannya sih? Keluhku lagi setelah mengempaskan bokongku ke atas permukaan kursi.

“Well, sebelum memulai perkuliahan, saya akan memperkenalkan diri dulu. Nama saya Vidwan Surya. Saya akan memberi kuliah Bahasa Sansekerta. Selain itu, jika kalian berminat silakan bergabung dengan klub yoga karena saya merupakan instruktur di klub tersebut.”

Aku tertegun mendengar perkataan dosen itu. Apa? Dia juga menjadi instruktur klub yoga? Duh!

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Citta Jnana

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku