Kontrak Ranjang Sang Kapten

Kontrak Ranjang Sang Kapten

Rahmadhani

5.0
Komentar
Penayangan
22
Bab

Dara, seorang pramugari baru yang mempesona dan baru enam bulan mengabdi di Skyward Airlines, sedang dilanda kehancuran hati. Ia baru saja mendapati kekasihnya seorang pilot tampan dari maskapai yang sama berselingkuh dan mengkhianatinya. Merasa sakit hati dan ingin membalas dendam dengan cara tergelap, Dara memutuskan untuk menghabiskan malamnya bersama seorang pria yang ia temui di sebuah bar mewah dan ia yakini sebagai seorang gigolo. Malam penuh gairah itu menjadi pelarian Dara dari rasa sakit. Namun, kejutan pahit menyambutnya keesokan hari. Pria yang telah mengambil 'kesuciannya' itu ternyata bukan pria bayaran sembarangan. Ia adalah Arjuna, salah satu pilot senior dan juga calon pewaris tunggal dari Skyward Airline perusahaan tempat Dara kini menggantungkan hidupnya. Dara kini harus menghadapi konsekuensi tak terduga dari dendamnya: terikat secara rahasia dengan pria yang memiliki kekuasaan mutlak atas karier dan masa depannya.

Bab 1 berubah jadi lari histeris

Suara roda koper yang beradu dengan lantai marmer bandara itu rasanya seperti musik paling sumbang malam itu. Dara berjalan cepat, sepatunya yang mengilap memantul di lantai, dan dia berusaha keras agar langkahnya tidak berubah jadi lari histeris. Rambutnya yang disanggul rapi-ciri khas seorang pramugari-sedikit longgar, seolah ikut merasakan betapa hancurnya kepala Dara sekarang.

Dia baru saja menyelesaikan penerbangan jarak jauh, penerbangan yang seharusnya membuatnya lelah dan ingin segera tidur, tapi semua rasa lelah itu hilang. Yang ada cuma rasa panas, seperti ada api yang membakar habis isi dadanya.

Enam bulan. Baru enam bulan Dara bergabung dengan Skyward Airlines. Enam bulan dia merasa hidupnya sempurna. Seragam baru, pekerjaan impian, dan yang paling penting, Arga. Kapten Arga Wira Bhakti, pilot tertampan di maskapai itu, pacarnya.

Arga janji malam ini dia akan menjemput Dara di apartemennya setelah Dara selesai tugas. Tapi, janji itu cuma jadi debu.

Pukul 23.45. Dara sudah sampai di lobi apartemen Arga, bukan apartemennya sendiri. Tangan Dara gemetar saat menekan bel intercom. Tidak ada jawaban. Sejak tadi siang, pesan-pesan Dara di WhatsApp hanya centang biru tanpa balasan. Sibuk di kokpit, pikir Dara. Ia selalu mencoba jadi pacar yang pengertian.

Tapi malam ini, dia tidak bisa lagi jadi 'pengertian.'

Dara mengeluarkan kartu akses yang diberikan Arga dulu-kartu yang Arga bilang "simpan saja, Sayang, anggap saja ini rumahmu juga." Hatinya mencelos. Seharusnya dia senang melihat kartu itu masih berfungsi. Seharusnya.

Pintu apartemen itu terbuka dengan bunyi klik yang pelan. Dara melangkah masuk. Gelap. Hanya ada sedikit cahaya remang-remang dari lampu nakas di ruang tamu. Udara di dalam apartemen terasa pengap dan berbau parfum yang asing. Bukan parfum Arga yang maskulin. Ini bau manis, bau murahan.

"Arga?" panggil Dara pelan. Suaranya serak. Dia tidak tahu apakah dia berharap Arga menjawab atau tidak.

Tidak ada jawaban. Dara meletakkan koper kecilnya di dekat pintu, melepas high heels hitamnya. Kakinya yang pegal sekarang tidak terasa apa-apa. Ia berjalan pelan ke arah kamar tidur utama.

Jantung Dara mulai berdebar kencang, menabuh genderang kematian. Firasat buruk ini sudah muncul sejak dia melihat unggahan story Instagram dari salah satu pramugari senior, yang menunjukkan Arga sedang dinner di sebuah restoran mewah, padahal Arga bilang dia standby di rumah.

Dara berdiri di depan pintu kamar tidur yang sedikit terbuka. Di sana, dari celah tipis itu, Dara bisa melihatnya.

Arga. Kekasihnya, yang baru dua hari lalu menciumnya seolah tidak ada hari esok, sedang tertawa. Tawa yang Dara kenal betul. Tawa yang dulu ditujukan hanya untuknya.

Dara menempelkan tangannya ke pintu. Dingin. Dan dari celah itu, ia melihat sosok lain.

Seorang wanita. Bukan pramugari senior yang kemarin dinner sama Arga, tapi wanita lain. Rambutnya pirang, gaun tidurnya sutra merah yang sangat minim. Wanita itu menyandarkan kepalanya di bahu Arga, dan Arga? Arga mengusap rambut wanita itu dengan penuh kasih sayang.

"Jadi, kamu serius mau putusin dia, Bro?" tanya wanita itu, suaranya manja, terdengar jelas oleh Dara.

Arga tersenyum miring. "Dia cuma cewek innocent yang terlalu clingy, Sasha. Aku bosan. Lagipula, dia cuma pramugari baru. Enggak selevel sama Kapten sepertiku."

Tidak selevel.

Dua kata itu menghantam Dara lebih keras dari tamparan. Bukan kata-kata 'selingkuh' atau 'putus', tapi 'tidak selevel.'

Dara mundur perlahan, seolah ada dinding tak terlihat yang mendorongnya. Matanya memanas, tapi anehnya, air matanya tidak mau keluar. Dia merasa kosong, mati rasa. Ia menunduk, melihat seragamnya. Seragam yang ia banggakan. Seragam yang Arga bilang membuatnya terlihat 'elegan.' Sekarang, seragam itu terasa seperti kain hinaan.

Dara mengambil napas panjang, sangat panjang, dan memutuskan. Dia tidak akan membuat keributan. Bukan sekarang. Dia tidak akan memberinya kepuasan melihatnya hancur.

Dia berbalik. Mengambil koper dan sepatunya, dan keluar dari apartemen itu secepat mungkin, menutup pintu tanpa suara.

Di dalam lift, Dara akhirnya menangis. Bukan air mata sedih, tapi air mata marah. Marah pada dirinya sendiri karena sebodoh itu percaya. Marah pada Arga karena berani-beraninya dia menginjak-injak harga dirinya.

"Aku akan buat kamu menyesal, Arga," bisik Dara, menggenggam erat kartu akses Arga di tangannya, yang sekarang terasa seperti senjata. "Aku akan tunjukkan padamu bahwa aku, si pramugari baru yang innocent ini, bisa melakukan hal yang lebih kotor dari kamu."

Satu jam kemudian, Dara ada di sebuah bar mewah yang sama sekali tidak sesuai dengan gajinya. Bar di puncak gedung pencakar langit Jakarta, tempat para eksekutif dan orang-orang kaya membuang uang. Dara, masih dengan riasan mata sisa penerbangan dan gaun kasualnya yang kusut, terlihat mencolok.

Ia duduk di sudut, memesan cocktail termahal, meminumnya cepat-cepat. Tujuannya cuma satu: mabuk. Hilang kendali. Melakukan sesuatu yang gila.

Dia ingin melakukan sesuatu yang akan membuat Arga-dan harga dirinya-sama-sama tercemar. Balas dendamnya bukan soal membalas dengan selingkuh, tapi soal menghancurkan kemurnian yang Arga cibir. Arga bilang dia innocent? Baik, dia akan membuktikan Arga salah.

Dara melirik sekeliling. Matanya menangkap sosok pria.

Dia duduk sendiri di meja bar, menikmati scotch dengan tenang. Jasnya mahal, potongannya sempurna. Jam tangannya berkilauan di bawah lampu. Matanya tajam, melihat ke arah keramaian, tapi seolah tidak melihat apa-apa. Pria itu memancarkan aura berbahaya, aura kesepian, aura pria yang dibayar untuk menemani.

"Sempurna," desis Dara. Pria itu tampak seperti gigolo kelas atas, yang hanya mau melayani wanita-wanita sosialita yang sudah mapan. Dara, dengan penampilannya yang masih terlihat seperti mahasiswi kaya yang kabur dari rumah, seharusnya tidak akan bisa menarik perhatiannya. Tapi, justru tantangan itu yang Dara cari.

Dara berdiri. Kepalanya sedikit pusing karena alkohol, tapi kakinya mantap. Dia berjalan lurus ke arah pria itu.

Pria itu menoleh saat Dara berdiri tepat di sampingnya. Matanya yang gelap meneliti Dara dari ujung kepala sampai ujung kaki, tanpa emosi, tanpa penilaian. Hanya rasa ingin tahu yang dingin.

"Maaf mengganggu," kata Dara, suaranya sedikit bergetar. Dia berusaha mati-matian agar terdengar seperti wanita dewasa yang sedang dalam misi. "Aku butuh teman malam ini."

Pria itu tidak menjawab. Dia hanya mengangkat satu alisnya. Di dekatnya, Dara bisa mencium bau cologne mahal, bau kayu yang lembut. Bau yang mematikan.

"Maksudku," lanjut Dara, menelan ludah, "aku tahu kamu... kamu bekerja di sini. Aku tidak peduli berapa. Aku bayar dua kali lipat dari harga biasanya. Aku hanya... tidak mau sendirian malam ini."

Pria itu akhirnya meletakkan gelasnya. Gerakannya lambat, elegan. Ia mencondongkan tubuh sedikit ke arah Dara, dan Dara merasakan lututnya lemas.

"Kamu yakin?" Suaranya dalam, berat, dan sedikit serak. "Aku tidak bekerja untuk bar ini, Nona."

Dara tertawa sumbang. Tawa yang dibuat-buat. "Ayolah. Aku tidak bodoh. Kamu memancarkan aura pria yang tahu cara menyenangkan wanita. Aku tidak butuh drama, aku hanya butuh... pelarian. Malam ini saja."

Dara membuka tas kecilnya, mengeluarkan dompet, dan tanpa ragu, ia meletakkan tiga lembar uang seratus ribuan di atas meja, di samping gelas pria itu. Sebagian besar dari uang gajinya bulan ini.

"Ini untuk awal," kata Dara, menatap lurus ke mata pria itu. "Aku ingin kamu ikut aku. Sekarang."

Pria itu memandangi uang itu sejenak, lalu beralih menatap mata Dara, yang sekarang sudah berkaca-kaca karena campuran alkohol dan emosi.

Dia tersenyum tipis. Senyum yang tidak sampai ke matanya, hanya berupa lengkungan di sudut bibirnya. Senyum yang membuat Dara merasa seolah dia adalah mangsa yang baru saja terperangkap.

"Menarik," katanya pelan. Dia mendorong uang itu sedikit ke samping, kembali menatap Dara. "Aku tidak menerima bayaran. Tapi, aku penasaran. Kenapa kamu begitu ingin menghancurkan diri sendiri malam ini?"

Dara terkejut. Pria ini tidak menerima uangnya? Jadi, dia bukan gigolo? Dara merasa bodoh, dan sekaligus lega. Namun, keputusannya sudah bulat. Dia tidak akan mundur.

"Itu urusanku," jawab Dara keras kepala. "Kamu mau ikut atau tidak?"

Pria itu menghela napas, seolah Dara adalah masalah kecil yang harus dia bereskan sebelum tidur.

"Baiklah. Mari kita lihat sejauh mana kehancuran yang kamu cari, Nona."

Pria itu berdiri. Tingginya menjulang di atas Dara. Dia meraih tangan Dara, bukan untuk menggandeng, tapi untuk menarik Dara agar segera berjalan. Sentuhannya dingin, tapi ada sengatan listrik yang membuat Dara refleks menarik napas.

"Panggil aku Arjuna," katanya, tanpa menunggu Dara membalas.

Dara tidak sempat berpikir banyak. Dia hanya tahu satu hal: ia baru saja membeli satu malam yang penuh dosa, dan ia sudah tidak peduli lagi siapa pria yang ia beli itu. Yang penting, keesokan harinya, Dara yang innocent itu akan hilang, dan Arga akan tahu bahwa dia tidak pernah punya hak untuk meremehkannya.

Saat mereka berjalan keluar dari bar mewah itu, melewati kerumunan orang-orang yang sibuk dengan urusan mereka sendiri, Dara hanya bisa memikirkan Arga.

Lihat, Kapten Arga. Kamu bilang aku membosankan. Aku akan tunjukkan betapa berbahayanya aku saat bosan.

Dendam itu adalah alkohol yang paling memabukkan malam ini. Dan Arjuna, pria asing dengan tatapan gelap itu, adalah alat yang sempurna untuk memuaskan haus dendamnya. Dara tahu dia sedang melakukan kesalahan fatal, tapi entah kenapa, rasa salah itu terasa jauh lebih manis daripada kesedihan yang ia rasakan beberapa jam yang lalu.

Dia menyerahkan dirinya sepenuhnya pada malam yang akan mengubah segalanya. Malam yang dia yakin akan membuatnya dipecat atau paling tidak, membuat seluruh maskapai heboh. Tapi, saat ini, dia hanya ingin lari dari kenyataan pahit bahwa cinta yang ia jaga selama ini, hancur hanya karena dia dianggap 'tidak selevel'.

Dia dan Arjuna masuk ke dalam mobil mewah hitam yang sudah menunggu. Dara tidak bertanya ke mana mereka akan pergi. Dia hanya bersandar di kursi, memejamkan mata, dan membiarkan suara mesin mobil membawanya pergi, jauh dari dirinya yang lama.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Rahmadhani

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku