Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
The Syndrome: Diperkosa Setan

The Syndrome: Diperkosa Setan

Marion D'rossi

5.0
Komentar
15.1K
Penayangan
54
Bab

Sintia sangat menyukai kehidupan malam, tetapi ia tak tahu apa yang bersembunyi di sana. Seorang iblis, setan keji telah menanti, lalu membawanya ke tengah hutan belantara. Sintia diperkosa, disiksa, dibelenggu, diperhinakan. Siapakah lelaki berhati setan itu? Akankan Sintia dapat keluar dari hutan?

Bab 1 Sintia

Yang Sintia tahu hanya kehidupan malam menyenangkan. Kelam dengan segala pikiran terbenam. Makna dari lenggak-lenggok tubuhnya saat mengikuti irama musik bising di kelab itu bukan suatu kebahagiaan, melainkan lampiasan demi meredam ego dalam diri.

Bulir-bulir bening berlomba keluar dari pori kulit. Kendati demikian, Sintia tak berniat menyudahi aktivitas melelahkan itu. Dia akan terus bergerak hingga pagi dan kelab tutup. Jika hanya untuk beristirahat, paling-paling saat satu musik habis diputar. Setelah itu dia akan meraih botol minuman, lalu menenggaknya dengan semangat bergejolak.

Seperti biasa, saat dia sekadar menyiapkan diri demi musik berikutnya, para lelaki berkerumun mengelilingi. Ada enam pria yang siap membawa Sintia bersenang-senang di dunia yang sungguh nikmat bagi mereka.

"Sintia, mari tidur bersamaku. Aku baru saja gajian, uangku banyak. Berapa yang kamu inginkan, Sayang?"

Sintia tersenyum getir mendengar tawaran lelaki hidung belang yang berdiri di depan meja tempatnya bertopang dagu. Kebanyakan lelaki di tempat itu seperti yang dia tahu adalah hewan buas. Mereka domba bernafsu. Sintia tak bermaksud memberikan kemolekan tubuhnya, meskipun dengan iming-iming uang yang banyak. Untuk apa? Uang bisa dia cari dengan bekerja. Toh, dia itu model. Satu kali pemotretan, bisa dapat uang. Sayangnya, sudah sebulan lebih dia tidak dipanggil si fotografer. Jadi, keuangan Sintia benar-benar menipis. Kendati demikian, dia tak berniat menghemat atau mencari pekerjaan lain. Itu adalah dua hal merepotkan baginya.

"Delapan puluh juta. Mampu, nggak, kalian?" kata Sintia sambil menyeringai.

Sintia tentu saja tidak serius. Dia hanya berusaha menggertak agar para lelaki itu segera enyah dari hadapannya.

"Delapan puluh juta?! Kamu gila?! Sudah seperti artis papan atas saja harga segitu."

"Terserah. Aku nggak peduli kalian mau atau nggak. Minggir kalian semua!"

Para lelaki yang mengaku pencinta wanita itu segera menyingkir sambil mendengkus. Sejak lama mereka mengincar Sintia, ingin menikmati tubuh yang kata orang mirip gitar spanyol itu. Kenyataannya, bibir tipis kemerahan Sintia saja tidak bisa didapatkan, apalagi setiap bagian dari tubuh sintalnya.

Awalnya mereka berpikir uang bisa meluluh lantakkan wanita itu. Namun, ternyata tak semudah itu, dan rencana mereka tak semulus yang diharapkan. Para lelaki itu memilih mundur dan merencanakan sesuatu yang lain, terutama si lelaki berambut keriting yang sekian tahun hanya bisa menelan saliva saat memandangi tubuh Sintia yang dibalut pakaian terbuka: gaun tanpa lengan di atas lutut, menampilkan putih bersih kulit tanpa noda ataupun bercak sedikit pun. Apalagi bagian menonjol di dada terlihat menyeruak. Bagaimana mungkin lelaki akan tahan setelah menyaksikan itu? Ada, tetapi hanya mereka yang punya iman kuat.

Kali ini, Sintia tidak tahan untuk terus bergerak sedangkan kepala merasa ditimpuk batu raksasa. Karena itu, dia memilih pulang saat jarum jam di tangan kanannya menunjukkan angka tiga.

Mungkin itu efek berbotol-botol minuman alkohol yang dia tenggak sejak awal datang di kelab. Atau mungkin juga efek memikirkan keuangan yang semakin menipis. Sebab sudah dua bulan dia menunggak biaya SPP kuliah sang adik.

Pikiran yang merajai kepalanya saat ini adalah cara untuk mendapatkan uang dengan cepat dan mudah. Bekerja tidak mungkin, akan memakan waktu lama. Maling pun tidak mungkin karena dia tidak ahli melakukannya. Dirinya yang lain memberikan satu pilihan, yaitu menjual diri. Sayangnya, dirinya yang lain juga melarang. Dia sangat tidak suka disentuh laki-laki, apalagi laki-laki yang tidak dia cintai.

Sintia melewati sebuah pohon beringin raksasa di makam yang terkenal berusia paling tua saat melewati perkampungan. Dia berhenti tatkala mengingat mitos yang selalu dibicarakan teman-temannya mengenai pohon tersebut. Temannya pernah bercerita bahwa pohon beringin yang tingginya mencapai 25 meter itu dapat mengabulkan permintaan siapa saja dengan cara memberikan kemenyan dan beberapa persembahan lainnya.

Ide melintasi jalur pikiran. Dia berniat meminta bantuan pada pohon beringin raksasa. Namun, dia tidak membawa kemenyan dan persembahan lain untuk digunakan memanggil penunggu pohon tersebut. Meski begitu, dia tetap bersikeras dan mencoba-coba; siapa tahu saja berhasil, bukan?

Dengan langkah yang sangat hati-hati, Sintia berusaha meredam derap sepatu hak tinggi yang dia kenakan. Dia menarik napas dalam saat tiba di pohon, lalu menatap bagian atas pohon yang gelap. Pohon yang benar-benar tua. Banyak sekali tumbuhan parasit di cabang dan rantingnya.

Tidak ada rasa takut, yang ada hanya rasa tidak sabar jika Sintia benar-benar berhasil mendapatkan uang setelah meminta bantuan pada pohon. Dia nyaris berpikir telah menjadi dungu karena uang. Bahkan dia sadar, di kondisi pikiran seperti saat ini, segala hal jadi masuk logika meskipun sebenarnya sangat sulit diterima akal sehat.

Setelah berhasil menarik napas yang cukup dalam sambil menahan getaran rasa takut yang mulai datang, Sintia memulai komunikasi dengan pohon, atau lebih tepat penunggu pohon: makhluk tak kasat mata.

"Pohon. Katanya kamu bisa mengabulkan keinginan semua orang. Gimana caranya? Apa yang harus aku lakukan?"

Sintia memang tipikal orang yang tidak suka berbasa-basi. Jika dia seorang pemanah, dia lebih suka menembak tepat ke jantung atau kepala musuh dalam sekali tembak.

Lolongan anjing menjadi respons atas pertanyaan itu. Tak sedikit pun pohon berbicara atau sekadar melambai-lambaikan cabang dan ranting. Sintia mulai mengulang pertanyaan, bahkan sampai tiga kali berturut-turut pun, tetap tak ada jawaban. Menyadari kebodohan yang dia lakukan, dia hanya bisa tersenyum getir.

"Ada-ada aja. Mana mungkin pohon bisa mengabulkan permohonan," kata Sintia, pesimis.

Baru saja beranjak, asap tak berbau muncul mengelilingi pohon dari bangunan tua di dalam makam. Sintia dengan wajah heran terdiam melihat asap itu mengalir, meliuk-liuk tertiup angin, seolah-olah melawan hukum alam: tak ada asap bila tak ada api. Dia mencoba berpikir dari mana asap bisa muncul. Namun dia sama sekali tak menemukan jawaban. Bahkan dia tak pernah melihat fenomena alam seperti yang dilihatnya saat ini.

Keringat dingin membasahi dahi dan leher. Padahal keringat sehabis berjoget ria di kelab baru saja kering, sekarang justru basah lagi. Mata sipit Sintia membelalak. Yang bisa dilakukannya hanya menelan saliva. Kedua kakinya tak dapat bergerak sesuai kehendak, seolah ada yang menahan di sana.

Asap yang mengumpul, kini mengelilingi pohon, membentuk sebuah gambaran. Meski sedang diselimuti rasa takut, dia tak sabar melihat akan jadi apa asap itu. Prosesnya berlangsung cukup lama. Suasana kelam semakin pekat setelah sebuah suara terdengar. Seperti benda membentur benda lainnya. Hadir juga suara pintu tua yang membuka, lalu menutup lagi.

Tempat Sintia berada berubah gelap gulita. Dia tidak bisa melihat apa pun, bahkan melihat dirinya sendiri pun tak bisa dilakukan. Dia berusaha menggerakkan tangan, tetapi dia merasa tak mampu seolah ada yang mengikat dengan jerat yang susah dilepaskan. Dia jadi sadar dengan posisinya saat ini: tidak terasa berdiri seperti yang dia lakukan sebelumnya. Dia seperti berbaring di sebuah ranjang. Dapat ia rasakan di bawah punggung adalah kasur yang tidak cukup empuk.

Gelap yang menelungkup seluruh tempat mulai hilang ditelan cahaya, perlahan. Mata Sintia pun dapat melihat kembali, tetapi benar dugaannya bahwa dia sedang berbaring di sebuah ranjang kayu tua dengan tangan yang diikat. Dia membelalak saat setelahnya menyadari berada di gubuk reyot seperti yang ada di dalam makam.

"TOLONG!"

Meski belum sepenuhnya yakin berada di bangunan yang ada di makam itu, dia berpikir tidak seharusnya berada di sana. Dia harus keluar dan tidak peduli bagaimana dia bisa berada di tempat itu.

Bau anyir menyengat menggelitik lubang pernapasan hingga membuatnya terbatuk-batuk dan mual. Sintia jadi tak bisa berteriak. Lalat-lalat dan kecoak memenuhi ruangan kumuh. Dinding-dinding kotor dipenuhi bercak darah.

"Siapa ... aja, tolong." Suara Sintia semakin lirih karena bau bangkai yang merusak pernapasan.

Tak berselang lama, sesosok makhluk bergerak pelan, masuk ke ruangan. Makhluk dengan jubah hitam; menunduk. Degup jantung yang memberontak adalah penolakan Sintia terhadap apa yang dia alami saat ini. Meskipun tidak dapat dipercaya, tetapi sensasi itu nyata dan benar adanya. Tampak jelas di bola mata. Makhluk itu berhenti setelah berada di depan ranjang. Suara Sintia mendadak hilang saat makhluk itu mengangkat kepala, dan terlihatlah kedua matanya menggantung hingga dagu. Darah mengalir bercucuran. Angin yang entah datang dari mana menyingkap tudung yang dikenakan sang makhluk. Sedetik kemudian terlihatlah batok kepala itu terkelupas.

Sintia muntah di tempat tanpa menahan diri. Dan tanpa pernah diduga sebelumnya, makhluk itu menungganginya seolah-olah kuda. Apa yang berusaha dia lakukan? Mungkin sesuatu yang tidak terduga lainnya.

Sintia bersikukuh melepaskan diri, melepaskan tangan yang sedang diikat di ranjang. Namun, erat dan sangat keras. Bahkan semili pun dia tak dapat menggeser kaki karena diikat sama kuat seperti tangannya.

"Le ... paskan!"

Sang makhluk menggerayangi tubuh Sintia, mencabik-cabik gaunnya dengan kuku yang tajam dan panjang. Makhluk itu seolah-olah singa buas yang berhasil menangkap mangsa. Sintia adalah mangsanya. Yang diincar makhluk itu adalah tubuh Sintia. Tak dapat melawan, tak kuasa menahan, Sintia tak sadarkan diri.

-II-

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Marion D'rossi

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku