Istriku, Jaminan Bisnis Ayahku

Istriku, Jaminan Bisnis Ayahku

Rahmadhani

5.0
Komentar
Penayangan
21
Bab

Elias Pradana adalah definisi kesuksesan: tampan, kaya raya, dan seorang pemimpin di bidangnya. Sayangnya, kemewahan tak mampu membeli kebahagiaan. Pernikahan yang ia rajut selama dua tahun bersama Safira terasa seperti penjara. Elias merasa hampa, lelah, bahkan muak melihat Safira yang berubah 180 derajat setelah sebuah insiden pahit menimpa mereka. Di tengah kerapuhan dan mati rasa yang mencekiknya, muncullah Dina. Dina, gadis desa dengan kepolosan dan mimpi sederhana, tiba-tiba masuk ke dalam hidup Elias. Ia mengisi celah-celah kosong di hati Elias, membawa warna dan tawa yang sudah lama hilang. Perlahan, Elias menemukan kembali semangatnya bersama Dina. Namun, saat Elias mulai merajut kebahagiaan baru, Safira kembali. Kali ini, ia datang membawa perubahan menjadi Safira yang dulu dicintai Elias. Melihat suaminya mulai gamang, Dina memutuskan pergi. Ia sadar, dirinya tak ingin menjadi alasan kehancuran rumah tangga siapa pun. Dina menghilang, meninggalkan Elias pada persimpangan yang paling sulit.

Bab 1 Sunyi itu sudah jadi teman akrabnya

Pukul sebelas malam. Lampu jalan di kawasan elit Jakarta Selatan itu berbaris rapi, menerangi mobil mewah hitam yang baru saja berbelok tajam memasuki halaman luas. Elias Pradana mematikan mesin. Sunyi.

Sunyi itu sudah jadi teman akrabnya selama dua tahun terakhir. Sunyi yang memekakkan telinga, bukan karena tidak ada suara, tapi karena suara yang seharusnya ada-tawa, sapaan, atau bahkan gerutuan manja-sudah lama mati.

Elias mendesah, lelahnya bukan cuma dari tumpukan file dan meeting seharian, tapi dari rumah ini sendiri. Rumah ini megah, dingin, dan kaku, persis seperti museum di mana setiap sentuhan bisa merusak keindahan palsu. Ia meraih tas kerjanya di jok samping, menanggalkan dasi yang terasa menjerat lehernya, dan membuka pintu.

Langkah kakinya di lantai marmer ruang tamu bergema. Enggak ada sambutan. Enggak ada aroma masakan sisa makan malam. Hanya lampu remang-remang di ruang tengah yang sengaja dinyalakan Safira, tanda bahwa penghuni rumah ini masih bernapas.

"Safira?"

Elias memanggil pelan, lebih karena kebiasaan daripada berharap dijawab.

Ia berjalan ke dapur, mengambil sebotol air dingin. Pikirannya melayang pada rapat dewan direksi sore tadi. Semua orang di sana menatapnya dengan kekaguman. Elias, si jenius finansial, yang berhasil melipatgandakan aset perusahaan dalam setahun. Elias, pria yang memiliki segalanya.

Semua, kecuali satu hal: rumah.

Rumah ini sudah lama berubah jadi formalitas. Elias adalah suami. Safira adalah istri. Mereka berbagi nama belakang dan alamat, tapi hati mereka sudah terpisah benua.

Ia kembali ke ruang tengah. Di sana, di sofa panjang yang berhadapan dengan jendela kaca besar, Safira duduk. Dia membelakangi Elias, menatap kegelapan di luar. Sebuah buku tebal terbuka di pangkuannya, tapi Elias tahu, dia tidak membaca. Dia cuma duduk, terbungkus dalam selimut tebal, menjadi bagian dari kebekuan malam itu.

"Kamu belum tidur?" tanya Elias, suaranya berusaha terdengar normal dan tidak lelah.

Safira tidak menoleh. Hanya bahunya yang bergerak samar, entah mengedikkan bahu atau menggigil.

"Aku tunggu kamu," jawab Safira, suaranya datar, tanpa intonasi.

Elias meletakkan tasnya di lantai. "Aku bilang tadi aku pulang larut. Kenapa enggak tidur aja?"

