Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
1.1K
Penayangan
13
Bab

Floretta Wedsey berasal dari keluarga Wedsey yang sangat terpandang. Dia sangat dekat dengan ayahnya. Bisa dibilang dia anak daddy. Namun karena suatu hal, dia terpaksa harus membenci ayah yang sangat dia sayangi dan meninggalkan negara tempatnya lahir dan berkembang. Sejak saat itu, dia merasa dunia sangat kejam padanya. "Semuanya tidak adil! Kenapa harus aku yang merasakan semua ini?! Kenapa Tuhan?! Arghhhh!" Hingga saat dia bertemu dengan seorang pria yang bernama Almero Manuelson Gredragh. Keduanya menjalin hubungan, tapi, tanpa Floretta sadari ternyata Almero adalah anak dari masa lalu ayahnya. "Kita tetap akan menjalani hubungan ini, Sayang." Apakah Floretta akan tetap bersama Almero setelah tahu siapa ayahnya Almero? Dan apakah keduanya tetap akan bersama? Baca kelanjutannya di THE FLORETTA

Bab 1 Pertemuan Tak Terduga

Floretta sayang," panggil seorang pria yang usianya setengah baya.

"Ya Dad, ada apa?"

Floretta bertanya sambil terus melangkahkan kakinya ke arah sang ayah yang tadi memanggilnya. Di sebelah tangan Floretta, terdapat camilan kesukaannya.

"Kemari, Daddy ingin bicara."

Floretta mendudukan tubuhnya di sofa sebelah ayahnya. Kemudian dia menaruh camilan di atas meja.

"Ada apa Dad?"

"Ayo kita ke makam mommy," ajak Reagan Wedsey yang merupakan ayah kandung Floretta.

Floretta mengangguk dengan semangat. "Ayo Dad, sebentar ya aku akan siap-siap dulu."

Setelah mendapat anggukan dari sang ayah, Floretta segera berlari menuju tangga dengan semangat yang membara.

"Hati-hati Sayang," teriak Reagan karena takut putrinya tersandung anak tangga.

Reagan menggeleng melihat kelakuan putri semata wayangnya. Dia mengambil camilan yang dibawa oleh Floretta dan memakannya.

"Emily, tunggu sebentar ya, kami akan datang ke sana," gumamanya dengan pandangan kosong.

***

"Oke, sudah sampai," ujar Reagan setelah memarkirkan mobil kesayangan istrinya di parkiran pemakaman elit.

Floretta melihat sekitar. Ada beberapa mobil yang terparkir di sini, tapi tidak ada orang satupun.

Pandangan Floretta terhenti pada ayahnya yang sedang tersenyum sembari mengusap sesuatu di dalam dompetnya.

Floretta memicingkan matanya untuk mengisi rasa penasaran pada apa yang membuat sang ayah tersenyum sembari mengusap-usap sesuatu.

Floretta terdiam kala melihat benda yang diusap oleh sang ayah. Itu adalah foto terakhir sebelum ibunya pergi ke tempat yang indah. Foto itu diambil saat keluarga kecil mereka bermain ke pantai dan Floretta masih berusia 10 tahun.

Floretta mengalihkan pandangannya agar bulir-bulir halus tidak menetes. Dia tidak ingin memperlihatkan air mata saat akan mengunjungi ibunya.

"Dad, ayo. Mommy pasti sudah menunggu," ajak Floretta agar sang ayah tidak terlarut dalam kenangan masa lalu.

"Ah ya, ayo."

Reagan seperti orang gelagapan. Setelah putrinya mengajak untuk segera masuk, dia langsung memasukkan foto itu ke dalam dompet dan keluar dari mobil bersamaan dengan Floretta.

Keduanya berjalan beriringan di jalan yang lumayan besar dan diapit oleh deretan makam.

Floretta menghela napas lega saat melihat beberap orang sedang berziarah. Jujur, dia lumayan takut saat berjalan menuju makam ibunya. Tapi setelah berziarah, dia merasa lebih lega dan tiba-tiba saja rasa takut itu hilang.

Floretta tersenyum dan duduk di tanah. Dia mengusap-usap batu nisan dengan sayang.

"Mom, Flo datang. Maaf ya Mom, Flo akhir-akhir ini jarang mengunjungi Mommy. Tapi Flo janji, Flo akan rajin mengunjungi Mommy dan curhat ke Mommy. Mommy yang tenang ya di sana. Tunggu Flo dan daddy ya. Supaya kita bisa bersama lagi."

Floretta mengusap bulir bening yang meluncur bebas. Dia menoleh pada ayahnya yang sedang mengusap-usap nisan sambil menatap gundukan tanah yang telah ditutupi rumput.

Reagan menebarkan bunga di atas makam istrinya. Begitupula dengan Floretta. Setelah menebar bunga, Floretta menyiraminya dengan air wewangian.

Floretta menatap ke langit. Tidak ada lagi awan mendung yang menghias langit. Kini langit sedang menunjukkan keceriaannya.

"Flo sudah?"

Floretta mengangguk.

"Ayo pulang," ajak Reagan setelah melihat ke pergelangan tangannya.

Floretta yang paham kalau ayahnya habis ini masih ada kegiatan pun memilih untuk mengiyakan. Padahal dia ingin berlama-lama di sini dan menceritakan apa yang sudah terjadi akhir-akhir ini pada ibunya.

"Ya, Dad."

Floretta menatap makam ibunya dan berucap. "Mom, Flo pulang dulu ya. Nanti Flo datang ke sini lagi. Istirahat yang tenang ya Mom."

"Sayang, aku pergi dulu ya. Lusa aku akan ke sini lagi. Sampai ketemu lusa, Sayang," ujar Reagan sembari memberi kecupan di nisan sang istri.

Floretta pun memberikan kecupan pada nisan ibunya dan memeluknya sebentar.

"Goodbye Mom, aku pergi dulu," ucapnya dengan pelan.

Reagan berdiri dan diikuti oleh Floretta. Keduanya kembali berjalan beriringan menuju pintu keluar.

Saat mereka hampir keluar dari gerbang tiba-tiba saja ada yang memanggil nama Reagan.

"Tuan Wedsey."

Reagan tersenyum pada pemuda yang menyapanya.

"Selamat siang Tuan Wedsey dan Nona Floretta," sapanya lagi.

"Siang," balas Floretta setelah tahu kalau pria itu adalah orang yang lumayan dekat dengan ayahnya.

"Biar Saya tebak, pasti kalian habis mengunjungi makam nyonya Emily," tebak pria itu sebagai basa-basi.

Sebenarnya itu bukan basa-basi, memang orangnya seperti itu.

"Ya, apakah kau juga ingin mengunjungi makam istrimu?"

"Tentu Tuan Wedsey, sudah sebulan Saya tidak mengunjunginya."

Reagan manggut-manggut.

"Kalau begitu Saya ke sana dulu ya Tuan, Nona. Semoga harimu baik dan selalu dalam lindungan Tuhan," ucap pria itu.

Reagan mengangguk dan mengucapkan hal yang sama pada pria itu.

Reagan dan Floretta kembali melanjutkan langkahnya yang terhenti.

"Dad, apakah Daddy sibuk?" tanya Floretta setelah mobil yang dikendarai Reagan keluar dari area pemakaman.

Reagan menoleh pada sang putri. "Ada apa hm?"

Bukannya menjawab, Reagan malah balik bertanya.

Reagan sengaja seperti itu karena ingin tahu apa yang diinginkan oleh putrinya. Kalau dia sanggup memenuhinya, maka urusannya akan dia kesampingkan dan mengutamakan putri semata wayangnya.

Floretta menggeleng. "Tidak, aku hanya bertanya saja, Dad."

Reagan tahu kalau Floretta sedang berbohong padanya. Dia pun tahu kalau Floretta ingin mengajaknya ke suatu tempat.

"Katakan saja, Sayang. Kalau memungkinkan Daddy akan meluangkan waktu Daddy untukmu."

"Aku ingin makan siang dengan Daddy," ungkap Floretta tanpa menatap ayahnya.

Reagan terkekeh. "Baiklah. Kita akan makan bersama siang ini. Apakah kamu punya rekomendasi restoran, Flo?"

"Ada! Aku yakin Daddy pasti menyukai makanannya. Oiya, lagipula restorannya tidak terlalu jauh dari kantor Daddy," ucap Floretta dengan semangat.

Reagan melirik putrinya. Dia mengangkat kedua sudut bibirnya. Lagi-lagi sikap dan perilaku Floretta mengingatkannya pada Emily, mendiang istrinya.

"Sudah cukup lama Emily pergi, tapi rasanya aku belum benar-benar bisa mengikhlaskan kepergiannya," batin Reagan.

Setiap hari, ada saja sikap Floretta yang sangat mirip dengan Emily. Hal itu menjadi salah satu penyebab dia merindukan kehadiran istrinya. Mau menampik tapi tidak bisa. Wajah Floretta adalah versi wajah Emily saat muda.

"Dad, alamatnya ada di jalan Emerlad 3A," ucap Floretta membuat Reagan tersadar.

"Oke, kita dalam perjalanan."

***

Floretta menaruh tisu yang sudah terpakai. Dia menatap sang ayah yang sedang menikmati minumannya.

"Bagaimana Dad? Tidak salah 'kan pilihanku," ucap Floretta memuji dirinya sendiri.

Reagan terkekeh. "Ya, ya, pilihanmu tidak pernah salah, Flo."

Floretta semakin tersenyum bangga saat ayahnya mengiyakan ucapannya tadi.

"Habis ini Daddy ada rapat?"

Reagan mengangguk. "Daddy ada rapat dengan perusahaan Giolevs dan rapat internal saja. Ada apa Flo? Ada sesuatu yang kamu inginkan hm?"

Floretta menggeleng. "Tidak Dad. Apa Daddy tidak lelah menjalani semuanya di usia Daddy yang sekarang?"

"Kamu pikir Daddy sudah tua, hah?" tanya balik Reagan sembari menaikkan sebelah alisnya.

"Menurutku ya. Ayahnya Bruno sudah mengambil pensiun, Dad."

"Oh, pantas saja pertemuan dua hari lalu yang datang hanya Bruno," gumam Reagan yang masih bisa di dengar oleh Floretta.

Floretta menaikkan kedua alisnya. Dia sedikit tidak percaya pada apa yang diucapkan oleh ayahnya. Bagaimana bisa seorang Bruno yang dulu kerjaannya hanya bermalas-malasan memimpin sebuah perusahaan?

Bukannya Floretta meragukan kemampuan Bruno. Hanya saja hal ini sedikit sulit untuk dicerna.

"Mungkin hanya pensiun seminggu," celetuk Reagan.

Floretta mengangguk setuju. "Bisa jadi. Mungkin juga ayahnya Bruno sedang berlibur ke luar negeri."

"Dad, aku ingin ke kantor," ucap Floretta.

Reagan menatap tidak percaya pada sang putri. Biasanya putrinya sangat anti dengan yang namanya urusan kantor. Tapi dibalik rasa kagetnya, dia merasa senang, akhirnya Floretta ingin datang ke kantor.

"K-kamu yakin Flo?" tanyanya terbata karena saking kagetnya.

Floretta mengangguk mantap. "Ya Dad, sudah lama aku tidak ke kantor. Rasanya aku merindukan suasana kantor," terang Floretta.

Reagan mengangguk. "Oke, setelah ini Daddy akan ke kantor dan kamu ikut bersama Daddy. Perlu membeli sesuatu?"

Floretta menggeleng. Ayahnya masih saja sama seperti dulu.

"Tidak perlu Dad. Kalau nanti saat di kantor tiba-tiba aku pengen makan sesuatu, aku akan membelinya."

Reagan mengangguk. Dia melirik pada jam yang ada di layar ponselnya.

"Ayo ke kantor sekarang, rapatnya akan dimulai 15 menit lagi."

***

Floretta menatap sekeliling. Saat ini dia berada di dalam ruangan ayahnya. Sedangkan sang ayah langsung pergi ke ruang rapat setelah tiba di gedung ini.

"Masih sama," gumam Floretta sembari terus menatap sekeliling.

Furniture, warna cat dinding, dan sofa masih sama seperti terkahir kali Floretta datang kemari. Sekitar dua tahun yang lalu.

Pandangan perempuan bermanik coklat terang itu tertuju pada figura besar yang berada di sebelah kanan tubuhnya.

Tanpa sadar kedua sudut bibirnya tertarik ke atas.

Figura itu masih ada di sana. Foto keluarga yang diambil 11 tahun lalu, masih menempel kokoh di situ.

"11 tahun lalu atau 12 tahun yang lalu ya. Astaga aku melupakannya," gumam Floretta sembari mengingat-ingat kapan foto itu diambil.

Floretta melangkah menuju meja kerja sang ayah dengan kursi kebesarannya yang gagah dan elegan.

Lagi dan lagi, pandangan Floretta terkunci. Pandangannya terkunci pada tiga figura kecil yang ada di atas meja.

Foto keluarga, foto pernikahan orangtuanya, dan kolase foto saat dirinya digendong ayah dan ibunya.

'My lovely daughter right now and forever'

Floretta terharu dengan tulisan singkat itu.

"Daddy," rengeknya sambil mengusap sudut mata yang berair.

Reagan adalah tipe pria yang sangat menyayangi keluarganya. Meskipun masa kecilnya yang didik keras oleh sang ayah tidak membuatnya untuk melakukan hal demikian dalam pola didik. Dia ingin sang anak merasakan kehangatan keluarga yang sebenarnya tanpa ada paksaan, kekerasan, dan jarak diantara dirinya dan sang anak.

Floretta mengeluarkan ponselnya dari dalam tas dan memotret ketiga figura yang saling berdekatan itu. Dia meninggalkan area meja dan kursi kebesaran sang ayah.

Langkah kakinya membawa Floretta pada sofa di ruangan itu. Dia menjatuhkan tubuhnya di atas sofa yang sangat nyaman itu.

Floretta memainkan ponselnya untuk mengusir rasa ngantuk yang tiba-tiba saja datang agar saat ayahnya masuk ke ruangan ini tidak melihat dirinya tertidur pulas di sofa.

Setelah hampir dua jam lamanya dia bermain ponsel, Floretta ingin pergi keluar untuk melihat-lihat apa saja yang menarik di sekitar kantor ayahnya.

Tanpa banyak pertimbangan, dia langsung pergi keluar ruangan ayahnya dengan hanya membawa ponsel saja.

Terik matahari yang lumayan menyengat langsung menyapa kulit Floretta. Floretta berada di trotoar yang hanya berjarak belasan meter dari gedung kantor ayahnya.

Kendaraan roda empat berlalu lalang di sebelahnya. Suara klakson mobil pun tidak bisa dihindari karena siang ini jalanan yang padat kendaraan. Lokasi gedung kantor ayahnya berada di area khusus bisnis, yang mana area ini akan selalu sibuk dan orang-orang akan saling mengejar waktu.

Floretta terus melangkah sampai ke perempatan jalan. Dia bergabung dengan beberapa pejalan kaki yang sedang menunggu lampu hijau untuk pejalan kaki.

Lampu hijau khusus pejalan kaki menyala. Kini gantian mereka yang memakai jalan setelah kendaraan-kendaraan itu.

Floretta melangkah menuju taman kecil yang ada di area ini. Langkahnya tiba-tiba saja terhenti saat dia menangkap tubuh seseorang yang sangat dia kenali.

Merasa sedang ditatap, seseorang yang dilihat oleh Floretta menatap balik pada sang empu.

"Bukankah itu Flo," gumamnya.

Seseorang itu mengerutkan kening dan melangkah menuju Floretta.

"Oh astaga, kenapa aku harus bertemu dengannya! Merusak hariku saja!" batin Floretta dengan kesal.

Pasalnya saat ini dia hanya ingin menikmati siang yang cerah dengan hembusan angin sejuk ini dengan tenang. Tanpa ada gangguan dari luar. Termasuk seseorang yang sedang melangkah menuju dirinya. Dia salah satu dari perusak suasana hati seorang Floretta.

Angin sejuk membuat rambut brunette seseorang itu menari yang membuatnya terlihat sangat cantik. Tapi tidak dengan Floretta yang rasa kesal masih saja menyelimutinya setelah beberapa tahun.

Tanpa disadari seseorang itu sudah ada di depannya dan menyapa Floretta dengan ramah.

"Halo Floretta, apa kabar? Lama tidak melihatmu," sapa wanita itu dengan senyuman.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku