Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
I am Your Boss

I am Your Boss

Marion D'rossi

5.0
Komentar
5.1K
Penayangan
40
Bab

Andra yang pernah ditinggal kekasih ketika kemiskinan materi melanda hidupnya, akhirnya berjuang memperkaya diri. Enam tahun perjuangan yang melelahkan membuat ia kaya raya dan memiliki perusahaan sendiri. Semua orang sungkan padanya. Terlebih lagi ia seorang bos kejam dengan aturan tidak masuk akal yang ia terapkan di perusahaannya. Suatu hari, seorang perempuan melamar pekerjaan melalui dirinya yang perlahan-lahan membuat hatinya terbuka untuk cinta yang baru.

Bab 1 PROLOG dan Sekretaris Baru

"Andra! Jadi, pekerjaan kamu selama ini tukang parkir?!"­

"Nadia?! Nadia, kamu ngapain di sini?! Aku ... aku ...."

Aku berusaha meraih lengan Nadia—kekasih yang sudah lama menemani hari-hariku tanpa pernah tahu profesi apa yang membuatku selama ini bisa cukup makan tiga kali sehari.

Nadia tak mau mendekat, ia menjaga jarak. Sangat jelas ia tidak menerimaku, tampak dari kening yang mengerut serta tatapannya yang tampak terkejut. Ia mungkin tidak mau menerima kenyataan bahwa kekasih yang selama ini selalu ada untuknya adalah seorang tukang parkir yang serba berkecukupan.

"Jangan deket-deket. Jangan mendekat! Gue nggak mau tangan kotor lo nyentuh kulit gue. Malu-maluin lo!"

Setelah membentakku dengan kasar, Nadia berjalan pergi dari seonggok raga yang kini bergeming tak berdaya memaksa ia untuk tetap tinggal.

Aku sangat tahu keadaanku, tetapi aku juga mencintainya dengan seluruh perasaan yang ada. Sejak SMA hingga ia berkuliah di kampus ternama saat ini. Namun, aku tak melanjutkan ke universitas hanya karena tidak punya biaya. Entahlah, mungkin aku hanya ditakdirkan menjadi orang serba berkecukupan.

-II-

Suatu peristiwa terberat yang pernah kuhadapi di masa lalu membuat diriku trauma dengan hubungan romansa. Mulai saat itu, aku memutuskan bekerja keras melakukan apa saja. Aku mengerjakan semua hal yang bahkan tidak bisa aku lakukan. Hanya kegigihan dan ketekunan yang mampu membuatku mengalahkan semua ego dan rasa malas yang bergelimang di dalam diriku. Aku pikir Tuhan tidak akan pernah menjadikanku seseorang dengan kelebihan atau memiliki kekayaan melimpah.

Hingga pada suatu hari, aku mulai sadar untuk membuka bisnis kecil-kecilan. Mulai dari berjualan buku, bekerja di rumah-rumah tetangga, menjadi sopir, menjadi tukang ojek. Aku bahkan mengurangi pengeluaran harianku, meminimalisir porsi makan. Sampai pada suatu ketika, aku mulai berinvestasi, mencoba bisnis besar dengan risiko yang lebih besar pula.

Bisnis properti adalah kategori yang aku pilih. Setiap waktu, aku tak pernah menyia-nyiakan kesempatan. Mengikuti segala macam seminar kewirausahaan. Mengikuti pelatihan bisnis yang sekiranya dapat memberi ilmu bagiku di bidang yang sedang aku geluti.

Melampaui kemampuan sendiri adalah tujuanku saat ini.

-II-

"Andra ... maafin gue, maafin gue ...." Seketika tangis perempuan berambut lurus hingga punggung itu pecah di kesunyian ruang kantorku.

Sementara ia menumpahkan air mata yang bagiku tidak berarti apa-apa, aku hanya mengalihkan pandangan sambil menyaksikan riuhnya kota ini dari balik kaca yang membalut gedung besar tersebut.

Ia datang ketika aku telah menjadi seseorang, yang mungkin sudah pantas baginya untuk menjadi yang diakui. Meski begitu, aku masih ingat betapa dulu ia bahkan tidak ingin tangan kotorku menyentuh dirinya. Sangat disayangkan perempuan sepertinya kini mengemis maaf dengan sangat tertatih.

"Saya sudah memaafkan kamu."

"Jadi, kalau begitu, kita bisa—"

"Tidak. Memberikan kamu maaf bukan berarti saya juga harus menerima kamu sebagai kekasih seperti dulu," tandasku, masih tak mau menatap dirinya yang hancur, bersimbah air mata dengan begitu banyak penyesalan menelungkupnya.

Tangisnya makin jadi. Ia sudah mendapat maaf, tetapi mengapa ia menuntut lebih?

Aku berjalan melewati tubuh rampingnya yang terbalut gaun brokat panjang didominasi warna biru muda serta tas di lengan kanannya. Aku akui ia amat indah, tetapi tidak pantas untukku setelah sekian lama aku menyadari.

"Maaf, saya ada meeting hari ini. Seorang klien akan datang, kamu boleh pergi melewati pintu ini untuk keluar." Aku memutar kenop pintu, membukakan pintu untuknya. Nadia memandangku dengan sesal bergelimang kesal.

Tubuhnya yang begitu indah bergerak pelan, lalu melewati pintu hingga keluar dari ruanganku. Sebelum aku menutup kembali pintu, ia menatap ke arahku dengan keadaan hancur.

Tak ada kesempatan kedua untuk seorang pengkhianat di mataku. Aku tidak peduli dengan kata maaf yang begitu diucapkan lalu dilupakan. Semua paradoks, sewaktu-waktu pasti akan diulangi kembali.

Aku mungkin telah menjadi lelaki bergelimang harta, tetapi masalah tidak akan berhenti datang. Itu yang aku sadari saat ini. Bahkan masalah yang lebih pelik telah menunggu di depan sana. Ingin melahapku, mencengkeram kesombongan serta keangkuhanku ketika harta ternyata mengalahkan kerendahan hati yang dulu pernah aku miliki.

--II--

"Pak, ada perempuan yang mau bertemu. Katanya dia mau melamar sebagai sekretaris baru di kantor ini. Saya sudah bilang kalau kita lagi nggak butuh karyawan baru, tapi orangnya keras kepala."

"Ya, ampun! Tidak becus kamu, Lina. Seharusnya kamu bisa meyakinkan dia kalau kita memang tidak butuh karyawan baru! Kalau perlu, panggilkan satpam dan usir dia."

"Tapi, Pak. Orangnya—"

"Ya, sudah. Saya akan temui dia. Di mana dia sekarang?"

"Di ... depan ruangan Bapak."

Aku menatap tajam pada Lina—seorang receptionist di perusahaan yang aku kelola. Dengan sebelah alis yang mengangkat, aku mendengkus kesal. Bagaimana bisa dia bekerja sangat tidak becus? Seharusnya dia dan satpam yang sudah aku gaji bisa bekerjasama dengan baik. Jika ada orang seperti perempuan yang dimaksud, dia dan satpam berkewajiban mengusirnya.

Dengan bergelimang kesal, aku berjalan ke kantorku yang berada di lantai tiga gedung raksasa ini. Perusahaanku memang terdiri dari tiga lantai. Di atas lantai tiga terdapat beberapa perusahaan juga. Ada sekitar tiga ratus karyawan yang bekerja di bawah kepemimpinanku. Ada banyak penyumbang dana yang menghabiskan uang demi membantu perusahaan ini maju dan berkembang.

Sampai di lorong menuju ruang kerja, aku melihat seorang perempuan. Rambutnya lurus terikat rapi sepunggung. Ia mengenakan rok selutut berwarna hitam serta atasan berwarna putih. Ia melihatku yang sedang berjalan menuju ke arahnya. Dengan sungkan ia menyunggingkan senyuman. Di tangan kanan ia membawa sebuah amplop cokelat. Sepertinya identitas diri dan kumpulan sertifikat kerja sebagai bukti pencapaiannya, agar aku berminat menerimanya sebagai karyawan di perusahaan ini. Tapi, ayolah. Di perusahaan ini, aku punya HRD yang bertugas mengurus perihal sumber daya manusia atau karyawan umum.

“Maaf, Pak. Nama saya ... Tari,” ucapnya sambil sedikit membungkuk memberi hormat atas kedatanganku.

“Ada perlu apa kamu menemui saya?” tanyaku dengan dahi berkerut dan mata yang malas menatapnya.

“Saya ... mau melamar pekerjaan—“

“Maaf, kami sedang tidak butuh karyawan. Kantor ini sudah kebanyakan karyawan. Kamu melamar di kantor lain saja.”

