Wanita yang tidak diinginkan

Wanita yang tidak diinginkan

Hasbi

5.0
Komentar
1.4K
Penayangan
24
Bab

Hidup menjadi istri yang tidak diinginkan adalah kenyataan pahit yang harus dihadapi oleh Nadine Aulia (23). Setiap hari, ia menahan perlakuan kasar dari suaminya, Arman Ridwan Putra (38), serta kekasih Arman, Clara, yang menganggap Nadine sebagai penghalang kebahagiaan mereka. Namun, tak banyak yang tahu bahwa Nadine hanyalah korban dalam semua ini. Peristiwa tragis yang terjadi pada malam Arman mabuk telah menghancurkan hidupnya, meninggalkannya dengan janin yang kini tumbuh di dalam rahimnya. Akankah Nadine mampu bertahan di tengah kekejaman ini, atau apakah ia akan menemukan secercah harapan di tengah luka yang mendalam?

Bab 1 Di Kediaman Ridwan Putra

Malam itu, suasana di rumah Ridwan Putra tampak suram. Nadine Aulia (23) duduk di meja makan, menatap piring yang di depannya. Tangannya yang gemetar sesekali menyentuh perutnya yang mulai membuncit. Perut itu adalah satu-satunya alasan yang masih membuatnya bertahan di tengah segala perasaan sakit dan kebingungannya. Saat suara langkah berat Arman terdengar mendekat, tubuhnya spontan menegang.

"Kenapa makanan ini dingin?!" suara Arman yang lantang memecah keheningan, membuat Nadine terlonjak dari kursinya. Ia segera mengambil piring itu dan bergegas menuju dapur.

"Maaf, saya akan menghangatkannya, Pak," jawab Nadine dengan suara pelan, berusaha untuk tidak membuat situasi semakin buruk.

Arman mendengus keras. "Sudah berapa kali kubilang, jangan menyiapkan makanan seperti ini? Kau memang tak bisa diandalkan!" Arman berbicara dengan nada yang penuh amarah, seperti biasa. Nadine hanya bisa menunduk, menahan air mata yang hampir tumpah. Dia tahu, dalam pandangan Arman, dia selalu saja tidak cukup baik.

Clara, kekasih Arman yang duduk di sofa dengan ekspresi acuh tak acuh, tertawa sinis mendengar kata-kata Arman. "Memangnya kau berharap apa, Mas? Wanita ini bahkan tak pantas jadi istri. Dia hanya sampah," ujarnya dengan penuh kebencian, memutar cangkir kopi di tangannya.

Nadine menggigit bibirnya, berusaha menahan isaknya. Kata-kata Clara seperti pisau yang terus menusuk hati, mengingatkan dirinya akan betapa rendahnya posisinya di mata mereka. "Maaf..." hanya itu yang bisa ia ucapkan, suaranya tercekat.

Di ruang itu, ada begitu banyak kata yang tak terucapkan. Ada begitu banyak luka yang tersembunyi, yang kini harus ia telan sendiri.

---

Di Kamar Tidur Nadine

Malam semakin larut, namun Nadine tidak bisa tidur. Matanya terbuka lebar, namun pikirannya terperangkap dalam kenangan yang gelap. Kenangan yang datang begitu tiba-tiba, menyusup dalam benaknya. Pikirannya kembali ke malam itu, malam yang penuh dengan kekeliruan dan ketidakberdayaan.

Suara Arman kembali terngiang di telinganya. "Nadine... ini salahmu. Kau menggoda aku hingga aku kehilangan kendali." Kata-kata itu masih menghantui dirinya, bahkan kini lebih keras dari sebelumnya.

Nadine menggenggam perutnya, merasakan getaran kecil di dalamnya. "Maafkan Mama, Nak. Mama hanya ingin kau lahir dengan selamat..." bisiknya lirih, berbicara pada bayi yang kini tumbuh dalam rahimnya.

Setiap malam, ia merasakan kesakitan-fisik maupun emosional-namun ia tahu, bayi ini adalah satu-satunya alasan ia bertahan. Tanpa bayi itu, ia tak tahu apakah ia bisa terus hidup dalam kebisuan ini.

---

Pagi Harinya

Ketika matahari sudah menyinari rumah, Clara berdiri di depan pintu kamar Nadine dengan ekspresi yang mengesalkan. "Cepat bersihkan rumah. Aku muak melihat debu di mana-mana," perintah Clara dengan nada tajam.

Nadine hanya mengangguk, menyembunyikan rasa sakit yang semakin dalam. Ia tahu, membantah hanya akan memperburuk segalanya. Tanpa sepatah kata pun, ia bangkit dan mulai membersihkan rumah. Namun, saat sedang menyapu ruang tamu, Clara dengan sengaja menumpahkan kopi ke lantai, seakan sengaja menantang Nadine.

"Aduh, aku ceroboh. Bersihkan ini juga, Nadine," Clara berkata sambil tersenyum sinis, menikmati penderitaan yang ditimpakan pada Nadine.

Nadine menahan napas, mencoba untuk tidak terbawa emosi. Ia hanya bisa mengangguk dan membersihkan lantai yang basah, sementara dalam hatinya bergumul rasa sakit yang semakin dalam.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Gavin
5.0

Suamiku, Banyu, dan aku adalah pasangan emas Jakarta. Tapi pernikahan sempurna kami adalah kebohongan, tanpa anak karena kondisi genetik langka yang katanya akan membunuh wanita mana pun yang mengandung bayinya. Ketika ayahnya yang sekarat menuntut seorang ahli waris, Banyu mengusulkan sebuah solusi: seorang ibu pengganti. Wanita yang dipilihnya, Arini, adalah versi diriku yang lebih muda dan lebih bersemangat. Tiba-tiba, Banyu selalu sibuk, menemaninya melalui "siklus bayi tabung yang sulit." Dia melewatkan hari ulang tahunku. Dia melupakan hari jadi pernikahan kami. Aku mencoba memercayainya, sampai aku mendengarnya di sebuah pesta. Dia mengaku kepada teman-temannya bahwa cintanya padaku adalah "koneksi yang dalam," tetapi dengan Arini, itu adalah "gairah" dan "bara api." Dia merencanakan pernikahan rahasia dengannya di Labuan Bajo, di vila yang sama yang dia janjikan padaku untuk hari jadi kami. Dia memberinya pernikahan, keluarga, kehidupan—semua hal yang tidak dia berikan padaku, menggunakan kebohongan tentang kondisi genetik yang mematikan sebagai alasannya. Pengkhianatan itu begitu total hingga terasa seperti sengatan fisik. Ketika dia pulang malam itu, berbohong tentang perjalanan bisnis, aku tersenyum dan memainkan peran sebagai istri yang penuh kasih. Dia tidak tahu aku telah mendengar semuanya. Dia tidak tahu bahwa saat dia merencanakan kehidupan barunya, aku sudah merencanakan pelarianku. Dan dia tentu tidak tahu aku baru saja menelepon sebuah layanan yang berspesialisasi dalam satu hal: membuat orang menghilang.

Balas Dendam Kejam Sang Mantan

Balas Dendam Kejam Sang Mantan

Gavin
5.0

Perusahaanku, CiptaKarya, adalah mahakarya dalam hidupku. Kubangun dari nol bersama kekasihku, Baskara, selama sepuluh tahun. Kami adalah cinta sejak zaman kuliah, pasangan emas yang dikagumi semua orang. Dan kesepakatan terbesar kami, kontrak senilai 800 miliar Rupiah dengan Nusantara Capital, akhirnya akan segera terwujud. Lalu, gelombang mual yang hebat tiba-tiba menghantamku. Aku pingsan, dan saat sadar, aku sudah berada di rumah sakit. Ketika aku kembali ke kantor, kartu aksesku ditolak. Semua aksesku dicabut. Fotoku, yang dicoret dengan tanda 'X' tebal, teronggok di tempat sampah. Saskia Putri, seorang anak magang yang direkrut Baskara, duduk di mejaku, berlagak seperti Direktur Operasional yang baru. Dengan suara lantang, dia mengumumkan bahwa "personel yang tidak berkepentingan" dilarang mendekat, sambil menatap lurus ke arahku. Baskara, pria yang pernah menjanjikanku seluruh dunia, hanya berdiri di sampingnya, wajahnya dingin dan acuh tak acuh. Dia mengabaikan kehamilanku, menyebutnya sebagai gangguan, dan memaksaku mengambil cuti wajib. Aku melihat sebatang lipstik merah menyala milik Saskia di meja Baskara, warna yang sama dengan yang kulihat di kerah kemejanya. Kepingan-kepingan teka-teki itu akhirnya menyatu: malam-malam yang larut, "makan malam bisnis", obsesinya yang tiba-tiba pada ponselnya—semua itu bohong. Mereka telah merencanakan ini selama berbulan-bulan. Pria yang kucintai telah lenyap, digantikan oleh orang asing. Tapi aku tidak akan membiarkan mereka mengambil segalanya dariku. Aku berkata pada Baskara bahwa aku akan pergi, tetapi tidak tanpa bagianku sepenuhnya dari perusahaan, yang dinilai berdasarkan harga pasca-pendanaan dari Nusantara Capital. Aku juga mengingatkannya bahwa algoritma inti, yang menjadi alasan Nusantara Capital berinvestasi, dipatenkan atas namaku seorang. Aku melangkah keluar, mengeluarkan ponselku untuk menelepon satu-satunya orang yang tidak pernah kusangka akan kuhubungi: Revan Adriansyah, saingan terberatku.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku