Ada satu hal yang tidak diketahui orang-orang dari seorang Ilyas Tharmin, mengenai alasan pernikahannya yang tidak pernah berjalan lebih dari satu tahun. Dia merupakan pewaris tunggal dari restoran bintang lima ternama yang cabangnya sudah tersebar hampir di seluruh Indonesia. Sebelum bertemu dengan Ilyas, hidup Lidya Rahma penuh dengan perjuangan. Gonta-ganti pekerjaan sudah bukan hal baru untuknya. Namun ketika Ilyas tiba-tiba mendatanginya, ada sesuatu yang baru- bahwa Ilyas telah jadi candu untuknya. Kesepakatan baru pun dibuat, keduanya akan tetap bersama sampai batas waktu yang telah ditentukan. Namun apakah Lidya mampu bertahan? Atau akan berakhir sama seperti tiga wanita mantan istri Ilyas sebelumnya? "Ini menyakitkan, sekaligus candu." - Lidya.
Persetan dengan pergantian shift! Aku terus menggerutu sepanjang perjalan menuju cafe tempatku bekerja. Itu adalah cafe besar yang buka 24 jam. Ya benar, satu-satunya Cafe yang buka sepanjang hari tanpa pernah tutup meskipun badai datang menghadang. Karena durasi itulah, sistem kerjanya mirip dengan tempat sortir barang yang terus berjalan 24 jam non stop, dimana kami akan bergantian dengan pegawai lainnya melalui sistem shift siang dan shift malam.
Saat melamar kerja, selain ditanya pertanyaan umum pada wawancara kerja lainnya, para calon pegawai akan diberi pilihan siang atau malam. Dan untukku yang selalu kedapatan sulit tidur karena insomnia ini, tanpa pikir panjang aku langsung memilih untuk shift malam. Setidaknya aku bisa memanfaatkan penyakit yang menggerogoti psikisku ini jadi menghasilkan uang untukku bertahan hidup.
Namun, selain efektif, itu juga membawa buntut lainnya yang tidak pernah aku duga. Ya, aku kerap kali dijadikan sasaran untuk ganti shift dengan teman-teman satu kost yang juga bekerja di tempat yang sama. Seringnya mereka memintaku ganti shift dengan mereka untuk kencan dan juga acara keluarga. Sialnya, aku tidak punya pilihan. Bagaimana aku bisa menolak ketika mereka menawarkan persenan dari gaji mereka. Sudah dapat gaji, dapat bonus pula dari mereka. Bagiku itu seperti melempar dua burung dengan satu batu.
Tidak pernah aku menolak tawaran mereka sekali pun, kecuali jika mereka memintanya begitu mendadak. Tetapi kali ini untuk pertama kalinya aku terpaksa menerimanya di saat aku baru saja hendak menikmati tidurku setelah sepanjang malam terjaga membersihkan dapur dan juga menyiapkan bahan-bahan untuk siang.
"Ini darurat, Lidya!" , desak teman satu kost ku bernama Vivian. Aku biasa memanggilnya Vian karena penampilannya yang agak tomboy.
Suaranya benar-benar mengganggu di telingaku. Terus terjaga selama hampir 16 jam penuh membuat kepalaku sakit dan semuanya tampak mengganggu. Aku mengabaikan panggilannya yang semakin lama semakin mendesakku. Bahkan dia tidak membiarkanku untuk minum dengan tenang. Saat aku mengangkat gelasku, dia terus menggoyang-goyangkan lenganku sambil terus merengek, seperti yang biasa ia lakukan saat ada sesuatu yang diinginkan.
"Demi Tuhan, Vian!" , gertakku sambil meletakkan gelas dengan keras.
Aku tidak tahu pasti apa yang membuat Vivian terdiam, suaraku atau suara gelas yang membentur meja? Satu hal yang pasti, aku berhasil membuatnya terkendali.
"Apa kau tidak melihat kantung mata di sini, huh?" , tanyaku seraya menarik pipiku ke bawah sampai wajahku terlihat seperti topeng hantu putih yang sedang berteriak.
Bukannya menunjukkan empati, teman kamar sebelahku malah meraih kedua tanganku dan menggenggamnya erat sementara matanya menatap lurus padaku, memohon untuk dikasihani.
"Lidya, kamu tahu kan ini adalah kesempatan terakhirku untuk mendapatkannya? Aku harus bertemu dengannya selagi dia mengajakku untuk pergi makan siang bersama!"
Aku menarik kembali tanganku, bertekad untuk tidak luluh kali ini. Aku harus menjaga kewarasanku dengan tidur hari ini.
"Memangnya laki-laki hanya ada dia saja di dunia ini? Bukalah matamu lebar-lebar, kawan." , kataku sambil menarik kelopak matanya ke atas.
Aku lihat dia melangkah mundur dan aku mengira penolakan halus dariku sudah cukup dapat dipahami olehnya.
"Aku akan memberikanmu setengah dari gajiku satu hari. Bagaimana?"
Sial. Dia tidak goyah.
"Vivian, dengar. Ini sudah kelima kau begini. Kelima kalinya kalian putus nyambung. Tidak ada jaminan dia akan–"
"Satu hari gajiku. Bagaimana?"
Aku menarik nafasku dan menghembuskannya dengan berat, "Dengar, percayalah padaku. Ini tidak akan berhasil–"
"Dua hari gajiku. Ini tawaran terakhirku. Bagaimana?"
Aku menggeram sambil menggenggam erat tanganku, "Argghh!! Baiklah! Tapi ini akan jadi yang terakhir kalinya, oke? Jika setelah ini kalian kembali bersama lalu berpisah lagi, aku pastikan akan membunuh kalian berdua dengan tanganku sendiri."
Vivian tersenyum getir dan mengangguk, "Ini yang terakhir."
Meskipun mulutku sendiri yang mengatakan padanya bahwa aku sanggup untuk menggantikannya bekerja siang ini, ada begitu banyak keengganan berkumpul di dalam diriku. Memikirkan harus kembali bergelut di jalanan dan semua pekerjaan yang menanti di cafe, sebagian besar energi tersisa yang aku miliki langsung anjlok. Jika aku adalah sebuah ponsel, maka dapat dipastikan aku sudah menampilkan peringatan bahwa ponsel akan segera dimatikan dalam sepuluh detik.
Setelah menikmati berbaring di tempat tidur selama tidak lebih dari dua puluh menit, aku sudah bersiap untuk bekerja. Kantung mata yang kendur dan terlihat lebih gelap aku samarkan dengan alas bedak dan untuk menjaga agar mataku tetap terjaga, aku meneteskan masing-masing satu tetes mata. Aku pergi ke kamar Vivian untuk meminta kartu untuk absensi miliknya dan baru saja sampai di depan pintu, aku sudah bisa mencium aroma parfum yang dikenakan Vivian. Begitu aku membuka pintu, Vivian dengan terusan sepaha dan leher yang rendah sibuk menyemprotkan parfum di sekitar leher, lengan bahkan sampai ke kakinya.
"Mengapa kau tidak sekalian meminumnya saja? Aku yakin itu akan lebih efektif." , sindirku mengejutkannya.
"Lidya! Kau ini mengejutkanku saja!" , tukas Vivian terlihat kesal, "Kartuku ada di dalam tas di sampingmu itu. Jangan sampai hilang."
Aku menoleh dan langsung merogoh tas kecil yang Vivian maksud. Saat menarik kartunya keluar, sesuatu ikut keluar dari tas dan jatuh ke lantai. Aku langsung memungutnya dan menatap heran itu adalah sebungkus pengaman untuk pria saat bersenggama.
"Jadi ini alasan mengapa kau menyemprotkan begitu banyak parfum." , kataku seraya melambaikan kondom yang masih terbungkus pada kemasannya pada Vivian.
Gadis dengan tubuh berisi itu melotot dan langsung merebutnya dari tanganku. Aku bisa melihat wajah malunya. Pipinya yang sudah kemerahan oleh riasan yang ia kenakan, semakin memerah seperti warna bibirnya.
"Aku hanya mempersiapkannya." , katanya. Ia terlihat gugup, "Apa kau tidak pernah mendengar istilah sedia payung sebelum hujan?"
"Terserah kau saja. Aku hanya mengingatkan agar kau berhati-hati. Keluargamu yang sangat taat beribadah itu tidak akan membiarkanmu hidup jika tahu kau sangat patuh pada pria berandalan itu. Aku pergi."
Memang benar ada begitu banyak kejutan dalam hidup ini. Keluarga Vivian adalah salah satu dari ribuan keluarga yang amat taat beribadah. Semua hukum yang ditetapkan dalam agama akan mereka taati tanpa cela sedikitpun. Tentu dalam keluarga yang sempurna itu akan selalu ada satu orang yang jadi seperti kecacatan dari kesempurnaan untuk memenuhi hukum tak tertulis bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Dan Vivianlah yang menggenapinya.
