Sancho Jorell adalah seorang pria bangsawan yang terkenal dan berkuasa di negaranya, Denzel. Sudah menjadi rahasia umum bahwa keluarganya yang berjaya memperoleh kekuasaan mereka dengan bersekutu pada kerajaan setan yang bernama Grazian. Suatu hari Sancho menikahi seorang gadis 20 tahun lebih muda darinya bernama Molek agar gadis itu dapat menjadi korban persembahan. Sayangnya pernikahan mereka membawa tragedi yang membuat Sancho memilih menghilang dari keluarga besarnya. 150 tahun berlalu. Malaikat turun ke bumi untuk merobohkan kekuasaan keluarga Jorell dan Grazian. Soa Mannaf, gadis strata bawah di negara Denzel menjadi yang terpilih untuk melakukannya. Anehnya, sejak saat itulah Soa merasakan sakit yang sama seperti yang pernah dirasakan Molek. Cover by: pexel
Melvin, Denzel 1870.
"Kau tahu betul, kalau aku memerintahkanmu menikahinya agar dia bisa menjadi korban persembahan di keluarga kita, bukan?"
Pria berambut putih itu sungguh terlihat berwibawa. Garis mukanya keras, dan sorot matanya terkesan sangat dingin. Usianya sudah menginjak 75 tahun, namun tulang di tubuhnya masih menyangga diri dengan sangat gagah. Ia terduduk di kursi kebesarannya, menunjukkan eksistensinya bahwa ia adalah seorang penguasa utama.
"Ya – aku ingat Ayah."
Di depan pria tua itu duduk, ada pria lain yang usianya setengah lebih muda darinya. Lelaki itu sedang berdiri tertunduk lemah seperti orang yang kalah. Ia sama sekali tak terlihat memiliki keberanian untuk memandang balik sosok yang dipanggilnya ayah.
'BRAKK' - "Lalu kenapa kau melindunginya!!!" suara gebrakan meja dan bentakan pria tua itu menambah ketegangan di antara mereka. Ia bangkit berdiri di baliknya dengan tatapan penuh amarah.
"Ma – maafkan aku, Ayah. Aku – aku ...."
"Mencintainya?!" pria tua itu langsung menyela.
Sang putra memilih diam. Sulit baginya mengakui perasaan.
"SANCHO?! JAWAB AKU!" bentak pria tua itu lagi.
Sancho memberanikan diri mengangkat wajahnya. "Iya ayah. Aku mencintai Molek."
Mata pria itu menyipit. "Apa kau bilang?" ujarnya merasa tak habis pikir. Lalu terbahak-bahak ia sambil menjatuhkan tubuhnya kembali ke atas kursi. Tawanya mengisi setiap sudut ruang, membangkitkan getaran ketakutan di hati yang mendengar, bahwa itu adalah tawa sebuah ancaman. Sedetik kemudian ia kembali berubah bengis, "DASAR ANAK BODOH!!!"
"Maafkan aku Ayah, tetapi aku tidak bisa menahan perasaanku pada Molek. Aku sudah mencoba menepisnya, tapi aku tidak mampu." Ia yang dipanggil Sancho tidak dapat lagi menahan diri. Lelaki itu sadar, sudah percuma jika berusaha bersembunyi.
"Perasaan kau bilang?! Jika keluarga kita mengutamakan perasaan maka sudah sejak dulu kejayaan ini tidak akan pernah ada!"
Mulut Sancho terkunci rapat-rapat, ia tak mampu membalikkan kata-kata ayahnya. Tak ada yang bisa ditepis, nyatanya kekuasaan keluarganya berdiri memang tanpa memikirkan perasaan siapa pun. Menindas mereka yang lemah, menawarkan fatamorgana yang indah, bersekutu pada roh nenek moyang yang sama berambisinya, menjadi sebuah tradisi turun temurun di dalam keluarganya agar takhta mereka tidak punah. Dalam hati kini Sancho cuma bisa berharap, istri yang dicintai tidak akan terluka karena rahasia perasaannya telah terbongkar.
"Kita tidak bisa lagi menahan wanita itu, Grazian sudah sangat menginginkannya!"
"Tidak, Ayah! Aku tidak akan membiarkan jiwanya menjadi budak di sana!"
"Apa katamu?! Jadi sekarang kau sudah berani menentangku?!"
"Aku tidak bermaksud menentangmu Ayah. Beri aku waktu mencari penggantinya, asal jangan Molek!"
"Grazian menginginkan Molek!"
"Tidak Ayah!"
"Astaga! Apa-apaan kau ini! Apa kau ingin bermain-main dengan leluhurmu!"
"Bukan begitu maksudku."
"Cukup! Siapkan ritual pengorbanannya malam ini juga!"
"Tidak, Ayah! Kumohon tidak!" Sancho berlutut di hadapan ayahnya. "Aku mohon jangan dia. Biarkan aku bersamanya, ini pertama kalinya aku merasakan cinta pada seseorang, Ayah."
"Sancho! Untuk apa kau mengorbankan dirimu pada wanita yang tidak setia itu!"
Mata Sancho terbuka lebar, ia sama sekali tak mengerti dengan ujaran ayahnya. "Apa maksud Ayah?"
Pria tua itu mendengus sinis. "Sudah kuduga kau belum mengetahui hal ini."
Sancho kembali berdiri, dahinya mengerut dan benaknya penuh tanda tanya. "Belum mengetahui?"