Aku melanjutkan langkah ke pintu, mulai memutar kenop pintu ruangan, tetapi ia menghentikanku dengan sedikit bernada tinggi. “Pak! Maaf, tapi ... Bapak boleh lihat dulu berkas-berkas saya. Saya sudah bawa semua berkas yang diperlukan. Saya juga sudah bawa portofolio agar Bapak tertarik merekrut saya.”

“Tidak perlu. Saya memang tidak butuh karyawan. Kalaupun saya membuka lowongan pekerjaan, saya akan meminta HRD mengurusnya.”

“Pak!” Perempuan bernama Tari itu tiba-tiba saja meraih ujung kemeja hitam yang aku kenakan. Di titik ini, aku benar-benar kesal. Tak habis pikir diriku, mengapa perempuan keras kepala seperti dia ada di dunia ini. Rahangku mulai mengeras, aku membalik badan.

“Saya, tidak, butuh, karyawan!” Aku menegaskan dengan tatapan tajam mengintimidasi. Namun, tetap saja ia tidak gentar. Ia semakin berani menyodorkan berkas-berkas prestasinya. “Kenapa kamu ingin sekali bekerja di sini?”

“Pak, tolong. Saya sedang butuh uang. Saya harus bekerja. Saya punya alasan tersendiri kenapa sangat ingin bergabung dengan perusahaan Bapak. Saya punya pengalaman sebagai sekretaris. Bapak bisa mengandalkan saya untuk urusan yang berkaitan dengan pencatatan dan manajer jadwal kerja.”

Aku bungkam seketika. Ya, aku tahu semua orang punya masalah masing-masing dalam hidup ini. Kita tidak pernah tahu alasan seseorang untuk bekerja, berharap mendapat upah dari pekerjaan yang mereka tekuni. Seketika itu, aku teringat diriku enam tahun yang lalu. Enam tahun lalu saat aku dapat makan dan minum hanya dari hasil parkir kendaraan. Ketika melamar pekerjaan dengan ijazah lusuh tamatan sekolah menengahku, tidak ada satu perusahaan pun yang mau menerima. Aku bingung apakah sebuah kertas menjadi tolok ukur di dunia pekerjaan? Bisakah secarik kertas itu membuktikan kemampuan seseorang? Dan apakah memiliki berkas itu, berarti menjamin kemampuan dan dedikasi seseorang?

Aku menatap lamat-lamat perempuan di hadapanku tersebut. Ia tampak sendu. Kulihat matanya memang menyimpan sebuah kesedihan. Selain itu, ada pendar harapan yang timbul-tenggelam di bola matanya yang hitam.

Aku membalik badan, lalu berkata, “Masuklah.”

Kemudian, aku duduk di kursi kerjaku, sedangkan perempuan itu masih berjalan pelan. Ia tampak lega, tetapi mungkin ada pula perasaan gugup di dalam benaknya.

“Duduklah.”

Segera ia duduk. Bola matanya memicing, seolah-olah menghindari tatapan tajamku. Ia menyodorkan amplop cokelat yang berisi berkas-berkas lamaran dan beberapa kertas bukti prestasinya di beberapa bidang seperti keahlian mengelola data dengan komputer, dan lain-lain.

“Saya tidak butuh berkas-berkas kamu. Tidak penting!” tandasku.

“Lalu, apa yang harus saya lakukan agar bisa diterima bekerja di sini, Pak?”

“Kamu ingin melamar sebagai apa di perusahaan ini?”

“Saya punya pengalaman sebagai sekretaris, Pak. Kalau bisa—”

“Mau kerja langsung jadi sekretaris?” Aku mendengkus. “Dulu pernah bekerja di mana?”

“Saya pernah bekerja di perusahaan advertising, Pak.”

“Kenapa berhenti bekerja di perusahaan itu?”

“Saya—“

“Oke, tidak perlu kamu ceritakan panjang lebar.”

“Yang harus kamu ketahui, di perusahaan ini, semua karyawan harus mengikuti perintah saya. Saya bos di sini. Tidak boleh ada yang terlambat datang. Juga, ada peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang kedisiplinan karyawan. Yang lebih penting adalah, karyawan yang bekerja di perusahaan ini dilarang keras untuk saling jatuh cinta, berpacaran, dan sesuatu yang berbau percintaan!” tegasku sambil memutar kursi. Gegas aku bangkit, kemudian berjalan ke samping tempat Tari duduk.

Tari terlihat sangat gugup ketika aku mendekatinya. Ia tampak menelan saliva.

“Apa pun perintah yang saya berikan kepada karyawan, tidak boleh dibantah. Harus dilaksanakan dengan baik. Pendapat saya tidak boleh dilawan, harus diterima, tanpa kecuali.”

Tari mengangkat tangannya ragu-ragu.

“Ada apa?” tanyaku.

“Saya mau bertanya, Pak. Kenapa karyawan di sini tidak boleh saling ....”

“Saling jatuh cinta maksud kamu?”

“I-iya, Pak.”

“Karena itu adalah peraturan yang saya buat. Tidak ada yang boleh melanggar aturan itu. Tidak ada yang boleh membantah. Perintah saya mutlak harus dilaksanakan.

“Kalau kamu bersedia dengan aturan-aturan yang saya sebutkan ataupun belum saya sebutkan secara lisan, kamu saya terima bekerja di sini sebagai sekretaris saya. Karena kebetulan sekretaris yang dulu tidak kompeten dan terlebih lagi selalu bolos bekerja, saya akan memecatnya.”

Aku mengambil sekumpulan kertas di laci meja, lalu melemparkannya ke depan Tari.

“Itu kontrak. Baca, kalau kamu siap, kamu resmi bekerja di sini. Nanti kamu akan saya berikan salinan yang lain. Yang penting dibaca saja isinya. Baca dan pahami pasal-pasal dan ayat-ayatnya.”

Dengan pelan, Tari mengambil kumpulan kertas di hadapannya, ia mulai membaca pasal-pasal yang bercetak tebal pada kontrak, lalu pandangannya naik ke wajahku yang ada di depannya.

“Bagaimana? Kamu paham? Apa sudah siap? Kalau sudah, tanda tangani saja kontrak itu,” kataku seolah menantang sambil memiringkan senyum dan menajamkan tatapan.

Tari menghela napas dalam-dalam, ia meletakkan kertas ke atas meja. Ia mencabut pulpen yang ada di meja, tak menunggu lama ia menandatangani kontrak yang kuberi. Maka, akhirnya ia resmi menjadi sekretarisku hari itu juga.

“Oke. Sekarang kamu resmi menjadi sekretaris saya. Dan ... ada beberapa hal lagi yang lupa saya sebutkan. Kamu tidak boleh bicara sebelum saya memerintahkan kamu bicara, atau sebelum saya bertanya kepada kamu. Akan ada peraturan-peraturan lain yang akan saya sebutkan jika saya sudah ingat nanti.”

Sekali lagi, Tari menelan saliva. Napasnya terdengar berat saat menghela, lalu ia mengangguk pelan.

“Bagus kalau kamu sudah mengerti. Mulai sekarang, kamu bekerja.”

“Jadi, saya—“

“Berhenti! Saya belum meminta kamu bicara! Ingat? Itu adalah aturan yang saya buat dan mutlak ditaati.”

Tari mendengkus, sepertinya ia begitu kesal padaku saat itu juga. Ya, aku tahu itu.

“Kamu harus mulai bekerja hari ini. Ruangan kamu ada di sebelah ruangan saya ini. Saya harap kamu bekerja dengan baik. Sekarang, pergilah ke ruangan kamu. Jobdesk sudah tersedia di sana. Kamu bisa mulai berkenalan dengan karyawan-karyawan lain. Tapi, saat saya memanggil kamu, kamu harus datang cepat-cepat. Tidak pakai lama. Saya benci menunggu.”

“Tapi, Pak. Hari ini saya—“

“Berhenti! Kamu sudah menandatangani kontrak. Artinya, saat kamu sudah menandatangani kontraknya, kamu sudah resmi jadi bawahan saya. Kamu tidak boleh membantah. Sekali lagi kamu membantah, saya akan memberikan kamu sanksi.”

Dengan berat hati—mungkin—Tari bangkit dan berjalan keluar. Seraya menutup pintu, ia menatapku dengan tajam. Tampak bahwa rahangnya mengeras. Kupikir ia memang sangat kesal padaku. Dan bisa kutebak, kebencian atasku pun akan lahir di dalam benaknya dari hari ke hari.

Sekeluarnya perempuan tersebut, aku menyeringai.

Pada akhirnya, mereka akan merasakan apa yang pernah aku rasakan.

-II-

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Marion D'rossi

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku