Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
“Nak Zidan, ternyata Ayra sudah tertidur di kamar Tasya, sepertinya Ayra nyaman sekali tidur sama Aunty-nya. Kalau malam ini Ayra menginap di sini saja bagaimana?” ujar Lastri, ibu mertua Zidan.
Ia memang sedang berada di rumah ibu mertuanya karena melaksanakan acara pengajian empat puluh hari untuk almarhumah istrinya. Ya, Zidan adalah seorang duda yang baru ditinggal istrinya empat puluh hari yang lalu. Laki-laki berusia tiga puluh tahun itu tampak masih begitu terpukul. Bagaimana tidak, usia pernikahannya dengan sang istri baru berjalan tiga tahun, dan kini sang istri sudah pergi untuk selamanya, meninggalkan Zidan bersama seorang bayi perempuan yang baru berumur satu tahun.
“Hmm, gimana ya, Bu, saya sebenarnya tidak keberatan kalau Ayra menginap di sini, toh ini juga rumah kakek dan neneknya. Cuman Ayra punya kebiasaan kebangun tengah malam, Bu. Kalau udah kebangun, biasanya juga nangis kejer. Saya khawatir nantinya jadi merepotkan semua orang yang ada di sini,” balas Zidan.
“Kalau gitu, kalau Nak Zidan juga menginap di sini bagaimana?” usul Pak Ardi, bapak mertuan Zidan.
“Nah, iya ide bagus juga tuh Nak Zidan, kan Nak Zidan masih bisa makai kamar yang lama,” imbuh Lastri.
Zidan tampak ragu menerima tawaran mertuanya itu. Setelah istrinya meninggal, tentu saja ia merasa canggung untuk menginap di rumah itu, apalagi ia juga memiliki seorang ipar yang masih gadis. Tapi Zidan juga tidak mungkin meninggalkan Ayra di sana. Ia paham betul bagaimana kebiasaan putri kecilnya itu, Ayra kalau kebangun tengah malam pastilah berteriak memanggil ayahnya. Maka malam itu, Zidan pun menerima tawaran mertuanya untuk menginap di sana.
Ia menempati kamar yang biasa ia tempat bersama Indri, almarhumah istrinya, jika berkunjung ke rumah sang ibu mertuanya. Bedanya, malam itu hanya ada Zidan seorang diri di dalam kamar tersebut, kehadiran Indri hanyalah dalam bentuk bayangan yang tidak dapat disentuh.
Malam itu, mata Zidan sulit untuk dipejamkan. Pikirannya terbelenggu oleh kenangan-kenangan bersama almarhumah istrinya. Selain itu, ia juga mulai terpikirkan tentang masa depan bersama putrinya, bagaimana ia harus melewati hari-harinya setelah ini, apa dia sanggup membesarkan Ayra seorang diri?
“Eaakkk! Pappiii…!”
Zidan tersentak duduk saat mendengar suara tangisan bayi. “Ayra..!” Ia pun bergegas ke luar dari kamar itu dan langsung menuju kamar adik iparnya.
Tok! Tok! Tok!
“Tasya! Tolong buka pintu kamarnya, Sya!” seru Zidan sambil mengetuk pintu kamar adik iparnya itu.
“Nak Zidan, didobrak saja pintunya! Tasya nggak bakal denger. Dia kalau tidur suka sambil dengerin musik pakai headset,” ucap Lastri yang juga baru keluar dari kamarnya, terbangun karena mendengar suara tangisan cucunya itu.
“Emangnya ini nggak apa-apa pintunya didobrak, Bu?”
“Ya, nggak apa-apa! Kasihan Ayra di dalam!”
Akhirnya Zidan pun mendobrak pintu itu.
“Astaghfirullah!” Saat pintu terbuka, Zidan bergegas istighfar sambil memalingkan wajah. Bagaimana tidak, ia baru saja melihat sebuah pemandangan yang tidak pantas ia lihat. Tasya hanya tidur menggunakan celana pendek dan tangtop dengan posisi telentang dan mengangkang, bahkan sebelah kakinya sampai naik ke dinding.
Lastri bergegas menutupi tubuh anak gadisnya itu dengan selimut, sementara Zidan bergegas melarikan Ayra ke luar kamar. Lastri juga mencopot headset yang menyumbat telinga Tasya, ternyata hal itu membuat Tasya terbangun.
“Duh! Ibu! Ibu ngapain sih, Bu? Ganggu Tasya tidur aja deh!” rengek gadis berusia dua puluh tahun itu.
“Kamu tuh kebiasaan ya tidur pakai headset! Itu keponakan kamu nangis sampai jatuh ke bawah gitu kamu nggak sadar! Untung aja tempat tidurnya nggak tinggi!”
“Namanya juga tidur, ya pasti nggak sadarlah,” sungut Tasya. “Udah, Ibu ke luar sana, Tasya mau lanjut tidur—“
“Jangan dipakai lagi headsetnya! Kalau ada kebakaran susah bangunin kamu, Tasya!”