Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Grafiti Dinding Hati

Grafiti Dinding Hati

Citta Jnana

5.0
Komentar
259
Penayangan
26
Bab

Ini adalah kisah tentang pengabdian, pengorbanan, dan cinta yang terlambat hadir. Magang menjadi sekretaris kedua William Rustenburg memang tidak mudah. Citta Buwana harus rela menjadi sasaran amarah William karena dianggap tidak cakap dalam bekerja. Di mata William, semua pekerjaan yang dilakukan Citta adalah salah. Amarah William semakin menjadi ketika ia mengetahui rencana perjodohan yang telah dibuat oleh papanya bersama sahabatnya. Sebagai bentuk protes, tak jarang William memarahi Citta di hadapan Johan. Namun bukan Johan namanya jika ia tidak bisa menaklukkan putra semata wayangnya, William. Akankah William dan Citta tunduk pada perjodohan yang telah diatur oleh orang tua mereka?

Bab 1 Prolog

Pandangan Citta menyapu setiap sudut panggung yang ada di depannya. Panggung itu miliknya. Tata panggung yang minimalis, namun tetap terlihat elegan itu telah dipersiapkan untuk dirinya. Ya, hari ini akan menjadi salah satu hari yang bersejarah dalam hidup Citta. Pada hari ini Citta akan dikukuhkan sebagai guru besar di universitasnya. Selain predikat sebagai guru besar, akan ada "gelar" tambahan yang akan disandang Citta, yaitu sebagai guru besar termuda di seluruh universitas. Dari informasi yang disampaikan oleh panitia acara, rektor akan menyerahkan sebuah cinderamata padanya.

Cinderamata yang merupakan simbol dari pengakuan rektor atas pencapaian gemilangnya sebagai guru besar termuda.

Citta memang tidak pernah bermain-main atau bersantai jika berurusan dengan belajar atau menuntut ilmu. Dan buah dari kerja kerasnya itu, ia berhasil meraih tingkat tertinggi dalam jabatan fungsional di dunia akademik. Citta berhasil menjadi guru besar di usia yang terbilang sangat muda, yakni tiga puluh tahun. Dan selepas hari ini, bahkan selepas acara ini, orang-orang akan mengganti sapaan untuknya dengan Prof atau profesor, bukan lagi Bu atau Ibu.

"Senat Universitas memasuki ruangan. Hadirin dimohon berdiri." Suara alto pembawa acara menggugah Citta dari lamunannya. Dengan perlahan ia berdiri dan memosisikan dirinya menghadap lorong yang memisahkan deretan kursi di sayap kanan dan kiri aula pertemuan.

Bersama para undangan yang duduk di deretan paling depan, Citta menghadap ke arah datangnya serombongan orang yang memakai toga dengan gordon berwarna-warni sesuai warna fakultas masing-masing.

Setelah para anggota senat universitas menempati posisinya masing-masing. Citta bersama hadirin kembali duduk sesuai instruksi pembawa acara. Citta kemudian menoleh ke sisi kanannya. Johan Rustenburg, ayah mertua Citta, setia mendampinginya di sana. Sesekali Johan menepuk punggung tangan Citta, mencoba memberikan dukungan berupa semangat begitu dilihatnya Citta gugup atau terkadang gelisah.

Citta tersenyum ke arah Johan sambil bibirnya mengucapkan terima kasih, meskipun tanpa suara. Namun, senyum di wajah Citta langsung memudar tatkala ia melihat kursi di sisi kanan Johan yang kosong. Sedianya kursi di samping kanan Citta adalah untuk William, suaminya. Dan kursi kosong di sisi kanannya lagi adalah untuk Johan. Namun, Johan dengan tanggap berpindah ke kursi untuk William demi memberikan dukungan pada Citta. Menjaga perasaan Citta yang tentunya kecewa karena tidak didampingi suaminya.

Citta menatap hampa panggung di depannya. Otaknya dipenuhi oleh pengandaian-pengandaian tentang William. Seandainya William hadir saat ini dan duduk di sampingnya. Seandainya William menggenggam tangannya, mengalirkan ketenangan melalui sentuhan jemarinya yang lembut. Seandainya William menyaksikan dirinya memberi pidato pengukuhan, tentu lelaki itu akan merasa bangga akan pencapaian istrinya. Sayangnya, dari semua hal yang seandainya dapat dilakukan William saat ini, lelaki itu justru tidak menampakkan batang hidungnya.

"Papa selalu ada di sampingmu, Sayang." Johan yang tetiba bersuara kontan membuat Citta tersentak karena kaget.

"Terima kasih, Pa." Citta berkata sambil kedua matanya berkaca-kaca. Ia menyadari bahwa dukungan dari orang terdekatnya sangat penting saat ini.

"Kira-kira William akan hadir tidak ya, Pa?" Imbuh Citta sambil berkali-kali memperbaiki posisi duduknya. Johan menangkap kegelisahan Citta.

"Jika Will datang sekarang, tentu panitia masih bisa mengizinkannya masuk." Ujar Citta lirih. Johan iba melihat menantunya. Dalam hati, Johan bertekad akan memarahi William bila mereka berdua bertemu nanti.

"Apakah William marah padaku ya, Pa? Apa ia tidak suka dengan pencapaianku ini?" Citta kembali melontarkan pertanyaan yang tidak bisa dijawab Johan. Daripada menjawab pertanyaan Citta, Johan memilih untuk meletakkan tangannya di atas tangan Citta. Menepuknya sebentar kemudian menarik tangannya kembali.

"Menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Hadirin dimohon berdiri." Suara pembawa acara sukses menyingkirkan kecamuk pikiran Citta dan Johan. Mereka berdua perlahan berdiri.

Citta berdiri dengan sikap sempurna. Kedua tangan yang terkepal berada di samping tubuh. Pandangannya lurus ke depan dengan sedikit mengangkat dagu. Citta kini terlihat siap menyanyikan lagu kebangsaan, mengikuti suara kompak dari paduan suara mahasiswa.

Sementara Johan juga berdiri dengan sikap sempurna, meskipun ia tidak ikut menyanyikan lagu kebangsaan. Johan memang bukan orang Indonesia. Ia berasal dari Belanda. Namun lebih dari empat puluh tahun bermukim di Indonesia membuat Johan sudah seperti orang Indonesia asli. Satu hal yang membuat Johan tidak bisa disebut sebagai orang Indonesia adalah kewarganegaraannya. Johan tetap memilih menjadi warga negara Belanda daripada Indonesia.

*

"Kepada Profesor Citta Buwana yang baru saja dikukuhkan sebagai guru besar, waktu dan tempat kami persilakan."

Citta beranjak dari duduknya, membungkuk hormat pada Johan, kemudian melangkah menuju podium. Sesampainya di atas podium, Citta mengedarkan pandangannya yang kini lebih leluasa, menyapu seluruh hadirin yang datang. Untuk beberapa detik lamanya Citta menatap pintu masuk yang tertutup rapat. Hatinya berharap pintu itu terbuka dan menampilkan sosok William di baliknya.

Lagi-lagi harapan Citta sirna tatkala menyadari apa yang dipikirkannya adalah mustahil. Dengan memaksakan sebuah senyum getir, pandangan Citta pun beralih pada naskah pidato yang sudah dijilid rapi menyerupai buku.

William Rustenburg. Citta menyebut nama suaminya. Berharap lelaki itu datang sebelum ia mulai berpidato. Untungnya, Citta memanggil nama William dalam hati sehingga tidak satu pun hadirin yang mendengar. Kecuali Johan. Ya, Johan tahu jika Citta sangat menantikan kehadiran William. Sorot mata Johan yang tak henti terarah pada Citta menangkap bulir bening yang tergelincir jatuh dari sepasang kelopak mata Citta. Detik berikutnya, Johan mengepalkan tangannya. Ia membulatkan tekad untuk membuat perhitungan dengan William, putra semata wayangnya.

***

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Citta Jnana

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku