Ingin terlepas dari jeratan mantan pacar super toxic, Sina justru mendapat masalah baru karena ia refleks menarik lelaki secara sembarangan di sebuah restoran, lalu mengakui lelaki itu sebagai selingkuhannya di depan mantan pacarnya. Sumpah, Sina hanya ingin terbebas dari mantan pacar. Tapi, yang terjadi justru Sina harus berurusan dengan atasannya sendiri. Ya. Lelaki yang Sina tarik di restoran adalah Abraham Prama. Atasan baru Sina di kantor! Abraham Prama telah memasuki usia tiga puluh lima tahun-dan tentu saja bujukan kedua orang tuanya agar segera menikah selalu mampir setiap hari. Tidak kenal waktu. Bahkan mamanya selalu mengingatkan supaya Abra segera mencari calon istri-atau kalau tidak, Abra akan dijodohkan dengan pilihan kedua orang tuanya. Sina yang tiba-tiba menarik tangan Abra, kemudian mengklaim Abra sebagai pacar baru perempuan itu membuatnya memiliki ide baru. Yang jelas akan menguntungkan mereka berdua. "Saya nggak ada waktu buat kenalan sama perempuan di sana-sini. Karena kamu sudah pegang tangan saya, dan mengakui saya sebagai pacar di depan banyak orang, rasanya nggak adil kalau kamu nggak tanggungjawab."-Abraham Prama. "Tanggungjawab kayak gimana ya, Pak? Saya rakyat jelata lho, Pak!"-Sina Lestari.
Definisi mencari masalah yang sesungguhnya sedang dihadapi oleh Sina Lestari. Berharap bisa terlepas dari jeratan mantan super toxic, Sina malah membuat masalah baru yang lebih... astaga, bagaimana menyebutnya. Sina sangat menyedihkan sekali!
Sina tidak sengaja menatap lawan bicaranya yang tak lain Abraham Prama. Satu-satunya orang yang sangat menginginkan nyawa Sina sekarang. Mungkin..., bisa dibilang begitu? Ah, entahlah. Yang jelas, sekarang Sina sedang terpojok. Berada di ruangan si bos, cuma berdua, dengan suasana agak mencekam.
"Pak, saya bisa jelaskan." Ketika Sina berhasil mengeluarkan suara setengah gemetaran, Sina seperti berdiri di atas jembatan kaca. Ia kesusahan menarik napas, bahkan sekadar memutar kepala untuk melihat ke sekeliling, Sina sudah tidak sanggup lagi.
Pura-pura pingsan? Atau kesurupan saja? Siapa tahu atasannya agak bisa memaklumi, setelah itu melepas Sina tanpa harus mengingat bahwa Sina telah membuat masalah dengan Abraham Prama.
"Saya nggak butuh penjelasan. Kamu tiba-tiba menarik saya, dan mengakui saya sebagai selingkuhan kamu. Woah. Kamu sama seperti mencoreng nama saya."
Sina kesusahan menelan ludah. Andai saja Sina disuruh berlutut dan meminta ampun, ia juga tidak mau, sih! Memangnya ia hidup di zaman apa sampai disuruh berlutut segala? Walau perusahaan tempat ia bekerja memang bagus, sesuai dengan gaji yang diberikan, tapi rasanya sangat berlebihan kalau diminta berlutut segala. Sina masih memiliki harga diri. Lebih baik Sina mencari tempat kerja lain.
Tapi..., Sina melirik Abra diam-diam lalu menggigit dalam pipinya. Jika ia di depak dari perusahaan sungguhan, otomatis ia akan menganggur selama beberapa waktu, atau bisa berbulan-bulan. Dan selama menganggur bisa dipastikan Sina akan menghadapi omelan Ibu tirinya. Cuma karena Sina lebih banyak makan dari anggota keluarga yang lain, Sina dimaki habis-habisan. Padahal yang mencari uang, bayar listrik, air, dan lain-lain juga dari gajian Sina.
"Ish... sial."
"Apa kamu bilang?" tegur Abra.
Suara Abra mengejutkan Sina. Perempuan berusia dua puluh enam tahun itu sampai berjingkat dari tempat duduknya. Sina menggeleng sembari menggoyangkan tangan.
"Saya nggak ngomong apa-apa, kok!" Sina menunjukkan dua jarinya di depan Abra. "Tapi beneran, Pak. Saya nggak maksud mau bikin nama Bapak jelek. Saya juga nggak tahu kalau Pak Abra itu atasan baru saya. Maaf sekali lagi, Pak."
Abra mengibaskan sebelah tangan ke udara. Ditatap nya Sina beberapa detik hingga perempuan itu salah tingkah, kemudian mengeluarkan suara cegukan.
"Saya nggak ada waktu buat kenalan sama perempuan di sana-sini. Karena kamu sudah pegang tangan saya, dan mengakui saya sebagai selingkuhan di depan banyak orang, rasanya nggak adil kalau kamu nggak tanggungjawab."
"Tanggungjawab kayak gimana ya, Pak? Saya rakyat jelata lho, Pak."
Sina ketar-ketir mendengar atasannya meminta pertanggungjawaban. Dalam bentuk apa dulu? Sina bukan dari keluarga kaya raya yang bekerja hanya untuk mengisi waktu luang. Ia bekerja karena butuh makan, untuk biaya hidupnya sendiri, tapi hampir delapan puluh persen gajiannya untuk kebutuhan rumah, sekolah adik-adiknya, dan kebutuhan lainnya yang kadang tidak ada hubungannya dengan Sina.
"Saya butuh calon istri," ujar Abra tanpa basa-basi.
"Tapi, Pak..., saya nggak buka jasa cari jodoh. Saya sendiri juga jomlo sekarang. Saya juga nggak punya teman yang cantik-cantik kayak di internet. Adanya teman saya namanya Siti. Cuma, Pak... dia sudah nikah dari satu tahun yang lalu."
Sina secara rinci menjelaskan siapa Siti, dan apa statusnya sekarang. Karena kalau ditanya siapa-siapa saja teman Sina, jawabannya hanya Siti. Lagi pula, atasannya ada-ada saja, sih. Kalau minta jodoh itu berdoa ke Tuhan. Kenapa mengeluh ke Sina?
"Pastikan hari minggu kamu nggak punya janji sama siapa pun. Kalau pun ada, batalkan!" seru Abra.
"Saya nggak pernah ke mana-mana kalau hari minggu, Pak. Di hari itu jadwal saya nge-babu di rumah, Pak," sahut Sina polos.
"Ya sudah, khusus minggu besok, kamu dandan yang cantik, pakai pakaian yang sudah disediakan." Abra menatap lurus ke Sina.
Sina mengerjapkan kedua matanya. "Maaf, Pak. Maksud Bapak, saya mau dijadiin pembantu di rumah Bapak minggu besok?"
"Saya nggak lagi cari pembantu. Di rumah sudah ada satu lusin. Kalau pun kurang, saya nggak mungkin bawa kamu."
Diam-diam Sina mengejek Abra sombong. Iya, sih, Abra dan keluarganya memang kaya raya. Tapi tidak perlu disebutkan berapa banyak pembantu di rumahnya, kan? Sina juga tidak tanya, kok.
"Kalau bukan dijadiin pembantu, apa dong, Pak? Nggak mungkin saya dijadiin Ratu di rumah Bapak, kan? Haha," kekeh Sina.
"Memang benar," sahut Abra.
Suara tawa Sina tiba-tiba menghilang. Untuk beberapa detik Sina seperti hilang kesadarannya. Sina kembali tertawa di depan Abra. "Bapak, nih... bisa bercanda juga ya. Saya sampai kaget lho, Pak!"
"Minggu besok, saya dan kedua orang tua saya mau ke rumah kamu buat melamar."
"Melamar?" Sina kelihatan bingung. "Di rumah ada empat orang perempuan memang, Pak. Saya, Mama tiri saya, sama adik-adik saya. Tapi mereka masih sekolah." Sina mengerjapkan mata lagi. Tiba-tiba ia kepikiran. "Jangan bilang Pak Abra mau melamar Mama tiri saya? Aduh, Pak, makasih banget kalau gitu! Ambil aja, Pak, nggak apa-apa! Kalau perlu ajak nikah Mama tiri saya besok! Saya sudah nggak sanggup membiayai Mama tiri saya."
Kesabaran Abra benar-benar di uji ketika dihadapkan dengan perempuan muda bernama Sina Lestari. Abra menggunakan bahasa manusia yang paling gampang dicerna manusia lainnya. Tapi rasanya, Sina bukan manusia. Kenapa malah mutar ke mana-mana. Memangnya Abra sudah gila mau menikahi wanita yang jauh lebih tua?
"Yang mau saya lamar itu kamu. Kenapa jadi Mama tiri kamu!" pekik Abra kesal.
Uhuk!
Sina tersedak ludahnya sendiri ketika sedang tertawa. Sepasang mata Sina mendelik, seolah sangat terkejut. Tadi Abraham Prama bilang apa? Ingin melamarnya? Apa lelaki itu sudah tidak waras?!
Kejutan macam apa ini? Sina pikir Abra akan memecatnya tanpa hormat karena dianggap telah mencoreng muka lelaki itu dengan mengakui bosnya sebagai selingkuhan di depan pacarnya.
Sina keluar ruangan Abra dengan tampang bingung. Bukankah tidak wajar jika Abra ingin menikahinya? Bukannya Sina berharap terjadi sesuatu yang buruk kepadanya. Mengingat ia sangat membutuhkan pekerjaan ini. Hanya saja, ia menjadi bingung sendiri. Abra dalam keadaan sadar, atau tengah mabuk siang bolong begini? Atau telinga Sina sedang bermasalah?
Astaga! Demi Tuhan, Abraham Prama membuat Sina mirip orang linglung. Jika ditanya apa ia senang akan dilamar bosnya, Sina menjawab tidak. Karena dinikahi lelaki kaya raya, ditambah bosnya sendiri membuat Sina malah takut. Bagaimana dengan keluarganya? Mana mungkin keluarga Prama akan menyetujui jika anak lelaki kebanggaannya menikah pegawai biasa? Yang Sina tahu, orang kaya akan mendapatkan yang sama kayanya. Sina apa sih, cuma remahan kerupuk tahu!
Bab 1 Prolog
11/07/2022
Bab 2 Aura Mertua FTV Azab
11/07/2022
Bab 3 Sumber Masalah Baru Sina
11/07/2022
Bab 4 Sina dan Kesialannya
11/07/2022
Bab 5 Sampai Undangan Disebar!
11/07/2022
Bab 6 Mulut Ajaib Sina
11/07/2022
Bab 7 Saya Makan Nasi, Pak!
11/07/2022
Bab 8 Kertas Bungkus dan Sendok Nenek
11/07/2022
Bab 9 Cantik Mana Sama Saya
11/07/2022
Bab 10 Tolong Jangan Pergi
11/07/2022
Bab 11 Cara Melawan Sina
11/07/2022
Bab 12 Hilang Tanpa Kabar
11/07/2022
Bab 13 Titik Terendah Sina
11/07/2022
Bab 14 Saya Capek, Pak!
11/07/2022
Bab 15 Permintaan Sina
11/07/2022
Bab 16 Penawaran Abra
11/07/2022
Bab 17 Meminta Restu
11/07/2022
Bab 18 Sina dan Kaca Beling
11/07/2022
Bab 19 Cara Menangani Sina
11/07/2022
Bab 20 Ketegasan Abra
11/07/2022
Bab 21 Cara Sina Merayu
19/07/2022
Bab 22 Jangan Halu, Na!
19/07/2022
Bab 23 Pembalasan Abraham Prama
19/07/2022
Bab 24 Permintaan Sulit Sina
19/07/2022
Bab 25 Penyebabnya Kamu!
01/08/2022
Bab 26 Rasa Takut yang Mendera
02/08/2022
Bab 27 Suara Bapak Seksi
03/08/2022
Bab 28 Bunga Favorit Dia
04/08/2022
Bab 29 Pembalasan Sang Mentari
05/08/2022
Bab 30 Masuk Perangkap Mentari
06/08/2022
Bab 31 Lestari dan Mentari
08/08/2022
Bab 32 Jatah Mantan
09/08/2022
Bab 33 Menyempurnakan Rencana
10/08/2022
Bab 34 Ini Aku, Cucumu!
11/08/2022
Bab 35 Ketika Uang Berbicara
12/08/2022
Bab 36 Di Hari Pernikahan
14/08/2022
Bab 37 Rencana Sukses!
15/08/2022
Bab 38 Ide Siapa
16/08/2022
Bab 39 Kecurigaan Kara
17/08/2022
Bab 40 Memberatkan, Nggak
18/08/2022