Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Prang!
“Semua selalu saja Kia, Kia, dan Kia! Anak Mama dan Papa ada dua, ada aku dan bukan hanya, Kia!” teriak Sasmitha, saudari kembar Saskia.
“Apa-apaan kamu Mitha, jangan seperti anak kecil yang merengek seperti itu. Memang kenapa jika kamu yang mengerjakan semuanya? Kalau kamu tidak mau, silahkan kamu pergi saja dari rumah ini!” teriak Bandi dengan lantang. Bagai mimpi buruk, Mitha tak menyangka Sang Papa dengan mudah mengusirnya.
“Pa, jangan usir Mitha. Kia bisa kok membantu Mitha, kasihan Mitha jika Papa usir dia,” bujuk Kia dengan wajah memelas.
“Halah, tidak usah kamu peduli sama aku. Lihat, Papa mengusir aku hanya demi kamu! Puas kamu, Kia. Aku benci sama kamu!” Mitha berlari menuju kamarnya dan mengunci pintunya. Mitha menangis sesenggukan, membanting semua barang yang ada di hadapannya.
“Gue benci lo, Kia! Elo udah rebut semuanya dari gue. Lihat saja, gue bakal bikin elo gak tenang!” ucap Mitha.
Mitha menatap pantulan dirinya di cermin lalu tersenyum sinis. Entah apa yang ada dalam otak kecilnya itu, tiba-tiba dia tertawa dengan keras.
“Tunggu pembalasan dari gue, saudari kembarku.” Mitha merebahkan diri dan memejamkan matanya.
*****
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu terdengar begitu kencang di kamar Mitha, membuatnya mau tak mau bangun dari tidurnya.
“Mitha, bangun kamu. Masak dan bersihkan rumah, cepat!” Ketukan pintu semakin terdengar kencang.
“Ck, masih setengah lima!” gumamnya. Namun, ketukan pintu terdengar semakin keras dan intens.
“Iya, sabar!” teriak Mitha.
“Kaya gak ada manusia lain aja di sini, selalu gue dan gue. Apa susahnya mereka bantu gue? Gue anak mereka atau babu di sini sebenarnya?” gerutunya.
Mitha pun dengan gegas membersihkan rumah dan memasak. Semua selesai tepat pada waktunya. Meski tak terlihat akur, tetapi keluarga Mitha selalu makan di meja yang sama.
“Mitha, kamu berangkat menggunakan angkutan umum saja. Papa dan Mama akan mengantar Kia lomba,” ucap Bandi.
“Betul, lihat Kia, sudah pandai, selalu ikut lomba dan mendapat nilai tinggi. Mama dan Papa bangga dengan Kia, tidak seperti kamu yang entah lah,” sindir Nawang, Mama Mitha.
Brak!
Mitha bangkit dari duduknya lalu berpamitan kepada kedua orang tuanya. Tanpa basa-basi, Mitha berlalu meninggalkan mereka semua.
“Puji, bandingkan terus gue sama dia. Kalian pikir gue gak muak dengarnya? Males gue sekolah, harus ketemu dia lagi, ngeliat dia disanjung, dibicarakan semua orang padahal manusianya aja gak hadir di sekolah.” Mitha menghentikan langkah kakinya, netranya terpaku pada selebaran kertas yang tertuju pada tiang listrik.
“Lowongan? Apa gue lamar aja di sini? Gue coba, ah!” Mitha mengambil selebaran berisi info lowongan kerja dan berjalan mencari tempat tersebut. Tak membutuhkan waktu lama, Mitha menemukan tempat itu dan masuk ke dalamnya.
“Permisi, apakah benar di sini mencari pekerja freelance?” tanya Mitha.
“Ya, benar. Ada yang bisa saya bantu?” ucap wanita cantik dengan lesung pipit menghiasi pipinya.
“Saya mau melamar pekerjaan di sini. Apa saja, saya mau,” ucap Mitha dengan wajah penuh harap.
“Apa kamu masih sekolah?” tanya wanita itu. Mitha terdiam. Dia ingin menjawab ‘iya’ tetapi takut tidak diterima, jika dia jawab ‘tidak’ dia pun tak sanggup.
“Gak usah takut, jika kamu masih sekolah, tak apa. Tetapi, saya butuh izin dari orang tua kamu, bisa?” tanya wanita itu. Mitha pun menyanggupinya.
“Baiklah, pertama-tama, kenalkan saya Nadia,” ucapnya sambil mengulurkan tangannya.
“Sasmitha, panggil saja Mitha,” jawab Mitha membalas uluran tangan Nadia.
“Baiklah, besok kamu bisa mulai bekerja setelah pulang sekolah. Dan saya meminta nomor telepon kamu agar saya mudah menghubungi kamu.” Mitha dan Nadia pun bertukar nomor telepon.
Mitha pun diantar sekolah oleh Nadia. Mitha tersenyum senang karena dia mendapatkan pekerjaan sampingan.
Tetapi Mitha pun harus memikirkan alasan yang dia berikan kepada kedua orang tuanya jika ia sering pulang terlambat.
Selama pelajaran berlangsung, Mitha memikirkan alasan apa yang akan dia berikan kepada kedua orang tuanya agar tidak dimarahi jika pulang terlambat.
“Mitha! Mitha!” Pekikan terdengar lantang dari Raga, guru fisika.