Aku pergi ke cafe tempatku bekerja menggunakan skuter yang sudah menemaniku selama tiga tahun aku hidup mandiri. Meskipun terlihat kuno, aku menyayanginya sama seperti aku menyayangi teman-temanku. Aku berniat untuk terus bersama dengannya untuk waktu yang lama. Sebenarnya alasan bahwa aku sangat menyayanginya adalah alasan klasik yang biasa aku gunakan untuk menyembunyikan kondisi keuanganku jika ada teman yang menghasutku untuk membeli motor baru tiap kali mereka melihatku pulang sambil mendorong skuterku.
"Lho? Lidya? Kau kembali?" , tanya seorang wanita dengan kuncir rambut tinggi seperti penyanyi Ariana Grande dan malah membuatnya terlihat seperti lucu sebab rambutnya tipis dan sedikit.
"Ada rejeki yang harus aku jemput. Tidak baik jika aku membuatnya menunggu." , kataku dengan mata nyaris tertutup, mencoba untuk mengikat bagian belakang celemek seragam yang entah kenapa malah melilit di tanganku.
Di saat aku kesulitan itu, tiba-tiba sebuah tangan menarik talinya dan membebaskan tanganku. Tanpa menoleh ke belakang, aku bisa langsung tahu dari aroma minyak rambutnya yang sangat manly, itu adalah Dean. Rekan kerja tercinta.
"Aku yakin dia datang bukan karena ada sesuatu yang tertinggal,Cindy." , katanya menimpali pertanyaan dari wanita pertama yang berbicara padaku saat aku tiba di sini.
Begitu Dean selesai mengikat celemek dengan simpul yang khas, aku lansung berbalik menatapnya langsung, "Terima kasih."
Dia mengangguk dengan senyum di wajahnya. Ia mengangkat kedua tangannya dan menyampirkan pada pinggangnya, "Kali ini siapa? Lea? Megan?"
Aku memutar mataku, "Vivian. Dia ingin rujuk dengan mantan pacar yang telah mencampakkannya 5 kali. Aku sudah bersumpah akan membunuh mereka berdua jika setelah ini mereka memutuskan untuk berpisah lagi."
Dean mengangkat tangannya, mengajakku untuk high-five dengannya dan aku langsung membalasnya, "Bagus. Memang harus begitu. Jika kau tidak berhasil melakukannya, maka biar aku yang melakukannya."
Kami terkekeh tanpa melepaskan tautan tangan kami sampai akhirnya kami berdua tersadar dan angin canggung datang berhembus membelai kami. Namun sedetik kemudian terdengar teriakan dari belakang dapur mengejutkan kami berdua.
Saat aku hendak pergi untuk melihatnya, tangan Dean malah menahanku.
"Kau berjaga di kasir saja. Biar aku yang memeriksanya." , katanya dengan wajah khawatir.
Melihat Dean sudah berlari pergi artinya aku tidak punya pilihan lain. Segera aku berlari kecil menuju meja kasir dan benar saja, hanya ada aku yang berjaga. Aku menggenggam tanganku erat dan mengumpat dalam hati. Bagaimana bisa aku dengan sisa energi yang tak lebih dari 30 persen ini berjaga sendirian, sementara biasanya akan ada tiga orang yang berjaga.
Hal lainnya yang membuatku jengkel adalah saat melihat pantulan wajahku pada kaca etalase roti di dekatku. Wajahku terlihat sangat pucat. Sialnya aku lupa mengenakan lipstik ataupun riasan lainnya setelah mengaplikasikan alas bedak di wajahku. Segera aku mengulum bibirku dan memberinya beberapa gigitan untuk membuatnya memerah karena aku tidak bisa meninggalkan meja kasir kosong hanya untuk mengambil lipstik.
Di saat aku sibuk melukai bibirku, seseorang datang mendekat. Terlihat dari bayangannya yang membelakangi cahaya lampu. Aku langsung mengangkat kepalaku dan langsung terperangah. Tanpa sadar aku masih menggigit bibirku.
Fantastis adalah satu kata yang sering aku gunakan akhir-akhir ini untuk bereaksi saat melihat ataupun mendengar peristiwa yang tidak biasa. Untuk pertama kalinya aku menggunakan kata itu pada manusia, dan itu adalah pria yang mendatangiku untuk memesan.
'Fantastis.' , kataku dalam hati, saat melihat pria itu berdiri tegap di hadapanku.