"Kau harus tahu. Melindunginya adalah sebuah kebodohan besar. Wanita itu tidak pantas mendapatkan perasaanmu. Dia hanyalah wanita yang tidak bisa menjaga kehormatannya sebagai seorang istri."
"Apa maksud Ayah?!" suara Sancho mulai meninggi.
"Istrimu – dia sudah berselingkuh dengan ajudannya sendiri."
"Apa! Tidak, Ayah. Itu tidak mungkin!"
"Lihatlah. Cinta bahkan sudah membutakanmu. Sancho yang kukenal adalah sosok yang jeli dan tidak pandai ditipu. Namun perasaanmu pada wanita itu telah melemahkanmu, sampai-sampai kau tidak tahu kalau dia dan Arandra telah bermain di belakangmu."
Bagai sebuah tebasan pedang yang mematikan. Sancho merasa tubuhnya terbelah, rasa sakit di kulitnya begitu pedih menyayat. Mata pria itu berkaca-kaca, mulutnya sulit terkatup dan nafasnya serasa susah dihirup.
"Tidak mungkin," Sancho masih tidak ingin percaya. Akan tetapi ia tahu, kebohongan tidak pernah ada di antara ia dengan ayahnya.
"Jika kau tidak mempercayai ayahmu – tanyakan saja langsung pada istrimu."
***
Di sudut istana. Seorang wanita terlihat asyik mengurus tanaman bunganya. Wajahnya terlihat berseri-seri seindah tumbuhan yang ia sirami. Beberapa kali ia terlihat tersenyum. Menegaskan pesona indah di dirinya yang masih tersisa. Bibir merahnya masih seperti mawar pagi, bulat matanya masih bagai purnama, kulitnya cerah tak bernoda, namun lekuk tubuh ideal itu kini terlalu kurus dari bobot seharusnya.
"Nyonya memang sangat pandai mengurus bunga-bunga ini," seorang gadis yang bertubuh mungil di sampingnya memuji.
"Ah, kau ini Jane. Aku tidak akan bisa mendapatkan taman seindah ini kalau bukan kau yang membantuku."
"Ini tugas yang menyenangkan buatku, Nyonya." Tambah gadis itu tersenyum bersemangat.
"Terima kasih, Jane – kau, Arandra, dan bunga-bunga ini adalah penghiburku di istana."
"Benarkah? Jadi aku sangat berarti bagi Nyonya?" Jane terlihat sangat senang.
Wanita itu tersenyum lebar melihat ekspresi Jane. "Tentu saja. Aku pasti akan merasa sangat kesepian jika tanpa kalian. Kalian sangat berarti bagiku. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan jika aku sendirian di sini. Kalian bukan sekedar asistenku dan pengawalku, tetapi juga sahabat untukku."
Jane begitu merasa tersanjung mendengar ungkapan hati majikannya. "Lihatlah kalian, Nyonya Molek sudah sangat baik padaku. Maka janganlah kalian bermalas-malasan dalam bermekaran!" celetuk Jane sengaja berseloroh pada deretan bunga-bunga di depannya. Sontak saja tingkahnya membuat Molek tertawa. "Hei kau, tumbuhlah dengan subur agar Nyonya betah di istana. Aku perhatikan kau sulit sekali berkembang," Jane masih terus saja berkelakar sambil menunjuk-nunjuk, mengomel pada sebuah lahan bunga Hycinth tak jauh darinya dan Molek berjongkok. Jane yang mungil memang sangat menikmati jika ia berhasil membuat majikannya tertawa.
Tak lama kemudian, di tengah senda gurau mereka seorang pria dengan setelan jas hitam menghampiri. Kedatangannya mengubah wajah keduanya menjadi terpasang tegang. Terutama Molek, hal yang sama kembali ia rasakan. Perasaan tidak enak jika pria itu menghampirinya.
Lelaki itu memulakan sapaannya kepada Molek dengan sedikit menundukkan kepala. "Permisi, Nyonya."
"Ada apa Bob?" tanya Molek sambil berdiri.
"Tuan Sancho menunggu Anda di ruang kerjanya."
Molek sudah menduga, pastilah pria itu datang untuk membawa kabar dari Sancho. Degup jantungnya terasa cepat, tiap kali nama itu memberi perintah untuk datang menemuinya. "Bukankah dia sedang bersama Ayah?" tanya Molek berharap masih ada celah untuk menunda perjumpaan mereka.
"Mereka sudah selesai bicara, dan Tuan Boman baru saja meninggalkan istana."
Mengangguk-angguk Molek memahami. "Baiklah. Sampaikan padanya aku mengganti pakaianku dulu."
"Baik, Nyonya."
"Oh ya, Bob. Sejak pagi aku tidak melihat Arandra. Kau tahu di mana dia?"
"Dia sedang ada perjalanan ke luar kota, Nyonya."
"Apa?! Kenapa dia tidak mengabariku? Bagaimana mungkin pengawal pribadiku sendiri tidak memberiku kabar apa pun."
"Maaf Nyonya, aku kesini juga sekalian ingin memberitahu Anda." Molek terlihat menyimak penuh saksama. "Mulai hari ini. Tuan Boman memerintahkan Arandra untuk tidak lagi melayani Anda. Akan ada pengawal lain yang menggantikannya."
"Apa?! Kenapa?!"
Buku lain oleh Sarangheo
Selebihnya