"Aku sudah bilang, aku tunggu kamu."

Ada nada defensif di suara Safira. Nada yang selalu ada sejak insiden dua tahun lalu-insiden yang enggak pernah mereka bahas tuntas, tapi dampaknya menghancurkan semua. Safira yang periang, yang selalu menyambutnya dengan pelukan dan bau sampo yang manis, hilang. Berganti dengan Safira yang sinis, dingin, dan dipenuhi rasa bersalah yang ia tumpahkan dalam bentuk kemarahan pasif pada Elias.

Elias menarik napas panjang. Dia mencoba mengabaikannya. Malam ini, dia benar-benar ingin damai.

"Aku lapar. Kamu mau makan sesuatu?" tanyanya, mencoba lagi.

"Enggak," jawab Safira, kali ini buku di pangkuannya ditutup keras. "Aku enggak nafsu."

Elias diam. Itu dia. Kunci pemicu. Trivial, tapi selalu berhasil.

"Kalau kamu enggak nafsu, bilang aja, Safira. Kenapa kamu harus duduk di situ, pakai acara nungguin aku, terus jawab ketus kayak gini?" Elias enggak bisa menahan diri. Rasa lelahnya, rasa kesepiannya, semua tumpah jadi frustrasi.

Safira akhirnya menoleh. Ekspresinya bukan marah, tapi terluka-dan luka itu yang selalu membuat Elias kalah.

"Apa maksud kamu?" tanya Safira, matanya sedikit berkaca-kaca, tapi tatapannya menusuk. "Aku tungguin suami aku pulang, salah? Aku enggak mau tidur sendiri, salah?"

"Bukan itu masalahnya! Masalahnya, kamu tahu aku akan nanya, kamu tahu aku akan menawarkan, dan kamu sudah siap dengan jawaban yang akan membuatku merasa bersalah karena sudah pulang selarut ini!" Elias maju, berdiri di depan Safira. "Aku kerja, Safira! Aku kerja untuk rumah ini, untuk hidup kita yang bahkan sudah enggak ada isinya lagi!"

"Oh, jadi sekarang aku adalah beban?" Safira berdiri, selimutnya jatuh ke lantai. "Aku istri kamu, Elias. Bukan boneka yang bisa kamu simpan, kamu kasih uang, terus kamu abaikan! Kamu yang berubah! Kamu yang menjauh!"

"Aku menjauh? Kamu yang mendorongku pergi!" Elias balik membentak. "Lihat dirimu! Kamu yang membentengi diri! Kamu yang mengunci diri di kamar berhari-hari! Kamu yang membuat rumah ini terasa seperti neraka sunyi!"

"Aku begini karena... karena kamu enggak mengerti!" teriak Safira, suaranya mulai pecah. "Kamu enggak pernah tahu bagaimana rasanya... kehilangan. Kamu enggak pernah mencoba! Kamu cuma sibuk dengan pekerjaanmu, dengan uangmu, dengan semua yang bisa kamu kontrol!"

Mendengar kata 'kehilangan', rahang Elias mengeras. Itu adalah kata kunci yang mereka berdua hindari, tapi yang paling menyakitkan. Insiden itu, yang merenggut senyum Safira dan kehangatan rumah mereka, adalah kehilangan yang dialami mereka berdua. Tapi Safira seolah-olah mengklaim rasa sakit itu sendirian.

"Aku juga kehilangan, Safira!" Elias berbisik, tapi suaranya penuh amarah tertahan. "Aku kehilangan istriku! Aku kehilangan rumahku! Aku kehilangan masa depanku! Tapi apa yang aku lakukan? Aku tetap berdiri! Aku tetap kerja! Aku tetap mencoba mencari celah untuk masuk, tapi kamu menutup semua pintu!"

Safira mundur selangkah. Air matanya mengalir, tapi dia buru-buru menyekanya, seolah tangisan itu adalah kelemahan yang enggak boleh Elias lihat.

"Kamu selalu menuntut aku kembali seperti yang dulu. Kamu enggak mau terima aku yang sekarang, Elias," ujar Safira, suaranya berubah sedih dan menuduh. "Kamu cuma mencintai versi Safira yang kamu ciptakan di kepalamu."

"Aku mencintai Safira yang mencintaiku kembali, Safira yang peduli padaku, Safira yang enggak menjadikan setiap malam sebagai medan perang emosional!" Elias menunjuk ke arahnya. "Dua tahun, Safira! Dua tahun aku berjalan di atas cangkang telur di rumah ini! Aku lelah! Aku muak! Aku enggak tahan lagi dengan sandiwara ini!"

Kata-kata 'muak' dan 'sandiwara' menampar Safira lebih keras daripada bentakan. Matanya melebar, dan luka di wajahnya terlihat nyata.

"Kalau kamu muak..." Safira menarik napas dalam-dalam, berusaha menguasai dirinya. "Kalau ini semua sandiwara buat kamu... kenapa kamu enggak pergi aja?"

Pertanyaan itu melayang di udara, dingin dan final. Elias memejamkan mata. Ini bukan ancaman baru. Ini adalah undangan yang selalu dilemparkan Safira setiap kali mereka bertengkar. Undangan untuk menyerah, untuk mengakhiri penderitaan, dan untuk mengonfirmasi bahwa memang sudah enggak ada yang tersisa.

Elias membuka matanya. Malam ini, dia sudah sampai di batas kesabarannya.

"Baik," jawab Elias, suaranya tenang, tiba-tiba sangat tenang. Ketenangan yang menakutkan, seperti badai yang berhenti sesaat sebelum kehancuran total. "Aku pergi."

Safira terdiam. Dia pasti berharap Elias akan memeluknya, meminta maaf, atau setidaknya berbalik dan pergi ke dapur untuk meredakan amarah. Tapi kali ini, Elias tidak bergerak. Dia hanya berdiri tegak, memancarkan keputusasaan yang nyata.

"Kamu serius?" tanya Safira, nada suaranya sedikit goyah, menyiratkan secercah ketakutan bahwa dia mungkin sudah keterlaluan.

"Sejak kapan aku main-main dengan hidupku, Safira?" balas Elias, sarkastis. "Aku enggak akan meninggalkan kamu. Aku enggak akan melanggar janji pernikahan yang aku ucapkan. Tapi aku enggak bisa lagi berbagi kamar, berbagi ruangan, berbagi udara yang sama dengan kamu kalau kamu hanya bisa menawarkan kebekuan ini."

Elias berbalik, berjalan menuju tangga.

"Aku akan tidur di kamar tamu," katanya tanpa menoleh. "Aku butuh bernapas. Aku butuh ketenangan yang enggak bisa kamu kasih. Aku butuh ruang. Dan kamu..."

Dia berhenti di anak tangga pertama. "Kamu bisa pakai kamarmu. Lakukan apa pun yang kamu mau. Aku enggak akan ganggu kamu lagi."

Safira hanya mematung di tengah ruangan. Wajahnya yang tebeku tadi, kini terlihat kosong. Dia berdiri di sana sampai Elias menghilang di lantai atas.

Di kamar utama, kamar yang dulunya adalah saksi bisu tawa, cinta, dan rencana masa depan, Elias berdiri di depan lemari besar. Ia tidak mengambil koper. Dia hanya meraih ransel kulit kecilnya.

Dia mengambil beberapa pakaian dalam, baju ganti untuk besok, dan laptop. Kemudian, matanya jatuh pada bingkai foto di nakas. Itu foto pernikahan mereka. Safira tersenyum lebar, matanya penuh janji. Elias memegang bingkai itu, melihat pantulan dirinya yang sekarang: pria yang sukses, tapi matanya kosong.

"Kamu yang menghancurkan kita, Safira," bisik Elias pada pantulan di kaca, bukan pada foto Safira. "Kamu yang memilih untuk hidup dalam kegelapan dan menyeretku bersamamu."

Dia meletakkan kembali foto itu, membiarkannya tetap di kamar Safira.

Elias meninggalkan kamar utama, menutup pintu pelan. Klik. Suara kunci itu bukan suara Safira mengunci dirinya di dalam, tapi suara Elias mengunci kenangan mereka di belakang pintu.

Dia berjalan menyusuri koridor panjang, menuju kamar tamu yang jarang dipakai, yang bersebelahan dengan ruang kerja pribadinya.

Kamar tamu itu steril, bersih, dan sangat impersonal. Elias melemparkan ranselnya ke lantai. Dia menyalakan lampu, yang sinarnya lebih terang dan jujur daripada lampu temaram di bawah.

Elias duduk di tepi kasur. Tiba-tiba, dia merasa sangat bodoh. Pria yang memimpin ratusan karyawan, yang menghasilkan jutaan dolar, yang dihormati di setiap ruangan, kini terasingkan di rumahnya sendiri. Dia telah memenangkan perang di dunia bisnis, tapi kalah telak di medan pertempuran rumah tangga.

Dia merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel. Dia menatap layar sebentar. Tidak ada panggilan. Tidak ada pesan dari Safira. Seolah-olah perpisahan kamar ini sudah lama ditunggu-tunggu Safira.

"Bagus," gumam Elias, suaranya parau. "Setidaknya kita berdua dapat apa yang kita mau: sendiri."

Tapi apakah itu yang dia mau?

Sendiri. Kata itu terdengar seperti kemewahan saat ia sibuk, tapi kini, dalam keheningan kamar tamu, kata itu terasa mengerikan. Sendiri.

Elias membaringkan tubuhnya telentang di kasur yang masih berbau kain baru. Selama dua tahun, Safira menolaknya, tapi setidaknya dia masih ada di bawah satu atap. Sekarang, jarak dua pintu dan satu koridor terasa seperti jurang tak berdasar.

Dia memejamkan mata. Kenangan tentang Safira yang lama, yang ceria, yang suka melompat ke pelukannya sepulang kerja, datang menyerbu.

Flashback singkat terlintas. Saat Safira merengek minta dibelikan es krim tengah malam. Saat mereka tertawa sampai sakit perut karena lelucon bodoh. Saat Safira pernah membawakan bekal makan siang ke kantornya, lengkap dengan surat cinta di atas kotak bekal. Itu semua sudah mati. Terkubur di bawah lapisan tebal kesedihan dan rasa bersalah Safira.

Elias membuka mata. Dia harus berhenti menyiksa dirinya. Dia sudah memutuskan. Ini adalah malam pertama kemerdekaan emosionalnya, meski kemerdekaan itu terasa pahit dan sunyi.

Dia meraih laptopnya. Dia memutuskan untuk bekerja, mencari pelarian yang paling andal: angka. Dia tahu dia enggak akan tidur malam ini. Rasa hampa yang ia rasakan sekarang jauh lebih besar daripada rasa marah tadi.

Saat jarinya mengetuk keyboard, dia teringat lagi Safira. Apakah Safira sudah tidur? Apakah Safira menangis?

Elias mencoba menepis pikiran itu. Bukan urusannya lagi. Safira memilih untuk mengisolasi diri. Safira yang menutup pintu.

Dia membalikkan badan, memunggungi pintu kamar tamu itu, memaksakan perhatiannya pada grafik dan spreadsheet. Dia adalah Elias Pradana. Pria kuat. Pria yang mengontrol kehidupannya.

Tapi malam itu, di dalam kamar yang dingin dan asing, Elias tahu dia hanyalah pria yang sangat kesepian, yang akhirnya memilih untuk menyerah pada kebekuan rumah tangganya sendiri. Dia membiarkan dirinya hanyut dalam pekerjaan, sebuah tirai tebal yang bisa menyembunyikan kenyataan bahwa, malam ini, ia telah resmi menjadi duda emosional di rumahnya yang megah.

Aku cuma perlu bertahan. Pikirnya. Bertahan sampai aku bisa menemukan cara untuk benar-benar bebas.

Elias enggak tahu, 'kebebasan' itu akan datang lebih cepat dari yang dia duga, dalam wujud gadis desa yang polos, dan itu akan membawa konflik yang jauh lebih besar daripada sekadar perpisahan kamar. Tapi malam itu, yang Elias tahu hanyalah dinginnya marmer, sunyinya udara, dan kelelahan yang mematikan.

Dia terus bekerja, jarinya menari di atas keyboard, menghasilkan angka-angka yang sempurna, sementara kehidupannya sendiri berantakan dan tak berbentuk. Itu adalah puncak kebekuan, di mana dua orang yang pernah berjanji sehidup semati kini memilih untuk berbagi alamat tanpa berbagi jiwa.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Rahmadhani

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku