Cakrawala Wesley seorang pria muda berusia 18 tahun yang hidup mandiri tanpa orangtuanya. Merantau untuk kuliah sambil bekerja. Suatu hari kosan yang dia tinggali tiba-tiba ambruk. Mau tak mau dia harus mencari kosan baru untuk dia tempati. Lalu mencari pekerjaan untuk membayar kosan baru. Dengan bekal pengetahuan dan pengalaman kecil yang dia punya. Cakrawala melamar di sebuah barber shop kecil menjadi tukang cukur rambut. Bertemu dengan banyak pelanggan dengan macam-macam sifat. Bagaimana perjalanan hidup Cakrawala Wesley selanjutnya?
Perkenalan tokoh utama :
Hai semuanya! aku laki-laki tampan yang berdiri dipojok mini market dengan setelan baju ala kadarnya. Kaos pendek putih polos dan potongan bawah pendek pas dengan lututku. Btw celanaku warnanya hitam. Dengan dua kantong di kanan kiri yang sering aku isikan uang receh kembalian parkir.
Oh iya aku lupa, namaku Cakrawala Wesley. Wesley bukanlah margaku. Karena nama bapakku Surya aslinya Leon Dominic. Bapakku ganti nama setelah dia masuk Islam waktu dia umur 25 tahun saat menikahi ibuku. Aku blasteran Jawa- Perancis. Ibu Jawa, bapak Perancis.
Usiaku sekarang 18 tahun. Tahun lalu aku lulus SMA. Tahun ini aku baru mendaftar kuliah. Gapyear 1 tahun, sebab waktu itu aku memilih untuk bekerja lebih dahulu. Ya hitung-hitung cari pengalaman kerja biar tak terlalu grogi dan kaku ya.
Kalo pacar? Aku belum punya. Namanya juga mahasiswa baru. Jadi tak usahlah buru-buru bahas pacar.
Back to story :
Sudah 1 jam aku berkeliling di dalam Mindomart. Tak tahu alasannya apa, hanya saja berkeliling di tempat ber AC membuat diriku senang. Kapan lagi kan ngadem di bawah AC. Lagipula kamar kosanku tak ada AC. Hanya kipas angin kecil yang kepalanya mudah oleng jika tengok kanan tengok kiri.
Sampai-sampai seorang pelayan lelaki mengendap seperti di belakang. Sepertinya dia curiga padaku sampai dia mengawasi pergerakanku.
Kepalanya menyundul-nyundul di balik rak. Aku tidak menoleh tapi ekor mataku masih bisa melihat si mas itu kepo.
Mungkin dalam hatinya menggerutu.
"Nih orang pasti mau nyolong nih, awas aja bikin gue rugi gaji,"
Brug! Kutaruh ke dalam tas keranjang biru yang kujinjing di tangan kananku. Empat bungkus mi goreng seleraku. Makanan andalan anak kosan. Penyelamat di saat duit di dompet menipis.
Tak terasa keranjang tas nya sudah berat. Namun saat kutengok lagi ke dalam sana. Ah ternyata baru ada satu kaleng susu, satu kotak teh celup dan 4 bungkus mi goreng. Ternyata aku terlalu fokus pada price tagnya. Kukira isinya sudah penuh seperti tas ibu-ibu di sebelahku. Enak ya jadi ibu-ibu, aku jadi iri.
Harga memang harus ku hitung-hitung lagi. Mungkin saja uangku tak cukup untuk membayar makanan yang aku masukan ke dalam keranjang.
Nanti malu kalau sudah sampai kasir ternyata uangnya kurang, mau ditaruh dimana mukaku. Apalagi kasirnya mba-mba cantik, kan malu.
Memang nasib jadi anak kosan yang merantau jauh.
"Ini mba," aku menyodorkan keranjang belanjaan ku ke meja kasir. Si mba-mba Mindomart tersenyum manis membalas ku ramah.
Aku hampir saja terbang ke langit melihat senyumannya. Apakah si mba ini jatuh cinta padaku? Bodoh, aku tahu itu cuma formalitas.
"Ada kartu membernya dek?" tanyanya. Seketika langit runtuh, badanku juga ikut terjatuh. Apa dek?
"Waduuh mba jangan panggil saya dek, saya ini laki-laki 18 tahun," jawabku.
"Oh masih pantes kok, muka kamu lagian imut banget," si mba malah senyum. Jawaban si mba-mba bikin aku insecure.
Sampai kapan orang-orang berhenti memanggilku imut. Padahal kan cita-cita utamaku menjadi pria berotot, cool seperti pria sejati.
"Tapi saya gak suka mba kalau dipanggil dek, saya cocoknya dipanggil mas atau abang,"
"Iya iya deh mas," mba nya terus menghitung total belanjaan ku. Lalu memasukkannya ke dalam paper bag coklat.
"Nah gitu dong mba,"
"Dek eh mas, mas nya mau isi pulsa sekalian?" Nah kan keceletot lagi. Sebel deh aku.
"Gak usah mba," jawabku agak ketus.
"Harga paper bagnya 1500 rupiah jadi total belanjaannya 31.500 rupiah," jelasnya.
Aku terkejut mendengar harga paper bagnya. Harganya setara dengan es cekek di jalanan. Daripada buat bayar paper bag mending buat beli es cekek saja. Hah rugi besar aku.
"Astaga mba paper bagnya 1500?"
"Iya mas, masnya gak mau pake kantong gitu?"
"Ya udah gak papa deh mba," ya udahlah daripada aku bawa-bawa belanjaan pake tangan kosong malah repot nanti. Hmmm 1500 berhargaku.
"Ini mas kembaliannya," si mba menyerahkan kembaliannya padaku. Lagi-lagi dia tersenyum dengan mata sipit.
Aku berjalan keluar dari Mindomart. Ternyata di dalam lebih nyaman udaranya ketimbang di luar.
"Kenapa di luar panas banget sih?" Keluhku sambil menutup wajahku dengan paper bag.
Semenjak hidup mandiri aku jadi mendrama begini. Apa-apa serba mengeluh, apa-apa serba direnungi. Tapi ya namanya juga coba-coba.
Hanya belanja segini saja membuatku bahagia dan bersyukur ternyata aku masih bisa makan enak.
Sampai di depan kosan. Keajaiban terjadi, tiba-tiba saja aku tidak bisa melihat kosanku. Kemana dia? Apakah ditelan bumi?
Sebuah traktor besar telah berdiri di atas tanah kosanku. Paper bag jatuh seiring dengan mulutku yang menganga lebar.
Ibu kosan menghampiriku.
"Cakra kamu gak bisa tinggal di sini lagi!" ucap si ibu pemilik kosan. Wajahnya tanpa dosa.
"Kenapa bu?" tanyaku bingung sekaligus masih tak percaya. Aku kaget begini ibu kosan malah makin menakut-nakutiku.
"Kosannya sengaja mereka hancurkan buat pembangunan gedung sekolah, mereka sudah bayar ibu sekian juta, jadi ibu ikhlas buat digusur," jawab si ibu santai.
"Tapi kan bu Cakra udah bayar uang kosannya bulan ini, kalau bisa ibu kembalikan uang saya," pinta
"Itu resikomu, kan ibu udah bilang waktu itu ini kosan udah sepi, gak ada yang mau tinggal di sini lagi, kamu maksa aja mau tinggal di sini," jelasnya lalu melenggang pergi begitu saja.
"Astaga!" aku meraup wajahku yang layu. Masih tercengang dengan kejadian ini. Kenapa di saat duit menipis begini kosan dihancurkan. Lalu dimana aku akan tinggal?
Lihat si ibu kosan dengan santainya dia mengusirku. Membawa uang berjuta-juta sebagai uang kompensasi. Sedangkan aku tidak diberi belas kasih dan diusir begitu saja. Uangku juga tidak dikembalikan.
"Ada kata-kata terakhir?" seorang kuli dengan helm kulinya berjalan menghampirku sambil tersenyum padaku lalu melontarkan kalimat itu.
Menyebalkan sekali dia! Beraninya dia mengejekku!
Buku lain oleh Nr.Isthifa
Selebihnya